10 Zona Dua, Zombi Area

Kakek Seo menoleh ke samping, ia melihat seorang nenek berwajah belasteran dengan rambut digulung ke atas. ''Hai, Kadam, kemarilah! Bergabung di sini,'' ajak kakek Seo ramah sekali.

Karena suara si tua kurus itu, semuanya menoleh pada nenek Kadam. Nenek Kadam tak suka menjadi pusat perhatian, ia pemalu. Meski diajak, nenek Kadam selalu menolak untuk bergabung pada kelompok lansia manapun. Sehingga ia menjadi penyendiri.

''Kudengar, dua hari lalu dua mobil besar berkunjung kemari untuk menjenguk nenek Kadam. Keluarga konglomerat, kenapa dia tinggal bersama kita?'' bisik beberapa lansia di dekat kelompok mereka.

"Aku juga ingin bertemu cucuku. Dia gadis yang mungil dan cantik,'' sela nenek Han dengan suara yang lantang sehingga pembicaraan dua orang itu terputus dan mendadak melihat ke arahnya. ''Sudah empat bulan dia tak berkunjung. Melihatmu, aku jadi merasa muda lagi." Nenek Han menepuk lengan nenek Nam. ''Nam! Ayo kembali muda!" ia berseru dengan semangat.

Usai menyedot air mineral, nenek Nam menyemburkan air itu lantas menggeret nenek Han untuk sama-sama berlari kecil di tengah taman nan lapang.

Pria tua di seberang terkagum-kagum pada nenek Nam, Ia pun berkata, ''Dulu kami pernah berkencan sewaktu masih Sekolah menengah. Dari dulu Nam selalu bersemangat, itu sebabnya banyak yang senang dengannya.''

''Kalau begitu ceritakan barang sedikit kisah cintamu dengannya,'' pinta teman-temannya. Namun pria tua itu tersenyum malu dan menolak untuk bercerita. ''Karena tua begini, sayang sekali Nam melupakan bahwa di sini ada mantan kekasihnya.''

***

Sesi olahraga selesai pukul 11.00 siang, antrian di luar kamar ganti cukup panjang. Nenek Nam masuk ke kamar ganti menunggu gilirannya. Di sana sudah ada dua wanita lain yang menunggu sambil berbincang-bincang. Nenek Nam melepas baju kaus dan menyisakan bra dengan tali panjang yang menahan payudara kendurnya. Ia perhatikan dirinya di depan kaca kamar mandi dan melihat pada tubuhnya yang tak seindah masa muda. Perutnya yang besar karena melahirkan anaknya, kini kendur ke bawah beserta lipatan lemak yang menempel abadi di tubuh tua itu. Kulit putih yang keriput dihiasi urat-urat kebiruan tampak menonjol dan jelas terlihat, menandakan usia tuanya. Rambutnya yang lurus kini keriting dengan uban yang mencuat di mana-mana, rasanya gatal dan itu sangat mengganggu.

Nenek Nam mengelus pipi lalu berkata, ''Sejak kapan ini makin kendur? Astaga! Apa perlu pakai produk wajah? Kurasa aku harus meminta Yeo Han membelikannya.''

Nenek Nam termenung sejenak, ia mengingat kembali sewaktu tidur di samping cucunya. Kulit kencang dan elastis, bibir muda yang merah dan kantung mata yang kuat membuat ia makin ingin bertemu dengan Yeo Han. ''Cucu tampanku sekarang sedang apa? Ini masih terlalu awal untuk meneleponnya, bukan?''

***

Di sebuah ruang besar dengan jumlah bangku berkisar lima puluh, Yeo Han duduk di bangku bagian tengah. Rambutnya telah disemir hitam setelah menerima nasihat dari nenek Nam tujuh hari yang lalu. Pemuda yang dikenal sebagai salah satu dari sekian mahasiswa baru tertampan tahun ini, membuat semua orang bingung dengan sikapnya, sebab Yeo Han terlalu banyak tertawa pagi ini. Smartphone-nya sejak tadi dimainkan dan tak peduli dengan tatapan para gadis. Salah satu temannya, pria bernama Hansol, berperawakan tinggi besar curiga dengan senyum Yeo Han.

''Yeo Han, bisa tidak wajahmu datar-datar saja,'' kata Hansol seraya mengibaskan tangan di wajah sendiri.

Tanpa melawan kilatan mata Hansol, Yeo Han tersenyum sampai giginya terlihat sedangkan matanya terus terfokus pada layar Smartphone. ''Memangnya kenapa?'' tanya Yeo Han.

Hansol berdecak, ''Bagaimana jika aku mendadak jatuh cinta pada mu, hah?''

Yeo Han menoleh, keningnya terangkat sebelah. ''Jangan berpikir konyol. Itu mengganggu!''

''Akhir-akhir ini aku menyukai senyummu. Dan bagaimana jika jantungku berdetak karena ulahmu. Maksudku, kalau aku punya perasaan padamu, bagaimana?'' goda Hansol sambil matanya melirik kepada gadis-gadis. Sebab kasihan tak dihiraukan Yeo Han dari tadi.

