31 Pintu Dari Alam

Mendekati tengah malam, Tyra belum bisa memejamkan mata. Sedari tadi Ia hanya gusar, berbalik ke kanan dan kiri bergantian di atas sofa ruang tengah apartemen. Sesekali Tyra mengeluh, lantaran kasur ukuran king itu telah dikuasai Noah sepenuhnya. Haruskah Ia membeli satu lagi tempat tidur? Tapi dimana juga Ia akan menaruhnya? Apartemen itu hanya punya satu kamar tidur.

"Hahhh!" Tyra menyerah, menghempaskan kasar selimutnya dengan kaki. Dinyalakan kembali iPad dan laptopnya di meja, karena tak ada hal lain yang bisa membuatnya mengantuk dan membunuh rasa bosan selain bekerja dan berpikir. Gambar-gambar sketsa pakaian itu lebih baik Ia selesaikan malam ini, agar dapat lebih cepat didiskusikan dengan Levin di tim produksi besok pagi.

Sungguh, Tyra tidak mengantuk sama sekali, Ia terjaga dengan fokus penuh, hingga pendengarannya menangkap jelas langkah kaki seseorang di kamarnya. "Mau kemana dia?" batinnya bermonolog penuh curiga.

Langkah itu menjauh dan menjauh ...

SRAKK!

Lalu tak terdengar, ganti suara lalu kendaraan yang terdengar lebih jelas. Pintu di kamarnya pasti digeser, "Ck! Apa yang dilakukannya semalam ini?" gumamnya kesal, menanggalkan iPad pencil yang sedari tadi digenggamnya, beranjak memeriksa Noah di kamar.

CKLK!

Pintu kamar dibukanya.

Kosong, tidak ada siapapun di atas tempat tidur yang masih rapi itu. Namun hawa dingin udara malam jelas terasa disana, dan sekilas Tyra melihat punggung seseorang berdiri di pinggir balkon.

"Hey ..." tegurnya pelan. Noah tak bergeming, tetap di tempatnya menatap kosong ke arah langit dan ujung gedung, membuat Tyra melangkah lebih dekat, "Kau sedang apa? Kenapa tidak tidur?" lanjutnya, mensejajarkan diri dengan Noah yang masih tak menganggap kehadirannya.

Tyra menghela nafasnya berat, mengedarkan pandangan ke sekitar, "Sudah lama rasanya Aku tidak berdiri disini malam-malam ..."

Noah meliriknya kemudian, "Kenapa? Bukankah ini sangat menenangkan?"

"Menenangkan bagaimana? Sangat berisik dibawah sana meski sudah tengah malam. Ah, malah semakin ramai, begitulah kehidupan di kota ini."

"Keramaian itu yang menenangkan," bantah Noah, "Aku tidak pernah mendengar suara acak yang membentuk harmoni seperti ini," lanjutnya seraya memejamkan mata, menghayati.

Tyra berdecih pelan, "Apa Kau seorang penyair? Bagaimana bisa bising kendaraan Kau sebut harmoni? Ada-ada saja."

"Jika Kau datang ke Lyminael ... yang Kau dengar saat ini hanyalah suara ledakan, singgungan pedang, kuda berlarian, dan orang-orang yang menyeru serangan dan menyentak." Noah berujar berat, membuat Tyra yang awalnya meremehkan cerita pria itu soal Lyminael ubah tersentuh, "Apa yang terjadi di negaramu, Lyminael?"

"Peperangan, perebutan kekuasaan, kudeta, perang sipil. Semua kacau ..."

"Lalu kenapa Kau ada disini?" tanya Tyra tertarik, "Sepertinya ... Kau adalah orang penting seperti Ayahku juga, bukan?"

Noah mengerutkan dahinya, "Kau ... sudah percaya? Secepat itukah Kau percaya akan apa yang kukatakan tentang Lyminael dan Ayahmu?"

Kembali Tyra menghela nafasnya panjang, "Sepertinya Aku harus percaya, karena selama ini ... ketika Aku bermimpi bertemu Ayah dan berbicara dengannya, apa yang dikatakannya terjadi di dunia nyata ..."

"Mimpi dengan Ayah seperti pesan darinya langsung dari alam lain, dan Aku masih merasa seperti anak kecil yang ketakutan setiap kali tak menuruti perintah Ayahku ..."

"Apa yang ... Ayahmu katakan dalam mimpi yang kemarin?" Noah penasaran, Ia sungkan bertanya pada Tyra yang terlihat sangat sibuk dengan pekerjaannya itu.

Tyra tersenyum miring, "Aku merasa ini konyol, tapi dia bahkan menyebut namamu ..."

Noah seharusnya tak terkejut, namun Ia tetap tak menyangka, "Apa yang dia katakan tentangku?"

"Dia mengatakan ... 'pria bernama Noah yang saat ini ada bersamamu, Kau ikuti saja perkataannya. Percaya saja, karena itu benar' ..." jawab Tyra, "Setelahnya Ayah memelukku, tanpa Aku yang bertanya-tanya akan yang diucapkannya," lanjutnya.

