Waktu menunjukan pukul setengah tujuh malam. Tiga puluh menit lagi Rey akan datang menjemputnya sesuai janji kemarin. Teesha yang sudah siap dari satu jam lalu dengan atasan bohemian model sabrina yang dipadu dengan overall jeans selutut mendadak ragu. Ia tidak pernah segugup ini sebelumnya. Bukan karena ia akan pergi kencan dengan Rey. Keberadaan kakaknya lah yang membuat Teesha sedikit takut.
Gavin.
Teesha bingung. Ia sama sekali belum meminta izin kepada Gavin untuk pergi malam ini. Apa yang harus ia katakan? Sepertinya tidak mungkin jika ia mengatakan akan pergi bersama Rey, kakaknya itu pasti tidak akan memberikan izin apalagi jika pergi di jam-jam segini. Atau haruskah ia menelepon Divinia sekarang dan meminta bantuannya untuk berbohong agar Teesha mempunyai alasan untuk keluar rumah?
Tidak, tidak. Akan semakin rumit masalahnya jika ia terus berbohong.
TOK! TOK!
"Teesha."
Teesha terpaku saat mendengar suara sang kakak dibalik pintu kamarnya. Gadis itu mondar-mandir di dalam kamarnya gelisah.
TOK! TOK! TOK!
"Teesha."
"Aduh harus gimana ya?!" Teesha menggigit ujung jari jempol tangannya. Ia masih memikirkan apa yang harus ia katakan pada Gavin.
"Teesha—"
CEKLEK
Pintu kamar Teesha yang tiba-tiba terbuka lebar membuat gadis itu terlonjak kaget, "Astaga, kak! Ketuk pintu dulu!"
"Telinga kamu disimpen aja kalau gak dipake. Udah berapa kali aku ketuk pintu tapi kamu gak bu—" Ucapannya terhenti, Gavin memperhatikan penampilan Teesha yang sudah rapi, "Mau kemana kamu?"
"Mau main." Jawab Teesha singkat. Ia berusaha menormalkan suara dan tingkahnya agar tidak terlihat gelisah di hadapan Gavin.
Gavin melirik jam tangannya, "Kemana? Sama siapa?"
"Nongkrong. Sama temen."
"Temen yang mana?"
"Ya ada lah pokoknya, kakak gak akan kenal."
"Yang ma—"
"Maaf, non." Kedatangan salah satu asisten rumah tangga kediaman Jaya membuat perdebatan kecil mereka terhenti. Perhatian keduanya kini tertuju kepada wanita paruh baya di hadapan mereka, "Ada teman yang nunggu dibawah."
Teesha dan Gavin saling melepar pandangan terlebih dahulu sebelum kemudian sang adik buru-buru menyambar tas yang ia simpan di atas ranjang, kemudian berjalan melewati Gavin dengan jantung yang masih berdebar kencang, "Aku pergi ya, Kak."
Gavin masih terdiam saat adiknya berjalan melewatinya. Pria tu melipat kedua tangan di depan dadanya, "Siapa yang izinin kamu pergi?"
Perkataan Gavin membuat langkah Teesha yang hampir mencapai tangga turun berhenti. Gadis itu berbalik dan memandang kakaknya dengan tatapan sedikit kesal.
"Udah jam segini." Gavin menunjuk jam tangannya, "Kamu gak boleh kemana-mana, Teesha."
Teesha berdecak, "Baru jam tujuh, Kak. Cinderella aja dikasih waktu sampai jam dua belas malam!"
"Dan sayangnya kamu bukan Cinderella."
"Kak!"
"Apa?" Gavin menatap Teesha lebih serius dari biasanya, dan tu membuat nyali Teesha menciut, "Rumah ini punya aturan dan kamu gak bisa pergi kemana-mana tanpa seizinku."
Teesha menunduk, "Aku udah gede, Kak. Kakak terlalu khawatir berlebihan.
"Bilang kayak gitu kalau umur kamu udah di atas dua puluh tahun. Enam belas tahun itu masih harus berada dalam bimbingan orang tua, Teesha. Disini gak ada ayah atau ibu, aku yang bertanggung jawab atas kamu."
Teesha masih tertunduk, ia meremas ujung rok nya pelan. Gavin memang benar soal ini, Teesha. Ia hanya khawatir jika sampai terjadi sesuatu yang tidak di inginkan pada adik satu-satunya. Kau tahu sendiri kan meskipun kalian bukan saudara kandung, Gavin menyayangi mu lebih dari itu. Coba ingat-ingat lagi, pernahkah kakak mu itu membuatmu kecewa?