''Kau bisa dikenai pasal pelecehan seksual dan penguntit. Demi tidak menimbulkan korban, dengan senang hati aku akan mengadukanmu ke polisi.''

Jimi, Ravi dan Joo Ni tertawa santai mendengar Yeo Han. Han Sol menggeleng hampa, ''Wah, dia tidak seru diajak bercanda.''

''Ravi! Bagaimana denganmu?'' Han Sol melirik Ravi, mahasiswa yang mendapatkan surat cinta terbanyak diacara orientasi seminggu lalu.

''Maaf kawan, aku sudah punya tunangan.''

Suasana dan candaan di antara mereka membuat beberapa gadis tertawa kecil. Pasalnya, Han Sol yang menawarkan hatinya ditolak dua temannya. Meski dia hanya bercanda saja.

''Aku curiga, dia punya seorang wanita,'' bisik Han Sol pada Ravi, Joo Ni dan Jimi.

Pemuda nakal itu merebut Smartphone Yeo Han, dan membawa ke tempat duduknya. Hansol, Ravi, Jimi dan Joo Ni terkejut. Beberapa detik kemudian mereka tertawa beramai-ramai.

''Kembalikan Smartphoneku!'' Yeo Han setengah berteriak, terusik.

Si pemilik akhirnya berhasil merampas kembali Smartphone itu disela oleh gelak tawa teman-temannya. Wajah Yeo Han ditekuk tak suka. ''Sialan kalian semua! Aku janji akan berkunjung ke panti nenekku.'' Yeo Han menatap tajam pada teman-temannya yang menahan tawa.

''Apa salahnya bergaul dengan ibu dari ayahku. Nenek ku tidak seperti nenek kebanyakan. Dia menyenangkan dan keren.''

"Yang kutahu, bukankah orang tua punya bau yang aneh, bukankah begitu?'' kata Han Sol seraya mencari dukungan suara.

"Kau benar, selain wajah keriput dia sering lupa tentang aku. Nenekku diusia 68 tahun dia suka pilih-pilih makanan,'' timpal Jimi sambil memperagakan cara bicaranya dengan dua lengan, layaknya pakar politis.

''Tidak hanya itu. Dia seperti anak kecil dan sering merengek kalau barangnya dirampas. Tiap kali disuapi, dia akan memuntahkannya. Aku melihat itu langsung tak bisa makan. Terlebih ketika gigi palsunya dikeluarkan. Ugh! Aku sering cari alasan agar tidak tinggal dengan nenekku, ''Blak-blakan Ravi menceritakannya. Sehingga yang mendengar bergidik membayangkan.

''Nenekku tidak seperti itu. dia hidup bersih sekali—''

Ravi memotong ucapan Yeo Han, ''Nenekmu usia berapa?''

''Sekitar 61 tahun,'' jawab Yeo Han.

Ravi tertawa terkikik. ''Sebentar lagi kau akan mengalami apa yang kualami. Sampai dimana kau akan jenuh dan tak kuat menghadapi nenekmu sendiri.''

Yeo Han menggeleng-geleng tak percaya. ''Nenekku akan tetap seperti saat ini. Tak mungkin itu akan terjadi pada nenekku, Ravi. Aku tak sengaja melihatnya berganti baju saja, dia malu sekali.''

''Malu dilihat cucunya sendiri. Itu berarti ada sesuatu yang aneh kau harus kau tahu—''

Brak!

''Aaaa...!!!''

Suara bising terdengar dari luar, teriakan beberapa orang mengiringi setelahnya.

''Eh, seperti ada sesuatu di luar. Semua orang sedang berkumpul,'' gumam Jimi. Dia lebih dulu beranjak dari kursi sehingga Yeo Han dan teman-teman mengikuti.

Joo Ni teman Yeo Han bertanya pada salah satu mahasiswa, ''Apa yang terjadi? Hei, apa yang terjadi?'' Namun orang-orang terlalu fokus hingga tak ada tanggapan sama sekali. Suaranya tenggelam oleh mulut-mulut mahasiswa lain yang membicarakan sesuatu. Banyaknya kerumunan mahasiswa membuat Yeo Han, Ravi, Han Sol dan dua lainnya tak dapat menyusul Joo Ni.

Beberapa berteriak histeris di balik keramaian yang menghalangi pandangan. Orang-orang ramai berbicara sendiri, sehingga memupuk rasa penasaran mereka.

Yeo Han beserta temannya menerobos gerombolan mahasiswa yang berjejer di pembatas lantai dua. Sesampainya di barisan paling depan, mereka dikejutkan oleh seorang dosen.

Dosen tua yang dijadwalkan masuk ke kelas mereka, sedang menyerang dengan membabi buta salah satu mahasiswa baru di tengah-tengah tangga. Teriakan gadis malang itu berhenti ketika darah dari pangkal lehernya menyembur deras ke wajah hingga mewarnai kemeja putih si dosen. Darah nan berlimpah itu mengalir bebas bagai aliran sungai di anak-anak tangga. Merah terang, berbau besi.

avataravatar
Next chapter