webnovel

unSpoken

Hanny_One · Teen
Not enough ratings
42 Chs

BAB 34: Calon Ibu Mertua

sore itu ibu Nara memutuskan untuk jiarah kemakam almarhum. Dengan membawa serangkai bunga pada tangan nya Dia berjalan sendiri melewati makam yang berjejer rapi. Sepertinya dia mengingat letak makam yang dia tuju.

"aku datang, berkunjung. Lama sekali bukan,setelah yang terakhir kali?" ibu Nara berdiri didepan sebuah makam

"liana, dia tumbuh dewasa sekarang." Ibu Nara berjongkok disamping makam

"Dia menjadi gadis yang sangat cantik. Aku rasa wajah nya mirip dengan ku" ibu Nara membayangkan wajah liana

"tapi watak nya bertolak belakang dengan ku. sifatnya begitu pemaaf dan baik hati. Dia berusaha keras dan acuh tapi tetap saja dia tidak mampu. Karena hatinya seperti mu ka." ibu Nara tersenyum, teringat saat pertama kali bertemu Liana mengacuhkan nya.

"seakan hati nya setebal karang mampu menahan setiap rasa sakit. Seluas lautan yang mampu menampung setiap celaan. Sejernih emun yang tidak akan ternoda dengan kebencian. Sama seperti hati mu ka, begitu tegar mampu memaafkan segala kesalahan."

"dia bukan anak kandung mu, tapi kau dengan tulus menyayangi nya. denga penuh kasih merawatnya. cinta mu sunguh besar untuk nya ka. kau menerima nya seperti dia adalah darah daging mu." Ibu Nara tertunduk sambil menatap nisan yang bertuliskan nama Hamdi Dinata.

"kau menerima dan menjaga kami berdua dengan penuh cinta. Hati mu sunguh besar ka" ibu Nara mengelus nisan itu dengan lembut, seakan dia sedang menyentuh orang nya.

"bahkan saking hebatnya hati mu itu,disaat-saat terakhir pun kau tidak membenci ku. yang telah menyebabkan segala kemalangan ini pada hidup mu".

Air mata mulai menetes dari kedua mata ibu Nara. pada benaknya teringat saat didalam ambulance yang menuju rumah sakit. Hamdi yang tebaring dengan luka disekujur tubuhnya. dia terpejam tapi masih sadar.

"maaf ka, maafkan aku" tangan nya mengengam erat tangan Hamdi yang lemas tak berdaya. Air matanya mengalir deras.

" tidak apa sayang." Secercah senyum tipis menghiasi wajah hamdi dengan darah segar yang masih menetes pada pelipis matanya. Wajahnya sunguh kacau,disitu sini bercak darah yang belum benar kering.

"ka,maaf,maaf" hanya kata itu yang terus terucap dari mulut Nara.

"aku udah maafkan,sebelum kamu memintanya" hamdi membalas gengaman tangan Nara.

Nara membalas dengan diam,dia tertunduk dengan tangis yang makin deras. Dia makin sesegukkan. 'Bodoh,kamu bodoh ka. kenapa malah memilih memaafkan aku, seharusnya kamu memaki saja. Mengumpat dengan kasar,menampar wajah ku, keluarkan segala sumpah serapah saja. Jangan malah seperti ini. ' Nara memaki Hamdi dengan hati nya.

"aku tidak pantas mendapat maaf mu ka" Nara mengucapkan nya dengan berbisik

" ini bukan salah mu. Berhenti menyalahkan diri sendiri." Hamdi mengatakan nya dengan susah payah, memandang Nara dengan penuh cinta. Dia berusaha menjaga kesadaran nya, rasa sakit ditubuhnya sungguh tak tertahankan.

"maafkan aku ka,maaf atas segalanya. Aku bersalah pada mu. Aku berdosa besar pada mu ka" ibu Nara memeluk tanah kering itu.

