64 Chapter 64

Di luar masih sangat gelap saat kami tiba di gerbang kastil Mikhailovsky. Jam di dashboard limosin menunjukkan pukul dua pagi dan suhu minus empat derajat celcius. Salju menumpuk rapi di sisi jalan yang menuju ke gedung utama kastil dan di pohon-pohon yang mengelilingi taman.

Tempat ini sangat luas, bahkan jalan masuknya memerlukan waktu lima menit menggunakan mobil. Jika aku tidak salah luasnya hampir sebesar Buckingham Palace di Inggris. Kastil Mikhailovsky memiliki beberapa bangunan kecil yang salah satunya dibuka untuk museum dan satu bangunan utama yang sangat besar.

Keheningan menyelimuti hingga akhirnya limosin berhenti di salah satu sisi bangunan utama. Tidak ada satu orangpun, manusia atau Volder, yang berada di sekitar area gedung utama. Aku hanya melihat seorang Volder yang berjaga di gerbang terluar, setelah itu tempat ini seperti gedung berhantu tidak berpenghuni.

Kami keluar dari limosin, seseorang dari mereka berjalan lebih dulu, diikuti oleh tiga Volder di sisi kanan dan kiriku sedangkan sisanya di belakangku. Formasi menjaga tahanan yang sangat kukenal, karena ini kedua kalinya aku menginjakkan kaki di tempat ini dengan formasi seperti ini. Seluruh pengawalku mengenakan mantel beludru berwarna biru donker yang sama dengan Carleon sebelumnya, pakaian itu adalah salah satu ciri khas para pengikut Vlad saat bertugas.

Kami memasuki ruangan demi ruangan yang berhias interior mewah. Merah, emas, dan putih menjadi warna utama sebagian besar ruangan di kastil Mikhailovsky. Tidak ada banyak perabotan di setiap ruangan, tapi masing-masing pasti memiliki lampu kristal mewah, deretan lukisan, dan ornamen antik dengan dominasi frame berwarna emas. Dan sepertinya Vlad masih memiliki obsesi dengan tirai tebal berwarna merah maroon, karena tirai-tirai itu masih sama dengan tirai tujuh puluh tahun yang lalu.

Suasana tempat ini belum berubah banyak, masih terasa seperti rumah duka atau tempat pemakaman. Kurasa hanya pengikut-pengikut terdekat Vlad saja yang tinggal di tempat ini karena kami belum bertemu satu orang pun sejak masuk ke gedung ini. Aku tidak heran kami belum sampai juga setelah sepuluh menit berjalan, tempat ini seperti labirin berisi ruangan-ruangan yang saling menyambung.

"Tunggu disini." gumam Volder yang berjalan paling dengan aksen Rusianya yang berat. Kami berhenti di salah satu ruangan luas berinterior emas dan putih, tidak seperti ruangan-ruangan sebelumnya kali ini ada beberapa kursi dan sofa serta furnitur lain. Kuhela nafasku perlahan, entah mengapa rasa panik dan terror yang sebelumnya kurasakan sudah berkurang. Kali ini aku bisa berpikir lebih jernih dan tenang, jika Vlad ingin menghukumku Ia sudah melakukannya sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di Finlandia.

Tidak ada yang berbicara atau mengeluarkan suara sedikitpun, semua Volder yang mengelilingiku masih berdiri di tempatnya seperti patung yang patuh. Karena sepertinya di situasi seperti ini membuka mulutku hanya akan menambah masalah, jadi kututup mulutku dan menunggu seperti yang lainnya.

"Gregory sudah datang?" suara Vlad yang tiba-tiba menggema dari ruangan lain membuatku sedikit terkejut. Aku tidak pernah melupakan suaranya selama ini. Aku bisa merasakan perubahan atmosfir di sekitarku setelah mendengar suaranya. Kutahan keinginan tiba-tibaku untuk menggigil, seakan-akan ruangan ini menjadi lebih dingin dari sebelumnya. Dan sepertinya efek ini tidak terjadi hanya padaku, bahkan pengikutnya sendiri pun takut padanya.

Beberapa saat kemudian pintu ganda besar yang berhiaskan ornamen antik di depanku menjeblak terbuka lebar, dan Yang Mulia Vladislav Dracula a.k.a Vlad the Impaler berjalan masuk.

Vlad adalah salah satu Volder yang paling mengintimidasi yang pernah kutemui, bukan hanya karena gelar dan kekuasaannya tapi juga karena fisiknya. Dengan badan yang besar dan tinggi hampir dua meter, sulit untuk tidak merasa terintimidasi saat Ia berjalan masuk ke ruangan.

Rambut panjangnya hitam bergelombang membingkai kedua tulang pipinya yang tinggi, wajahnya masih khas para bangsawan jaman dahulu. Sepasang mata hitamnya terlihat seperti lubang hitam yang tidak memiliki jiwa, ada yang mengatakan dulu Vlad memiliki warna mata yang sama dengan Dostov dan Alice yaitu abu-abu, tapi sebuah kecelakaan menyebabkan kedua matanya permanen menghitam seperti warna mata Volder yang sedang haus atau marah.

