2 Chapter 2 Membantah Kematian

"Kematian adalah hal yang paling jauh dari pikiran kita, walaupun sebenarnya ia lebih dekat dari segala yang dekat dengan kita."

***

Kedua gadis itu sama-sama mencibir. Genit-genit. Hanya saja, yang mengenakan T-shirt merah itu lebih centil ketimbang yang mengenakan gaun kuning.

"Yang nabrak korban, mobil sedan itu, ya?" tanya Yuuto memastikan.

Gadis bergaun kuning mengangguk, tapi temannya segera ganti bertanya.

"Kamu kok cerewet amat sih? Dari tadi tanya melulu! Tanya sama polisi tuh, dia lebih tahu. Jangan tanya sama kita!"

"Bukan begitu. Soalnya, tadi aku tanya sama mereka nggak ada yang mau jawab! Cuma kalian dan bapak berbaju putih itu yang mau bicara dengan ku!" jawab Yuuto.

Kedua gadis itu mengikik tertahan, saling bisik-bisik sebentar, kemudian segera pergi meninggalkan Yuuto.

"Hei, mau kemana kalian?" seru Yuuto.

Mereka tidak menjawab terus saja pergi nyelonong menyusuri trotoar.

Mulanya Yuuto mau mengejar gadis itu, tapi ia lebih tertarik dengan keadaan korban yang mirip sekali dengan dirinya. Dalam hati Yuuto berkata, "Kalau begitu, korban tersebut hanya mirip dengan ku. Berarti bukan aku! Aku masih hidup. Buktinya kedua gadis itu masih sempat ku ajak bercanda, masih mau mendengar dan menjawab pertanyaan ku. Ah, syukurlah semua ini hanya suatu hal yang kebetulan. Kebetulan dari persamaan wajah, pakaian, eh... Tapi nama dan alamatnya korban kok sama pula dengan nama dan alamat ku sih? Ah, masa bisa sesama itu?!"

Kembali rasa bimbang dan penasaran meresahkan hati Yuuto. Ketika korban di angkut dengan mobil ambulance, Yuuto berkata kepada petugas, "Pak, saya ikut ya?"

Petugas diam saja. Cuek. Yuuto jadi dongkol, menganggap orang itu sombong. Ambulance segera di tutup pintunya, kemudian meluncur ke rumah sakit. Yuuto terbengong-bengong. Tak mengerti apa yang harus ia lakukan.

Hari bertambah sore, sebentar lagi akan tiba waktu maghrib. Makin lama, kerumunan massa menipis. Setelah mobil sedan dan supirnya di bawa ke kantor polisi, tempat itu pun akhirnya menjadi sepi. Yang ada hanya Yuuto, lelaki berbaju putih yang tadi di ajaknya bicara, dan dua gadis genit yang saat ini sedang berjalan ke arah Yuuto.

"Bapak mau ke mana?" tanya Yuuto kepada lelaki berbaju putih.

"Di sini aja! Memang saya tinggal di sini kok." jawab bapak itu.

"Di tepi jalan ini?!" tegas Yuuto.

Lelaki itu bersungut-sungut, tampaknya tidak senang di ajak bicara Yuuto. Akhirnya, Yuuto pun segera mengalihkan perhatiannya pada dua gadis yang kali ini sudah dekat dengannya.

"Hei, kalian mau ke mana sih? Mau cari bis jurusan mana sih? Kok dari tadi mondar mandir terus, kayak strikaan!"

"Suka-suka kita!" jawab yang memakai T-Shirt merah.

Yuuto merasa di tantang untuk lebih akrab, karenanya ia segera berdiri di depan langkah merah, sehingga kedua gadis berhenti melangkah.

"Hei, kalian tinggal di mana? Aku mau main ke rumah kalian, boleh nggak?" tanya Yuuto kepada kedua gadis itu.

"Boleh aja!" jawab yang bergaun kuning. "Kami tinggal di situ!" gadis itu menunjuk sebuah PMI di mana di depannya ada pohon besar yang rindang dan teduh.

"Kalian tinggal di Mess PMI situ, ya?" tanya Yuuto.

"Bukan di Mess. Di situ tuh!" sambil mempertegas arah yang di tunjuk, yaitu sebuah pohon besar.

"Ah, jangan bilang begitu! Mau maghrib lho ini! Kalau ngomong jangan sembarangan!" kata Yuuto dengan cemas.