"sekarang aku mendapatkan balasan ku ka, aku mengidap kanker pada hati ku yang dari awal sudah busuk ini. Tuhan membalas segala perbuatan ku kini. Hati ku sesak ka, dengan penyesalan yang tidak tahu ujungnya. Pada setiap malam-malam ku berhiaskan Rasa gelisah dan bersalah." Tanah kubur itu basah oleh tangis yang deras mengalir.

. . .

langit masih setengah gelap dengan cahaya cerah yang baru mulai mengembang diupuk timur. udara begitu dingin diluar. Bangunan dan jalan masih terlihat basah bekas hujan tadi malam dan berhenti tadi sebelum subuh tiba.

marcello dengan setelan jas nya sudah siap menyambut hari ini. di depan kaca dia berdiri memandang penampilan nya. dia tersenyum sendiri,menyatakan kesempurnaan penampilan nya. dari atas meja diambilnya ponselnya. Menekan nomor, menghubungi sang bidadari hatinya. Pangilan video yang dipilihnya.

"halo," seorang wanita cantik deiseberang sana dengan cepat mengangkat pangilan itu,melambaikan tangan mungil nya kearah layar.

"selamat pagi" sapa marcello dengan senyum yang penuh.

liana Nampak cantik dengan setelan kemeja berwarna coklat muda. Rambutnya terurai rapi. Wajahnya dipoles make up tipis dengan lipstick nude. Dia Nampak alami dan segar.

"aku jemput sekarang?" tanya marcello sambil berjalan keluar dari kamar gantinya.

"oke,ditunggu" liana menjawab dengan semangat

"kamu cantik" marcello memuji dengan kesunguhan.

"emang cantik. Baru tau?" liana menjawab dengan percaya diri. Menampakkan kesombongan pada raut wajahnya. Dia sedikit tertawa mendengarkan kata-katanya sendiri.

"kamu manis" marcello tersenyum mengoda liana.

"manis? Kaya gula aja." Liana tertawa,sedikit salah tingkah "Emang pernah nyoba?"

"pernah!" marcello menjawab mantap. Dia duduk dikasur nya. "Kamu lupa?"

liana Nampak berpikir,dia menutup wajah nya mengerti apa yang dimaksud marcello.liana menyadari kesalahan karena sudah bertanya hal itu pada marcello.

"kamu benar-benar manis. Apalagi bibir mungil mu itu" marcello menyentuh bibirnya sendiri,dia makin mengoda liana yang mulai bersemu malu. "aku nga akan pernah lupa rasa nya" marcello mengedipkan sebelah matanya pada liana.

"ih … apaan sih." Liana bangkit dari duduknya. Marcello tertawa geli diseberang sana.

"udah aah …, cepat jemput. Ditunggu!" liana segera mematikan pangilan video itu.

. . .

Direstoran hotel tempatnya menginap ibu Nara duduk menunggu. Dia melirik jam tangan nya. jarum pendek nya masih menunjuk angka 5,dan jarum panjangnya diangka 9. Masih cukup pagi,tapi liana meminta untuk sarapan bersama pagi itu. dia memang mengatakan bahwa akan mengantar Ibu Nara kebandara pagi ini. tapi ternyata dia juga ingin waktu lebih untuk bertemu. Jadi dia memutuskan untuk datang sepagi ini dengan alasan sarapan bersama.

diluar Nampak sebuah mobil berhenti. Liana keluar dari sana, tangan nya digengam oleh marcello. Staf hotel yang ada pagi itu Nampak terpana memandang keduanya yang terlihat begitu serasi. Begitu pun dengan Ibu Nara,matanya tidak berkedip melihat liana diluar sana. 'dia punya selera yang tingi ternyata ' ibu Nara memperhatikan marcello dengan penuh pengawasan,melihatnya dari bawah keatas dan sebaliknya. sebuah senyum terulas pada wajahnya.

liana melambaikan tangan saat memasuki restoran, dia dengan cepat menemukan sosok mama nya dibarisan meja yang Nampak sepi. Waktu masih cukup pagi,jadi sepertinya banyak yang masih berada dikamar masing-masing. Ibu Nara membalas dengan sebuah senyum lebar.