"Gregorius Shaw! Akhirnya!" katanya dengan keras sambil memandang para pengikutnya satu per satu, seperti yang lainnya karena aksen Rusianya yang berat Ia menekankan huruf 'R' hingga namaku terdengar seperti 'Grrregorrrius'.

"Aku sudah menunggumu sejak lama." katanya lagi sambil tersenyum lebar menampilkan giginya yang rata dan putih. Tapi senyumannya kontras dengan ekspresi kosong di matanya. Vlad mengenakan jubah beludru panjang berwarna merah serta kemeja berwarna hitam di baliknya.

"Vlad." gumamku sambil mengangguk kecil. Ia memandangku dengan tatapan kosongnya selama beberapa saat hingga aku harus mengalihkan pandanganku karena lama-lama matanya terlihat menyeramkan.

"Bagaimana kabar Nicholas?" tanyanya. "Ah! Kudengar Ia menikah dengan manusia?" tambahnya sebelum aku sempat menjawab, aku dapat mendengar nada heran di dalam suaranya.

"Nicholas baik-baik saja." jawabku sambil memusatkan pandanganku pada lukisan di balik punggungnya.

Ia mengangkat jari telunjuknya seperti murid yang memiliki pertanyaan, "Kudengar... Alice tinggal bersamanya sebelum Nicholas menikah?"

Aku mengangguk kecil, "Hanya beberapa tahun."

Keningnya berkerut dengan serius selama beberapa saat sebelum mengangkat bahunya, "Kupikir mereka berdua akan berakhir bersama..." sesaat suara Vlad dipenuhi harapan, "Kau tahu... kakakmu akan menjadi penerus yang sempurna. Walaupun aku masih menganggap prinsip hidupnya, hidup kalian, sebagai Volder sedikit mengecewakan."

Mulutku sedikit terbuka menganga mendengar penjelasannya, tidak pernah sedikitpun ide tentang Vlad mempertimbangkan Nick sebagai penerusnya terlintas di kepalaku.

Ia melihat ekspresiku sekilas sebelum mengangguk pada dirinya sendiri, "Tentu saja aku tahu Nicholas mungkin akan keberatan."

Mungkin? Aku sangat mengenal kakakku, Ia lebih memilih terjun dari penthousenya sepuluh kali berturut-turut daripada harus menjadi penerus kekuasan Vlad.

"Apa mereka berdua pernah menjalin hubungan?" suara penuh harapan itu kembali terdengar di dalam pertanyaannya.

"Tidak. Nick dan Alice hanya teman yang saling menghormati." jawabku cepat. Aku bergidik membayangkan jika jawabanku adalah iya, apa yang akan dilakukan Vlad untuk mendapatkan penerus klan tercintanya. Tidak heran Alice dan Dostov sangat membencinya, Ia hanya menganggap anak-anaknya sebagai alat penerus kekuasannya.

"Oh... Sayang sekali."

Vlad terdiam beberapa saat, keningnya kembali berkerut saat menatapku. Aku baru sadar sebagian besar pengawalku sudah meninggalkan ruangan ini, hanya tersisa 2 yang berdiri di pojokan ruangan.

"Bagaimana denganmu?" tanya Vlad dengan suara yang sangat rendah, hampir menyerupai bisikan.

Kutelan ludahku dengan susah payah, tidak ada gunanya berbasa-basi dengan Volder seperti Vlad. "Aku tahu aku melakukan kesalahan besar."

"Kesalahan besar!" ulangnya dengan berteriak hingga membuatku terlonjak kecil karena terkejut. Ia tersenyum tipis saat melihat responku. "Dan kau tahu kau harus membayarnya, bukan?" tambahnya dengan suara lebih normal.

Aku hanya membalasnya dengan anggukan kaku.

"Bahkan jika bayarannya adalah nyawa?"

"Vlad—"

Ia mengangkat tangannya menghentikan apa yang ingin kukatakan. "Mata dibayar oleh mata. Nyawa dibayar oleh nyawa."

"Aku hanya melukai Alice, Vlad."

Vlad mengangguk, "Memang benar. Kau hanya melukai putriku." Ia kembali mengangguk, "Tapi kau juga melukai wajah Carleon dan membuat stabilitas klanku terganggu. Itu daftar yang sangat panjang, Gregory, aku harus mendapat kompensasi yang sepadan untuk itu semua. Jika tidak... maka hanya nyawa seseoranglah yang bisa memuaskanku."

Kutarik sudut mulutku untuk memaksa diriku tersenyum, "Tentu saja. Aku datang untuk menawarkan sesuatu."

Vlad berjalan perlahan mengitariku dengan ekspresi tertarik, "Katakan padaku..."

"Aku tahu dimana Dostov berada."

avataravatar
Next chapter