webnovel

VOLDER

Volume I: Eleanor Heather menyukai hidupnya yang biasa-biasa saja. Ia menikmati pekerjaannya sebagai akuntan sambil menyelesaikan cicilan pinjaman uang kuliah dan hidup berbagi apartemen bersama sahabatnya, Lana. Hingga suatu malam, pertemuannya dengan seorang pria aneh yang tiba-tiba menyerang dan menggigit lehernya membuatnya trauma untuk keluar sendirian lagi. Tapi itu hanya titik awal perubahan hidupnya. Saat Ia bertemu Nicholas Shaw, pengacara sekaligus pemilik Law Firm yang kebetulan sedang diaudit olehnya, hidupnya berubah drastis. Banyak hal gelap dan mengerikan tentang Nicholas yang Ia sembunyikan dari dunia. Walaupun begitu Eleanor tidak bisa berhenti memikirkannya, dan Nicholas Shaw tidak ingin melepaskannya begitu saja. Volume II: Untuk yang kedua kalinya dalam hidupnya... wanita itu berhasil kabur darinya. Gregory Shaw tidak pernah berpikir Lana akan meninggalkannya lagi. Dan kali ini Ia akan memburu wanita itu, bahkan hingga ke ujung dunia sekalipun. Bahkan jika hidup atau mati taruhannya.

ceciliaccm · Fantasy
Not enough ratings
415 Chs

Chapter 65

Vlad menghentikan langkahnya di balik punggunggu sehingga aku tidak bisa melihat respon di wajahnya, "Kau tahu dimana Dostoevsky?" ulangnya dengan lembut.

"Dan kurasa aku bisa membuatnya kembali. Bukankah itu yang kau inginkan, Vlad? Seorang penerus untuk klan mu?" tanyaku sebelum berbalik menghadapnya. Sebelum aku bisa menatapnya, tubuhku terbanting ke atas karpet tebal di bawahku, Vlad menekan dadaku tepat di atas jantungku dengan salah satu tangannya. Udara di paru-paruku terhempas dari mulutku karena dorongan yang tiba-tiba.

Vlad meringkuk di atasku, seringaian sadis menghiasi wajahnya. Terror merasuki pikiranku dengan cepat saat melihat kedua taringnya yang panjang mengarah ke wajahku.

"Dimana Dostoevsky?" suaranya berubah menjadi lebih dalam dan berat dan urat-urat kecil berwarna biru meregang di wajahnya. Inilah wujud asli Vlad yang kukenal tujuh puluh tahun yang lalu... Ia seorang monster.

"Dimana?" ulangnya bersamaan dengan tekanan tangannya yang mulai melukai tulang rusukku.

"San Fransisco." jawabku dengan susah payah karena tekanan tangannya di dadaku membuatku sulit bernafas.

"Apa Ia masih berusaha membangun klan nya sendiri?"

"Y—ya."

Vlad memperlebar seringaiannya. Satu-satunya hal yang tidak membuatku panik walaupun terror masih menghantuiku adalah jika amarahnya saat ini ditujukan padaku, Vlad sudah meremukkan tulang rusuk dan mencabut jantungku sejak tadi.

"Vlad..." kataku dengan suara yang mulai tertekan. "Apa kau tidak ingin mendengar penawaranku yang lain?"

Butuh setengah menit lamanya, yang terasa sangat lama bagiku, sebelum Vlad menarik tangannya dari dadaku. Aku yakin beberapa tulang rusukku saat ini retak karena saat aku menarik nafasku dalam-dalam untuk mengembalikan oksigen ke paru-paruku rasa sakit yang menusuk membuatku mengernyitkan keningku.

"Lanjutkan." katanya masih dengan suara yang sama beratnya. Kedua taringnya masih terlihat jelas saat Ia berbicara, begitu juga kukunya yang memanjang.

"Alice." satu kata itu mampu membuat Vlad mundur satu langkah dariku. Ia mengangkat salah satu tangannya, menyuruhku melanjutkan.

Kutelan rasa bersalahku sebelum mengatakan, "Aku memiliki informasi yang tidak kau ketahui tentang Alice."

Vlad menatapku dengan kedua mata kosongnya, "Jika yang kau maksud adalah Luke Lancaster, itu bukan kabar baru untukku. Tapi aku tertarik mendengar tentangnya."

Seluruh harapanku yang sebelumnya membuatku yakin aku akan keluar dari tempat ini hidup-hidup menguap dengan sangat cepat. Vlad mengamati wajahku lekat-lekat lalu sebuah senyuman sadis terukir di wajahnya, seakan-akan Ia sedang membaca pikiranku saat ini.

