Pagi hari.
Ruang makan kediaman Jaya yang biasanya dingin kini menghangat. Ruang makan yang selalu sepi dan hening itu kini menunjukan adanya kehidupan. Alasannya tidak lain dan tidak bukan karena kedatangan Adriell, kakak dari William ke mansion megah Jaya yang biasanya hanya di isi oleh adiknya seorang.
Biasanya kedatangan seorang saudara menjadi kesenangan tersendiri karena kita tidak lagi merasa kesepian. Tetapi lain halnya dengan William. Tidak ada yang ia benci di hidupnya yang tenang selama ini selain hadirnya sang kakak. Bukan benci dalam artian benar-benar benci sebenarnya. William tetap adik yang menyayangi seluruh anggota keluarganya, hanya saja sang kakak yang sangat tidak mencerminkan 'Jaya' sama sekali terkadang membuat kepalanya sakit.
"Daripada aku harus pusing dengan masalah internal di kantor pusat sana, lebih baik ayah saja yang lebih pengalaman yang menangani masalah itu. Aku gak bisa, Yah."
Lihat, siapa lagi anggota keluarga Jaya yang bisa-bisanya berbicara saat sedang sarapan seperti ini selain Adriell? William yakin, jika ayahnya mengetahui hal ini, sang kakak akan dimarahi habis-habisan karena sudah tidak tahu aturan.
Tetapi disamping itu, William selalu iri pada Adriell yang bisa dengan mudahnya menabrak seluruh aturan yang dibuat oleh Ayah mereka. William juga iri karena hanya Adriell yang berani menolak perintah sang ayah jika tidak sesuai dengan hati nuraninya. Hal yang sama sekali tidak bisa William lakukan.
"Nah!" William sedikit terkejut ketika sang kakak tiba-tiba memukul meja makan sambil berdiri.
Ingin sekali ia menyiramkan jus tomat di atas meja kepada Adriell karena telah mengganggu ketenangan pagi nya. Apa ia tidak tahu jika mood pagi itu akan mewakili mood sepanjang hari?! Ah, sudah bisa dipastikan bagaimana mood pangeran kita hari ini.
"Ayah selesaikan dulu masalah di kantor pusat, biar aku sama William yang pergi ke acara kolega ayah." Adriell melirik William melalui ekor matanya. Ia terkekeh ketika melihat tatapan tajam sang adik yang kini tertuju padanya, "Akhir pekan ini kan? Oke!"
Kalian lihat kan betapa menyebalkannya Adriell?
PIP!
Adriell mematikan sambungan teleponnya dan kembali duduk, menikmati roti isi yang telah disediakan oleh para pegawai di kediaman Jaya untuk dirinya dan adiknya tanpa rasa bersalah.
"Jangan bawa-bawa aku di setiap masalahmu." William yang sudah selesai makan melap bibirnya menggunakan tissue.
"Hm?" Adriell menoleh ke arah William, "Masalah apa?"
William meneguk jus tomatnya hingga tandas, "Acara kolega Ayah. Aku gak ikut. Itu bukan urusan aku." Kemudian ia mengambil tas sekolahnya dan beranjak pergi dari ruang makan menuju garasi, siap untuk berangkat sekolah.
BRAK!
Teesha buru-buru turun sesaat setelah sang kakak berteriak tidak santai menyuruhnya turun untuk sarapan. Sudah lebih dari lima kali Gavin memanggil sang adik dan Teesha belum juga turun. Wajar saja jika Gavin kehabisan kesabarannya.
Hal pertama yang Teesha lihat di ruang makan adalah Gavin yang sedang memainkan ponsel sambil menikmati roti sarapannya. Teesha dengar Gavin akan cuti bekerja sampai minggu depan, jadi tidak heran jika hari ini ia melihat sang kakak yang biasanya sudah rapi dengan pakaian kantornya kini masih santai dengan kaos putih dan celana jeansnya.
Gavin mendelik ke arah Teesha, "Telinga kamu disimpen aja kalau gak denger."
"Aku denger kok. Aku jawab malah di dalem kamar." Teesha mengambil satu potong roti di atas meja makan.
"Jawab apa? Udah delapan kali aku panggil nama kamu sama sekali ga ada jawaban."
"Aku jawab 'iya kak' tapi pelan banget suaranya. Aku ga mau bikin keributan di pagi hari."
Gavin memutar mata malas mendengar sindiran halus dari sang adik yang kini sedang terkekeh geli.
Sang pengusaha muda itu menyimpan ponselnya, lalu melepas kacamata yang sedari tadi bertengger manis membingkai wajahnya. Wajah pria itu terlihat lelah. Teesha yakin Gavin kelelahan akibat berkas-berkas yang dibawa oleh pegawai kantornya kemarin.