"halo tante,saya marcello" marcel menyalami Ibu Nara

"kamu tingi besar, liana Nampak kecil sekali didekat mu" ibu Nara menyambut tangan marcello dengan hangat

"ah.. iya tante" marcello memandang liana disamping nya,membenarkan perkataan mama nya

"jaga liana dengan baik ya," Ibu nara menepuk pundak tangan marcello

"iya tante. Pasti" marcello merasa mendapat lampu hijau

mereka melewati sarapan pagi itu dengan penuh kehangatan. Liana begitu menikmati waktunya. Seakan-akan selama ini tidak pernah ada perpisahan dan luka diantara dia dan Ibu Nara. bukan kah selama ini,suasana sekarang hanya ada didalam angan nya. dia sungguh bersyukur tuhan masih memberi nya kesempatan merasakan kehangatan dari sosok mama nya.

Bagi marcello perpisahan dibandara jauh lebih berkesan.

"sayang mama harap kamu bisa ikut mama" ibu Nara memegang tangan liana erat

liana mengeleng ringan "aku punya kehidupan ku disini, dan juga ..." isyarat tangan.liana memandang marcello disampingnya "masa depan ku disini" isyarat tangan. Dengan mantap dia mengatakan nya pada mama nya.

ibu Nara tersenyum,dia mengerti maksud liana. "baiklah,mama berharap kamu bahagia dengan pilihan mu" ibu Nara memberi liana pelukan.

marcello Nampak binggung,dia mengedipkan mata beberapa kali terasa tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan liana. 'apakah ini berarti dia menyukai ku? apakah dia memilih ku? apakah ini sudah keputusan final nya?'

"jaga dia dengan baik ya cel, mama titip liana" ibu Nara berpesan

marcello hanya meangguk mantap,tanpa mampu mengatakan apa-apa

"Sampai kan salam pada paman disana" isyarat tangan.

"tentu, lain kali kamu yang datang mengunjungi mama ya? Ketemu sama sikembar dan juga paman disana"

liana meangguk, "aku akan kesana saat sah menjadi istri nya" isyarat tangan. Liana menunjuk marcello

Ibu Nara tertawa ringan mendengar jawaban anak perempuan nya yang terkesan sangat yakin kepada marcello. Dia Nampak sudah siap membangun rumah tanga dengan nya.

lagi-lagi marcello hanya tercengang.

"mama berharap kamu tidak sedang bermain dengan liana," ibu Nara memperingatkan marcello

"tidak tante,saya tidak bermain-main. Saya benar-benar serius atas hubungan ini." marcello dengan tangap menjelaskan

"baiklah, mama percaya. Mama akan tunggu pertemuan keluarga secepatnya" ibu Nara bekata dengan nada menantang

"sore ini pun saya siap memboyong keluarga untuk menyusul tante. Untuk membicarakan masalah ini" marcello Nampak serius

ibu nara dan liana saling berpandangan,kemudian tertawa lepas mendengar pernyataan marcello.

"kenapa? Aku serius tante,aku akan bawa nenek dan marsha sore ini."

"kalian bicarakan hal ini berdua dulu. Saat sudah menemukan kepastian, mama akan siap menerima keluarga mu datang kapan pun. Jika perlu mama yang akan memboyong keluarga kesini. Jadi kita adakan pertemuan keluarga disini saja." Ibu Nara menasehati. memberi dukungan nya.

. . .

perpisahan kali ini sungguh manis terasa. Liana menyelesaikan masalahnya dengan kepala dingin. dia tidak ingin amarah dan kebencian menguasai nya. dia mensyukuri atas apa yang terjadi. walaupun rasa sakit dan kesusahan selama ini tidak bisa dikatakan mudah. segala tindakan mama nya pun tidak bisa dikatakan baik. perlakuan dan tindak kan mama nya selama ini sungguh meninggal kan luka yang besar pada hati nya. tapi dia merelakan segalanya. Liana yakin semua ini ada maksud dan tujuan. ini takdir tuhan. tidak patut dirinya yang seorang hamda menyalahkan pencipta.