"Aku sangat sedih kau menganggapku enteng, Gregory. Tapi aku memiliki penawaran untuk penebusan dosamu."

Aku berusaha berdiri sambil memegang dadaku yang masih terasa sangat sakit. "Apa?" tanyaku dengan suara serak. Bahkan bernafas pun terasa menyakitkan.

"Aku ingin Luke Lancaster sebagai ganti nyawa yang seharusnya menjadi tanggung jawabmu."

Aku mendongak ke arahnya, "Maksudmu kau ingin aku membunuhnya untukmu?"

Vlad terdiam sejenak, matanya yang tanpa ekspresi menyulitkanku untuk menebak moodnya saat ini. "Ya... Kurasa. Tapi tidak sekarang, aku ingin melihat perkembangannya. Kau tahu Alice tidak bisa jatuh cinta, jadi aku masih belum tahu apa tujuannya... atau mengapa Alice memberikan perhatiannya pada manusia itu."

Yah, menghabisinya kelihatannya tidak terlalu sulit jika Alice tidak memiliki perasaan untuk Lancaster.

"Apa tugasnya terlalu mudah?" tanyanya dengan pelan, tapi kedua taringnya masih terlihat jelas di balik bibirnya. Aku bersumpah Vlad bisa membaca pikiran, atau mungkin wajahku yang terlalu mudah untuk dibaca?

"Hanya itu? Aku harus menunggu dulu?"

"Tapi ingat, siapapun Ia bagi Alice aku tetap ingin manusia itu mati. Bahkan jika akhirnya Ia hanya teman dari teman dari temannya Alice. Aku ingin kepalanya dikirimkan segar dengan kurir ekspres."

Kutelan ludahku sebelum mengangguk. "Jika Ia bukan siapa-siapa Alice, lalu membunuhnya terasa seperti buang-buang waktu, bukan?"

Vlad berjalan menuju salah satu jendela besar yang menghadap ke taman utama kastil Mikhailovsky, walaupun masih gelap tapi pengelihatan Volder lebih tajam dari manusia. "Hanya untuk berjaga-jaga. Tujuan Alice dilahirkan ke dunia ini bukan untuk mencintai." katanya dengan sangat pelan, pandangannya tertuju pada kegelapan di balik jendelanya. "Aku ingin kepala manusia itu, Gregory."

Perintah Vlad The Impaler terasa seperti vonis untukku. Mungkin aku tidak akan kehilangan nyawaku, tapi bukan berarti mencabut nyawa orang lain terasa lebih mudah dari opsi yang pertama.

Pandanganku terpaku pada punggungnya yang menghadapku. Entah kenapa melihat Vlad berdiri sendirian di tengah ruangan megahnya terlihat menyedihkan bagiku. Pengikut yang setia, kekuasan, dan kekayaan sepertinya bisa membuat seseorang terlihat kesepian.

***

Saat aku turun dari jet pribadi yang mengantarku kembali ke Finladia, mobil pickup sewaanku sudah terparkir di halaman bandara privat ini bersama Carleon yang berdiri di sampingnya. Pantas saja aku tidak melihatnya sama sekali selama perjalanan atau saat di Saint Petersburg, Carleon tidak ikut mengawalku ke Rusia... Ia tinggal di Helsinski.

Tapi kenapa? Pikirku dengan penasaran sekaligus curiga.

Senyuman tipis menghiasi wajahnya saat kami berpapasan, Ia menuju pesawat jet dan aku menuju mobilku. "Kau pikir Nick akan menyusulku, huh?" tanyaku sambil berlalu.

Carleon berhenti lalu tertawa kecil, bahkan suara tawanya pun dingin dan membosankan. Aku berbalik menghadapnya sambil menggertakan rahangku karena jengkel, "Aku bahkan belum memberitahu Nick."

Vlad mungkin membenci dan menganggapku enteng, tapi Ia sedikit segan pada Nick. Gelar Jack The Ripper yang dimiliki Nick bukan tanpa alasan. Walaupun Nick tidak memiliki pengikut seperti Vlad, tapi Ia memiliki cukup banyak Volder yang menjadi simpatisannya. Nick jugalah yang menyelamatku saat Vlad hampir membunuhku karena aku memburu Alice.

"Kau salah, aku hanya menyelesaikan tugasku." Carleon tersenyum lebar tapi dengan luka di wajahnya Ia lebih terlihat menyeringai daripada tersenyum.