Gavin melirik jam tangannya, "Mau berangkat sekarang? Biar kakak antar. Sekalian kakak mau ke dokter mata."
"Mata kakak kenapa?"
"Minusnya nambah kayaknya." Gavin beranjak dari meja makan.
Teesha mengangguk mengerti. Pantas saja kakaknya itu terlihat lebih sering menggunakan kacamata akhir-akhir ini.
Gavin melangkah keluar ruang makan di ikuti Teesha yang mengekor dibelakangnya.
"Kak." Panggil Teesha yang hanya mendapat 'Hm' dari kakaknya sebagai jawaban.
"Kakak." Teesha masih berusaha memanggil kakaknya yang hanya terpaut beberapa langkah darinya.
"Apa?" Gavin masih berjalan tanpa menoleh pada adiknya.
Teesha berdecak kesal, "Ih, kak! Lihat sini dulu!"
Gavin berhenti dan berbalik menatap Teesha dengan pandangan malas, "Apa?"
Teesha tersenyum ketika akhirnya sang kakak menatap ke arahnya. Gadis itu mengacungkan cari telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf V, "Kelihatan gak ini angka berapa?"
Gavin terdiam. Ia memandang adiknya dengan wajahnya yang datar. Dataaaarrr sekali.
"Teesha, mata aku itu minus. Bukan buta."
Pertanyaanmu sungguh tidak penting, Teesha.
.
.
"Yo, Rey!"
Rey menghentikan langkahnya dan berbalik ketika mendengar suara seseorang menyapanya. Pria dengan senyuman hangat ini mengangkat sebelah tangannya membalas sapaan Devian yang kini tengah berjalan ke arahnya bersama William yang berada disampingnya.
"Wil." Sapa Rey ketika kedua pria itu sudah ada dihadapannya.
"Hn." Jawab William singkat sambil terus melangkahkan kakinya.
Rey mengendikan bahu melihat tingkah William. Dilihat dari ekspresi wajah dan juga aura yang menguar dari tubuhnya, sepertinya pria itu sedang dalam kondisi mood yang buruk.
Mereka bertiga berjalan bersama menuju ruang OSIS karena memang tujuan pertama Rey datang sepagi ini untuk menemui gadis pujaan hatinya. Jika masih pagi begini, Rey yakin Teesha pasti sedang berada di ruang OSIS.
"Daniel!!" Bentakan dari Teesha adalah hal pertama yang mereka bertiga dengar saat memasuki ruang OSIS. Di meja rapat sana Teesha duduk di sebuah kursi yang sepertinya habis di tarik oleh Daniel karena kursi itu bergeser dari tempat seharusnya.
Daniel tertawa, "Lagian kamu serius amat sih pagi-pagi gini."
Teesha berdecak kesal. Ia menyeret kursi nya ke tempat semula, dan kembali pada kegiatan sebelum alien bumi itu mengganggunya yaitu mengambil gambar pohon kaktus kecil yang ia beli saat di perjalanan ke sekolah tadi.
William mendelik saat Rey dengan cepat berjalan menghampiri Teesha. Pria ash brown itu mengambil tempat duduk di sebelah calon kekasihnya sambil tersenyum hangat.
"Aku lagi ngambil foto kaktus ini, Rey." Jawab Teesha ketika Rey bertanya apa yang sedang ja lakukan.
Teesha memfokuskan kamera ponselnya pada tanaman berduri di hadapannya, "Cantik kan?"
William yang duduk di kursi kebesarannya enggan memandang kedua sejoli yang kini tengah saling melempar senyuman. Ia membuka laptopnya dan memeriksa jadwal kegiatan untuk hari ini.
Obrolan-obrolan kecil yang terjadi diantara Teesha dan Rey membuat telinga sang pangeran sedikit panas. Ingin sekali ia berjalan kesana dan memisahkan mereka berdua dengan cara duduk ditengah-tengah mereka karena sungguh, posisi Rey terlalu dekat dengan Teesha dan William tidak suka itu.
Lalu kenapa tidak kau lakukan? Kenapa kau diam saja?
"Coba kamu alihkan jadi kamera depan." Teesha yang sedari tadi fokus mengabadikan gambar kaktusnya menoleh ke arah Rey.
"Gimana, Rey?"
Rey tersenyum, "Coba kamu alihkan dulu ke kamera depan."
Teesha yang tidak mengerti hanya menuruti perkataan Rey. Ia mengetuk icon kamera di layar ponselnya dan kini ponselnya ada dalam mode kamera depan, menampilkan Teesha yang terlihat fresh dengan rambut karamelnya yang terurai panjang.