Ditatapnya Noah yang masih diam tak bergeming disebelahnya itu, "Apa Aku benar-benar bisa mempercayaimu, Noah Clodio?"

Noah tak menjawab.

"Aku tidak tahu kenapa Ayah memintaku seperti itu tanpa penjelasan. Tapi jika memang ... ada sesuatu yang harus kulakukan denganmu, Aku akan melakukannya, untuk Ayah ..." lanjutnya. Nada bicaranya itu terdengar tulus, membuat suasana diantara mereka semakin syahdu bersamaan dengan angin malam yang kian berhembus dingin.

"Kau bisa mempercayaiku, selama Kau mempercayaiku." Satu jawaban yang cukup meyakinkan dari Noah. Namun Tyra nampaknya masih memiliki sesuatu yang mengganjal pikiran dan hatinya, "Benarkah? Apa Kau juga ... akan berusaha membuatku mempercayaimu?"

"Kau ingin bukti?"

"Bukti seperti apa?"

"Seperti apa yang Kau mau?"

"Apapun yang bisa Kau anggap sebagai bukti."

Noah mengangguk, kali ini Ia yakin akan sesuatu yang ingin ditunjukkannya pada Tyra sejak kemarin, "Kau mau ikut denganku malam ini?"

"Kemana?"

"Menjenguk Lyminael."

****

Noah tak sedikitpun genggaman eratnya pada Tyra, pun sebaliknya gadis itu, bahkan tangan besar Noah sudah seperti dicengkeramnya. Kuat sekali, lantaran Tyra yang jelas ketakutan saat Noah membawanya kembali memasuki sebuah hutan belantara nan gelap gulita. Pohon-pohon besar mengelilingi mereka, pun menjadi tiang bagi akar-akar rambat yang seolah menghadang perjalanan mereka menuju tempat tujuan. Tanah hutan itu lembap nyaris basah, tanda hujan baru saja selesai turun, menjadi alasan bulan tak menampakkan cahaya di atas langit hutan itu.

"Kemana Kau akan membawaku?" Tyra akhirnya bertanya setelah hanya diam sedari tadi. Suara-suara misterius di tengah hutan itu membuatnya merinding bukan kepalang.

"Sebentar lagi Kita akan sampai ..."

"Jika Kita beruntung."

Tyra mendelikkan matanya tajam, "Jika beruntung? Bagaimana maksudmu? Bagaimana jika Kita tidak beruntung? Sia-sia saja Aku mengikuti perjalanan anehmu ini," ujarnya mengomel.

Noah tak peduli, Ia hanya terus berjalan dan menuntun gadis itu. Untung saja Tyra tak semanja perkiraannya. Kecepatan jalan Tyra tidak terlalu jauh dengan Greta yang gesit dan pemberani, tak membuatnya kerepotan. Oh, Noah tak pernah barang sekejap melupakan kekasihnya itu, bahkan saat ini, sampai Ia membandingkannya dengan Tyra.

"Disini." Noah akhirnya berhenti di depan dua pohon oak besar, lebih dan paling besar diantara pohon-pohon yang mereka lewati sepanjang perjalanan tadi. Kedua pohon itu pun saling berdekatan, bahkan daun dan batang-batang diatasnya bersentuhan saling mengisi. Dua pohon itu saling miring ke arah satu sama lain, hingga menjadikan mereka seperti sebuah pintu dari alam.

"Apa ini?"

"Hutan ini adalah perpanjangan multidimensi hutan di negaraku, Grass Falcon Forest, dan dua pohon oak ini ... adalah pintu masuknya," jelas Noah, Tyra hanya bisa dibuat bingung.

Lalu Noah melepaskan tangannya perlahan, mengangkatnya ke depan sejajar lehernya seraya memejamkan mata. Telapak tangannya terbuka menghadap pertengahan celah antara dua pohon itu. Yang Tyra ketahui, pria itu seperti tengah menyalurkan energi layaknya di film-film fiksi yang Ia saksikan.

Agak lama seperti itu, hingga Noah menurunkan tangannya. Tak terjadi apa-apa. Cahaya biru muda terang itu tak muncul sesuai harapannya.

"Kau akan membuka sebuah portal?" tebak Tyra asal. Namun Noah mengangguk, lalu mencobanya sekali lagi, dengan konsentrasi lebih tinggi.

Tyra memutar matanya malas, meledek Noah yang bergaya bak paranormal itu, "Apa yang dia lakukan dengan melakukan seperti ...."

SSNGGG!

SRAKK!

"Ah!"

Tyra dan Noah terdorong mundur, hampir saja terjatuh akibat sesuatu yang baru saja muncul dari tengah-tengah dua pohon oak itu.

Cahaya biru muda terang itu ...

Muncul seperti bentuk galaksi yang berputar pada sebuah orbit.

"Bagaimana ..." Noah masih tak percaya, "Apa yang Kau lakukan, Elleanor?" tuduhnya pada Tyra yang masih berekspresi bodoh. Gadis itu hanya menggeleng, "Aku tidak tahu, hanya mengangkat tangan seperti yang Kau lakukan ..."

"Kau yang membukanya!"

"Kau bisa membuka portal ini, Elleanor!"

avataravatar
Next chapter