Aku hampir saja membalikkan tubuhku dan melanjutkan langkahku, tapi apa yang dikatakan Carleon selanjutnya membuatku membeku di tempat. Perasaan dingin yang kurasakan saat ini tidak ada hubungannya dengan salju di sekitar kami. "Vlad menginginkan asuransi darimu." tambahnya perlahan.

Aku menoleh ke arahnya perlahan, bahkan dari suaranya saja aku bisa merasakan ada yang salah dengan ini semua. "Apa maksudmu?"

"Asuransi... untuk memastikan kau melakukan pekerjaanmu hingga selesai." Seringaian di wajahnya terlihat semakin buruk saat Carleon melihat ekspresi di wajahku. Aku tahu ada yang salah saat Vlad membiarkanku kembali hidup-hidup, aku mengira paling tidak Ia akan memberikan hukuman fisik yang berat untukku sebelum melepaskanku.

"Apa kau tidak bisa menciumnya?" Carleon bertanya dengan nada heran saat aku tidak memberinya respon. Pertanyaannya refleks membuatku mengendus udara di sekitar kami, walaupun samar aku dapat mencium bau kayu pinus, salju, darah, linen, dan... Lana.

Sesaat duniaku berhenti. Semuanya menjadi gelap total dan saat aku membuka mataku kembali Carleon sudah berada di bawahku. Kedua tanganku berada di lehernya, kukuku yang memanjang mulai menekan kulitnya hingga mengeluarkan darah. Carleon masih menyeringai senang, kedua matanya yang sudah menghitam berkilat saat menatapku.

Ia mengangkat tangan kanannya sedikit untuk mengehentikan Volder lain yang mulai berlari ke arahku. "Kau tidak ingin menyakitiku." gumamnya dengan sedikit serak karena tanganku yang masih menekan lehernya, tapi Carleon tidak berusaha melawanku sama sekali. "Jika aku mati... Pacarmu juga akan mati. Jika kau tidak mengerjakan tugasmu, maka aku sendiri yang akan membunuh pacarmu. Itu adalah asuransinya, Gregory."

Seluruh tubuhku bergetar menahan keinginanku untuk mencabik-cabik tubuh Carleon di tanganku.

"Vlad secara khusus memintaku untuk menjamin asuransimu." Carleon menyeringai menampilkan kedua taringnya, "Ini pembalasan untuk luka di wajahku, brengsek. Apa kau pikir Vlad menginginkan nyawamu? Ia tidak ingin memancing masalah dengan Nicholas, jadi bayaran dari hukumanmu adalah nyawa seseorang yang sangat berarti bagimu."

Kedua tanganku menekan batang tenggorokannya lebih keras, tapi Carleon tidak berusaha melawanku. Ia kembali tertawa seperti orang gila, "Sudah lama aku ingin memberimu luka yang sama di wajahmu! Tapi—" Ia berhenti berbicara untuk tertawa lagi, "Tapi ternyata ada hal yang jauh lebih memuaskan daripada melukai wajahmu. Darahnya... Apa kau sudah mencoba darahnya, Gregory?"

Tekanan tanganku di lehernya melemah saat mendengar pertanyaannya.

Carleon mengeluarkan suara antara mengerang dan mendesah sebelum melanjutkan, "Darahnya... adalah salah satu darah ternikmat yang pernah kuminum. Sedikit pahit tapi nikmat. Dimana kau menemukannya? Jika aku tidak ingat tujuanku mungkin aku sudah menghisapnya habis."

"Tidak... Kau berbohong, Lana sudah pergi sebelum kita bertemu. CARLEON! Kau berbohong!" teriakku di wajahnya. Ia hanya membalasku dengan senyuman. Teriakanku meredam suara lain di sekitar kami, kutarik tanganku dari lehernya lalu meninju aspal di sebelah kepalanya hingga retak. Kedua mata hitam Carleon menatapku tanpa berkedip.

"Ia memohon agar kami mengembalikanmu hidup-hidup, Ia bahkan menawarkan lehernya padaku dengan sukarela untuk menyelamatkanmu. Oh, Sekarang aku mengerti mengapa darahnya terasa nikmat. Darah manusia yang sedang jatuh cinta adalah favoritku."

"Diam!" teriakku sambil menarik kerah mantelnya lalu mengguncangnya, "Atau aku akan membuat wajahmu semakin menjijikan."

Senyuman di wajahnya memudar berganti dengan ekspresi mematikan. "Apa kau tidak penasaran dengan hasil karyaku?" tanyanya dengan suara dingin. "Jika kau tidak memberinya darah dalam 30 menit Lana tercintamu akan mati, Gregory."