30 Penjelajahan Apartemen

Tiga referensi model pakaian pria ditampilkan Tyra berderet di layar komputer kerjanya. Pensil spesifikasi designer digenggam dua jarinya, bergerak bebas nan luwes di atas kertas sketsa bertekstur agak kasar. Pekerjaan baru langsung menyambangi di hari kedua kembalinya Tyra ke perusahaan.

Tengah fokus penuh, seseorang mengetuk pintu ruangannya.

"Masuk ..."

Seseorang membuka pintu kemudian. Oh, rupanya Eric, pria itu menyembulkan kepalanya lebih dulu dari balik pintu dan tersenyum manis, "Aku membuatkan latte untukmu," ujarnya, memamerkan dua hot cup kopi untuk mereka berdua.

Tyra bersandar pada kursi kerjanya, sejenak meregangkan tangan yang cukup pegal usai menulis dan menggambar ini itu.

"Aku sampai lupa kalau sudah jam sepuluh pagi," ujarnya.

Eric hanya tersenyum, menaruh dua minuman panas itu di meja terlebih dahulu sebelum Ia pindah ke belakang kursi Tyra, "Aku tahu bagaimana caranya merelaksasi tulang dan sendi," ujarnya, menumpukan tangan di kedua bahu Tyra.

"Benarkah? Coba lakukan padaku, Aku pegal sekali rasanya ..." Tyra mengeluh, bahunya memang ngilu usai semalaman tidur di sofa.

Eric benar-benar menunjukkan bakatnya. Entah sejak kapan Ia mempelajari fisioterapi, tapi yang jelas beberapa bunyi 'krek' di leher, kepala, dan tangan Tyra itu membuatnya sangat ringan.

"Wah, terimakasih, Ric. Nyaman sekali."

"Tidak masalah. Tapi ngomong-ngomong ..." Eric mengerutkan dahi, mencondongkan tubuhnya lebih dekat, mengendus pelan, "Apa Kau memakan sesuatu yang ... dibakar pagi ini? Baunya menempel di pakaianmu."

"Hah? Benarkah?" Tyra mengendus-ngendus sepanjang blazer biru muda yang Ia kenakan. Astaga, memang benar bau harum asap bakaran daging rusa itu meresap sampai kesana, "Oh, tadi Aku memasak."

Eric mengerutkan dahinya, "Tumben sekali Kau memasak, bukankah Kau tidak bisa?"

"Kau meledekku sekarang?"

"Tentu saja, Kau tidak bisa memasak," jawab Eric santai, menengadahkan tangan selayaknya itu memang benar, membuat Tyra kesal saja, "Apa Kau akan protes jika Kita menikah nanti dan Aku tak akan membuatkanmu makanan?"

"Tentu saja, maka Kau harus belajar." Eric menyesap kopinya, duduk santai di kursi kerja sebrang Tyra sembari menyilangkan kaki.

Tyra melipat tangannya di depan dada, "Kau ini banyak menuntutnya juga ya? Apalagi yang Kau inginkan dariku sebelum resmi menjadi istri selain harus bisa memasak?"

"Hmm ... melayaniku?"

"Kau kira Aku pelayan? Cari Asisten Rumah Tangga saja sana jika Kau menikah karena hanya ingin diurus dan dilayani setiap hari," sarkasnya, ikut meminum kopi susu buatan Eric yang rasanya tak terlalu enak itu.

Sementara Eric hanya bisa tertawa geli di tempatnya, "Tentu saja Aku bercanda, Elleanor. Jika Kau ingin menjadi istriku, silakan saja sesukamu."

"Sesukamu bagaimana? Jelas-jelas Kau memintaku bisa memasak dan melayani. Tapi ya, baiklah, mungkin Aku memang harus belajar karena Aku ingin juga bisa memasak yang enak-enak untuk diriku sendiri."

"Dirimu sendiri? Tega sekali. Bagaimana denganku?"

"Kau beli saja di kedai, daripada Kau menghina masakanku seperti waktu itu."

Eric tertawa, "Bagaimana Aku tidak menghinamu, hah? Kau memberiku telur dadar gosong, yang benar-benar gosong menghitam bawahnya! Kau kira itu layak dimakan?" tanyanya dramatis.

Terkena skak mat, Tyra hanya bisa diam mengerucutkan bibir. Eric itu memang kejam kalau sudah mengkritik sesuatu, baik soal pekerjaan atau urusan pribadi. Caranya saja yang berbeda, dimana Ia tak akan bercanda jika suatu proyek besar rumah mode itu gagal terlaksana sempurna sesuai rencana akibat kesalahan seseorang. Lain lagi jika dengan Tyra, Eric akan penuh canda tawa meski tujuannya adalah mengkritik.

"Sudahlah, jangan merajuk padaku. Kau mau Aku daftarkan ke akademi memasak? Anggap saja Aku akan memberimu beasiswa pelatihan sebelum menjadi istri." Penawaran tak terduga dari Eric yang membuat Tyra berbinar matanya, "Kau sungguh ingin membayar semua biayanya?"

"Tentu saja."

Tyra bertepuk-tepuk tangan kecil, "Bolehkah Aku memilih akademi yang kumau?"