Tapi disisi lain, Teesha juga sudah berjanji pada Rey akan pergi malam ini. Ia tidak enak jika harus membatalkan acara mereka secara mendadak begini. Teesha hanya tidak mau membuat Rey kecewa.
"Tapi—"
"Myria Lateesha Dipta."
Oh, baiklah. Teesha menyerah. Jika sang kakak sudah menyebutkan nama lengkapnya, itu berarti dia sangat sangat sangat serius sekarang. Teesha tahu bagaimana pun ia melawan, ia tidak akan menang.
"Gak ada penolakan, nona. Sekarang ganti baju kamu."
"Tck!"
Teesha berjalan sambil menghentakan kakinya menuju kamar dan BLAM! Ia membanting pintu kamarnya di depan Gavin. Sang pengusaha muda hanya bisa menghela nafas panjang melihat adinya merajuk. Gavin mengendikan bahunya tidak peduli, ia berniat turun untuk bertemu dengan 'teman' yang Teesha maksud.
"Arrrggghhh!!!" Teesha membenamkan wajahnya di atas bantal dan berteriak sekencang mungkin. Ia kesal, sangat kesal. Kakaknya benar-benar keterlaluan, pemikirannya terlalu kolot! Jaman sekarang mana ada yang masih dibatas waktu bermainnya. Jam tujuh malam pula! Astaga, Gavin seperti tidak pernah muda saja!
Tidak membuang lebih banyak waktu lagi, Teesha buru-buru mengganti bajunya. Ia mengenakan celana jeans panjang dipadu dengan kaos putih polos dan juga jaket jeans senada dengan celananya. Rambut yang semula ia urai begitu saja ia ikat asal-asalan saking kesalnya. Setelah selesai ia buru-buru turun untuk menemui Rey dan menjelaskan semuanya pada pria itu sebelum Gavin berbicara yang aneh-aneh padanya.
Di setiap langkah nya menuju ruang tamu, Teesha terus berusaha merangkai kata-kata untuk menjelaskan keadaannya kepada Rey nanti. Ia sungguh sangat berharap pria itu bisa mengerti dan tidak akan marah padanya.
Teesha sudah siap dengan apa yang akan ia katakan kepada Rey. Tetapi apa yang ia lihat di ruang tamu membuat semuanya kembali buyar. Teesha terpaku agak lama ditempatnya ketika melihat Gavin dengan pandangan penuh intimidasinya tengah menatap seorang pria bermata onyx yang duduk dengan santai di hadapannya.
"William?" Suara Teesha membuat kedua pria di depan sana menoleh kearahnya.
"Temen kamu bilang ada yang mau dia bicarakan." Tekan Gavin di setiap katanya. Pria itu masih memasang wajahnya yang datar, sedangkan Teesha kini tengah melemparkan pandangan bertanya kepada William.
"Teesha?" Baik yang dipanggil maupun dua pria yang berada di ruang tamu sama-sama menoleh ketika mendengar suara seseorang mengudara. Disana, di pintu masuk berdiri seorang pria dengan jaket merah dan rambut ash brown yang terlihat terkejut ketika melihat sosok lain selain Teesha dan kakaknya.
Gavin kembali menoleh kepada Teesha. Tatapannya seolah bertanya 'Kamu pergi sama siapa?' Dan dijawab oleh Teesha dengan tatapan 'Aku juga gak tahu.'
Gavin berdeham, "Mau apa?"
"Malam, Kak." Rey tersenyum hangat, "Aku mau ajak Teesha makan malam diluar."
"Kamu." Tunjuk Gavin dengan dagunya ke arah William, "Kamu bilang ada yang mau dibicarakan sama Teesha?"
"Hn." Jawab William singkat.
Kini Gavin beralih kepada Rey, "Kamu mau ngajak Teesha makan malam?"
Rey mengangguk, "Iya, Kak."
"Gak usah keluar rumah. Kalian bisa ngobrol dan makan malam disini. Tunggu di halaman belakang. Aku siapkan barbeque buat kalian."
"Kak—"
Gavin mengangkat satu tangannya ke udara, menghentikan Teesha yang akan protes. Ia kemudian memanggil security yang berjaga di depan, "Tolong bawa masuk anak-anak di mobil depan."
Petugas keamanan itu mengangguk mengerti dan langsung menjalankan perintah Gavin. Teesha dan Rey saling pandang tidak mengerti, sedangkan William masih tetap dengan wajahnya yang datar.
Tak lama kemudian security kediaman Sanjaya masuk kembali ke ruang tamu dengan membawa empat orang anak remaja yang kehadirannya membuat Teesha menepuk jidatnya pelan.
"Hehehe... Hai Teesha."
Devian, Adrea, Divinia, dan Daniel melemparkan senyum canggungnya.
.
.
To be continued