Kecemasan Yuuto masih berlanjut hingga ia berkeringat dingin menatap kedua gadis itu.

Kedua gadis itu saling tertawa ngikik. "Nih orang di kasih tahu malah ngotot!" ujar yang bergaun kuning.

Yang memakai T-shirt merah berkata, "Sudahlah! Jangan membantah kodrat. Kamu sudah menjadi sama dengan kami ini, juga sama dengan bapak itu!"

"Mmmm.... Maksudnya, sama bagaimana?" Yuuto mulai deg-degan.

"Ya, sama! Kita sama-sama tidak mempunyai jasad! Kita ini sama-sama tanpa raga, tahu?!" kata gadis berT-shirt merah itu.

Yuuto tersentak kaget, wajahnya menegang dan tubuhnya mulai gemetar. Gadis itu dipandanginya tak berkedip. Cahaya remang senja menampakkan kepucatan pada wajah kedua gadis itu. Tepian kelopak mata mereka kelihatan sedikit hitam membuat mata mereka itu dingin dan cekung.

"Kalau tidak percaya, susul saja raga mu di rumah sakit. Dia ada di kamar mayat!" kata gadis bergaun kuning itu.

Yuuto masih terbengong dengan dada seolah-olah terguncang karena detakan keras dari rasa takutnya.

"Yuk, ku antar ke rumah sakit," ujar gadis yang mengenakan T-shirt merah.

Ia segera menggandeng tangan kanan Yuuto, sedangkan gadis bergaun kuning menggandeng tangan kiri Yuuto. Mata Yuuto terbelalak sambil menatap ke kanan-kiri dalam kebingungan.

Kemudian, tubuh Yuuto terangkat makin tinggi dan tinggi. Kedua gadis itu membawanya terbang jauh di atas jalan tol. Yuuto sangat ketakutan. Kedua gadis itu menertawakan Yuuto.

"Lepaskan dia." kata gadis yang bergaun kuning kepada temannya.

"Oh, jangan...! Jangan lepaskan aku...!" Kata Yuuto sambil ketakutan.

Yuuto benar-benar panik, di cekam rasa takut yang luar biasa, sebab ia berada dalam ketinggian melebihi tiang listrik.

"Jangan lepaskan akuuu...!" teriak Yuuto ketika akhirnya kedua gadis itu melepaskan tangan Yuuto. Mulut Yuuto jadi seperti orang tenggelam, gelagapan dengan kaki dan tanggan begerak-gerak tak karuan.

Ternyata ia melayang dengan sendirinya. Ia seperti kapas yang tertiup angin. Saat itulah Yuuto baru menyadari, bahwa ia benar-benar sudah tidak memiliki raga lagi. Tak terasa air matanya pun keluar. Air mata dari rasa takut yang luar biasa itu di biarkannya membasahi wajah-wajah sambil berusaha mengendalikan dirinya yang melayang-layang.

Salah satu gadis itu berkata, "Tinggalkan kesedihan mu. Terimalah kenyataan, bahwa kau sebenarnya telah mati!"

Yang satu menambahkan kata, "Pusatkan hati kecil mu ke satu arah, supaya kau bisa bergerak sesuai keinginan mu...!"

"Tidak!" teriak Yuuto seperti anak kecil yang menangis karena ketakutan. "Aku tidak mati! Aku belum mati...! Belummmmm...!"

Jeritan Yuuto adalah jeritan yang paling tinggi dari suaranya. Jeritan itu seakan mengema memenuhi angkasa. Pada saat itu juga, terdengarlah suara adzan maghrib dari beberapa arah. Yuuto masih terengah-engah, tapi ia tidak merasakan detak jatungnya.

Di sela alunan suara adzan maghrib itu, Yuuto melihat beberapa benda tipis melayang bersimpang siur. Makin lama semakin jelas. Makin nyata di penglihatan Yuuto dan membuat Yuuto semakin ketakutan.

Benda-benda yang melayang itu tak lain dari sosok-sosok ujud tanpa raga. Roh-roh yang membentuk ujud mulanya, yaitu ujud raga semasa hidup. Tetapi, di tepian raga mereka ada cahaya fosfor berwarna biru bening dan tipis. Sepertinya menjadi bingkai yang membentuk sosok ujud raga mereka. Kedua gadis yang melayang menjauh itu juga berbingkai fosfor biru. Bahkan Yuuto melihat tubuhnya sendiri juga di bungkus cahaya biru bening.

***

Bersambung…

avataravatar
Next chapter