"Boleh saja, pilih sesukamu."

"Bolehkah yang diajarkan langsung oleh seorang Michelin?"

"Ehm ... kurasa tidak perlu yang semewah itu ..."

Tyra cemberut, "Katanya sesukaku saja ..." cicitnya pelan. Melihatnya, Eric hanya bisa menghela nafas panjang, siap-siap kartu kreditnya akan hilang satu, "Baiklah, Kau boleh masuk akademi dengan seorang Michelin."

"Benarkah? Aah, terimakasih banyak, Eric!"

"Kenapa Kau begitu senang?"

"Ric, Kau tahu? Aku bisa saja mengalami kebangkrutan karena tidak bekerja sebulan! Uangku habis perlahan!"

"Ck! Dramatis sekali. Tenanglah, Aku akan bekerja keras agar Kau dan Aku tidak jatuh miskin."

****

SRAAK!

Noah akhirnya berhasil menggeser pintu kaca lemari penyimpanan di bawah televisi. Belasan menit sebelumnya pria itu hanya kebingungan bagaimana cara membuka lemari itu; didorong, ditarik, atau diangkat? Satu jam terakhir juga Noah menjelajahi benda-benda yang menurutnya asing di apartemen Tyra. Tempat asing itu menurutnya perlu dijelajahi lebih lanjut, karena sudah resmi menjadi miliknya juga sampai jangka waktu yang tidak dapat ditentukan diatas pertukaran berlian harga miliaran.

Pria yang pada dasarnya selalu sibuk itu mendadak menjadi pengangguran. Noah sama sekali belum mendapat inspirasi akan apa yang harus Ia lakukan di dunia manusia, meski kini Ia sudah menapaki beberapa keberhasilan. Membuat Tyra percaya akan Lyminael salah satunya, meski tak begitu meyakinkan.

"Terlalu banyak benda aneh ..."

"Apa ini?" Noah mengerutkan dahi begitu mendapati buntalan-buntalan kapuk dan kapas yang dibentuk menyerupai hewan, alias boneka, "Manusia membuat hal semacam ini?"

Puas memeriksa lemari penyimpanan bawah televisi, Noah berniat pindah, "Kemana lagi Aku harus memeriksa ... ah, dimana pakaiannya?" gumamnya, lumayan tak nyaman dengan pakaiannya yang ... tidak diganti beberapa hari meski tak kotor.

Tidak kotor memang, tapi anehnya Noah mencium bau aneh dari tubuhnya setelah sehari tinggal di dunia manusia.

Noah lantas mengedarkan matanya ke sekeliling apartemen, tak ada tanda-tanda sebuah penyimpanan pakaian di sekitar ruang tengah tempatnya berdiri saat ini. Apartemen Tyra itu memang minimalis, tak banyak barang-barang disana, mengantarkan Noah melangkah saja ke tempatnya tidur semalam.

"Bukankah dia ... berjalan ke ruangan ini?" Noah membuka sebuah pintu yang masih menempel di dinding kamar Tyra itu. Lalu benar saja, itu pintu menuju closet, tempat pakaian, sepatu, dan aksesoris Tyra disimpan.

"Pakaian macam apa ini? Tipis sekali ..."

"Kau pasti akan membeku di musim dingin jika memakai pakaian dengan potongan hampir setengah badan seperti ini ..."

"Dia tak memiliki gaun?"

"Aneh, kenapa hanya ada mantel tanpa ikat pinggang?"

Terus saja Noah mengomentari pakaian-pakaian Tyra yang tergantung di showcase. Hingga akhirnya pria itu menemukan satu potong yang menurutnya tak terlalu buruk; kemeja putih berkancing dengan gambar anjing. Tak ada alasan khusus, hanya saja Noah teringat akan anjingnya, "Bagaimana kabarnya sekarang? Apa Kau masih hidup, Darcy?"

BUKK!

Noah tak sengaja menjatuhkan sesuatu dari atas meja kecil samping lemari ketika Ia melepas pakaiannya.

"Apa ini? Buku?" Pria itu antusias, segala macam buku adalah sahabatnya. "Manusia seperti Elleanor juga bisa membaca buku? Luar biasa," pujinya sekaligus menghina.

Tanpa menyelesaikan acara ganti pakaiannya terlebih dahulu, Noah meraih buku yang terjatuh itu, dibawanya keluar, duduk lebih santai di kasur tempat tidur. Namun apa yang dilihatnya pertama kali dari 'buku' itu hanyalah gambar. Gambar-gambar itu seperti ditempelkan, alias itu adalah album foto. Noah tak pernah memiliki 'buku' seperti itu sebelumnya.

Tetap penasaran, Noah membuka halaman demi halaman 'buku' yang lagi-lagi menurutnya aneh itu, "Kenapa tidak ada huruf sam ..."

Ucapan Noah terhenti bersamaan dengan tangannya yang berhenti di satu halaman mendekati belakang album foto itu. Sebuah foto yang sama sekali tak asing ditangkap matanya, berkali-kali Ia meyakinkan bahwa Ia salah mengenali, namun sepertinya Ia memang benar ...

"Apa ini ... Ayahnya dan ..."

"Ayahku?"

avataravatar
Next chapter