"Cantik, kan?"
Teesha menoleh ke arah Rey, "Huh?"
"Coba kamu lihat lagi ke arah kamera." Teesha mengikuti instruksi dari pria di sampingnya, "Kamu lebih cantik daripada kaktus itu."
Dan tanpa bisa ditahan wajah Teesha merah padam. Ia jadi salah tingkah mendengar perkataan Rey yang terlalu manis untuk ia konsumsi di pagi hari seperti ini. Ditambah kedua alien bumi kita kini sedang sibuk berdeham.
William? Ah, tidak usah ditanya. Jika ia tidak bisa menahannya, mungkin ia sudah melemparkan laptopnya ke arah Rey saat ini karena kesal dengan adegan manis yang tersuguhkan di hadapannya.
"Ayo jalan di hari Sabtu."
"Huh?"
Teesha yang sedari tadi sibuk menormalkan debaran jantungnya menatap ke arah Rey. Ia berusaha menajamkan pendengarannya agar tidak salah mendengar perkataan Rey. Begitupun dengan Daniel, Devian, dan William. Mereka terlihat seolah tidak peduli padahal telinga mereka terbuka lebar untuk mengetahui percakapan dari sepasang calon kekasih ini.
"Ayo kita jalan di hari Sabtu. Ada film baru yang aku jamin kamu suka."
William menghentikan kegiatannya, ia mendelik ke arah Rey yang sekilas sempat melirik ke arah William.
Oh, jadi begini? Pria itu sudah terang-terangan menabuh genderang perang di hadapan William. Baiklah, akan William layani dengan senang hati.
"My—"
"Aku gak bisa, Rey." Teesha sudah lebih dulu berbicara sebelum William membuka suara untuk menyanggah. Pria itu kembali terdiam, menunggu apa yang akan Teesha katakan sambil tersenyum tipis.
"Jadi, aku ditolak lagi?"
Teesha menggeleng cepat, "Bu-bukan gitu, Rey. Akhir pekan ini aku udah ada janji sama Kakak pergi ke acara koleganya Ayah."
Senyum William memudar. Wajahnya kembali datar ketika Teesha mengatakan acara kolega Ayahnya. Apa acara yang dimaksud gadis itu sama dengan acara yang dimaksud oleh Adriell tadi pagi?
"Kamu datang ke acara membosankan kayak gitu, Teesha? Aku juga diajak Ayah, tapi aku malas. Acara orang tua terlalu membosankan." Celetuk Devian.
"Aku juga awalnya gak mau ikut. Cuma acara ini ada di pinggir pantai. Pinggir pantai, Dev." Tekan Teesha, "Ya jelas aku ikut. Sekalian refreshing."
William kembali tersenyum—ah tidak! Pria itu menyeringai. Jika acara yang Teesha maksud adalah acara yang sama dengan yang dikatakan oleh Adriell, ini bisa jadi kesempatan baginya untuk menghabiskan waktu dengan Teesha tanpa gangguan dari Rey. Baiklah, ia harus cepat bertanya kepada kakaknya yang menyebalkan sebelum terlambat.
"Oke, gak akhir pekan juga gak apa-apa." Rey berdiri dari tempat duduknya membuat Teesha mendongak memandang pria itu.
Rey kembali tersenyum, kali ini sebelah tangannya mendarat di pucuk kepala Teesha sambil menyusapnya pelan, "Besok kita makan malam, aku ajak kamu ke satu resto yang paling enak."
"Dan kali ini kamu gak bisa nolak, Teesha. Kamu gak mau buat aku malu kan di depan temen-temen kamu?" Rey tersenyum lebar ketika Teesha tidak bisa bicara lagi, "Besok aku jemput jam tujuh ya. Jangan lupa."
Pria itu mengacak surai karamel Teesha pelan sebelum ia pamit meninggalkan ruang OSIS dengan senyum kemenangannya ketika melihat ekspresi kesal dari saingannya, William.
BRAK!
Tidak hanya Teesha yang terkejut. Daniel dan Devian pun sama terkejutnya ketika William menutup laptopnya dengan kencang.
William menyeringai menatap pintu ruang OSIS.
Rey pikir dia sudah menang? Belum dimulai saja sudah mengklaim menang? Jangan bercanda. Jangan menyimpulkan sesuatu terlalu cepat. Apalagi jika kau berurusan dengan Jaya.
Dan sekarang tolong singkirkan seringai itu dari wajahmu, William! Kau membuat ketiga anggota OSIS kita bergidik ngeri.
.
.
To be continue