3 Chapter 3 Keinginan Hidup Yang Kuat

"Hidup adalah helaan nafas, di mana suatu saat akan kita hembuskan untuk terakhir kalinya."

***

Benda-benda yang melayang itu tak lain dari sosok-sosok ujud tanpa raga. Roh-roh yang membentuk ujud mulanya, yaitu ujud raga semasa hidup. Tetapi, di tepian raga mereka ada cahaya fosfor berwarna biru bening dan tipis. Sepertinya menjadi bingkai yang membentuk sosok ujud raga mereka. Kedua gadis yang melayang menjauh itu juga berbingkai fosfor biru. Bahkan Yuuto melihat tubuhnya sendiri juga di bungkus cahaya biru bening.

Mereka ada yang melayang rendah, ada yang jalan di aspalan, ada yang duduk di atap rumah, ada yang berbincang-bincang di pagar pengaman jalan tol, sehingga keadaan alam sekeliling bagai bertabur kunang-kunang biru bening.

Di alam yang aneh itu, Yuuto tampil sebagai orang asing. Pendatang baru yang serba heran melihat suasana sekitarnya. Bahkan ia tetap tidak yakin bahwa dirinya sudah menjadi roh, sama dengan mereka yang mirip kunang-kunang itu.

"Kamu mau ke mana? Baru datang, ya?" tegur salah seorang perempuan berkimono putih, namun pada tepian tubuhnya juga di bungkus dengan cahaya biru bening.

Gadis berambut panjang itu berkata lagi, "Dari wajah mu aku bisa melihat ada kekecewaan yang menyedihkan. Kau bermaksud menentang keadaan, bukan?" perempuan itu tertawa dalam gumam. "Itu tidak mungkin kawan. Kau harus menerima keberadaan mu saat ini. Kau sudah bukan di alam fana lagi. Kau sudah bukan manusia yang mempunyai raga. Kau sudah menjadi roh!"

"Setan kau!" ucap Yuuto marah.

"Kau juga setan!" perempuan itu tersenyum sinis. "Sudahlah, sesama setan jangan saling memaki. Sebaiknya ku antar kau ke tempat tujuan mu. Ke mana kamu mau pergi?" tanya perempuan itu kepada Yuuto.

Yuuto masih di cekam kebingungan yang menegangkan. Tapi akhirnya ia berkata, "Aku mau ke rumah sakit! Aku ingin masuk ke dalam ragaku lagi!"

"Tidak bisa! Itu tidak bisa kau lakukan!" Ucap gadis berambut anjang itu.

"Harus bisa! Harus...! Aku harus hidup dalam raga ku lagi!" bantah Yuuto menunjukkan kekerasan hatinya.

Sesampainya di rumah sakit Yuuto melihat jasadnya yang di taruh diatas kereta dorong dan di kerudungi kain putih itu. Persaannya bercampur aduk. Ia sedih melihat dirinya di anggap mati. Ia takut melihat jasadnya di bawa ke kamar mayat. Ia juga marah karena para perawat tidak mau mendengarkan seruannya.

"Berhenti! Berhenti kalian! Jangan bawa raga ku ke kamar mayat! Aku masih bisa masuk ke raga ku lagi! Hei, berhenti...!"

Sambil berteriak-teriak, Yuuto mencoba menghentikan kereta dorong itu. Tetapi, berulangkali hal iu gagal ia lakukan. Setiap ia berdiri di depan kereta dorong yang sedang berjalan, kereta itu menabrak tubuhnya tanpa terguncang sedikit pun. Bahkan ia sempat merunduk waktu kereta dorong dan perawat yang mendorong itu menabraknya. Ia menyangka akan jatuh, ternyata ia tetap berdiri dan kereta dorong lewat saja tanpa menyentuh apa pun.

"Berhenti kata ku! Jangan bawa raga ku ke kamar mayat!"

Yuuto berusaha menahan perawat yang mendorong jasadnya. Tetapi, perawat itu tetap saja jalan dengan tenang. Yuuto berulang kali gagal menarik baju perawat, gagal mencekik perawat dari belakang, bahkan gagal berteriak sekuat tenaga di dekat telinga perawat itu pun merupakan pekerjaan yang sia-sia.

"Dasar perawat budek!" maki Yuuto.

Kereta dorong membelok pada koridor berikutnya. Koridor itu adalah jalan menuju kamar mayat. Hanya beberapa meter jaraknya dari tempat Yuuto berdiri, pintu kamar mayat telah kelihatan. Petugas penjaga kamar mayat telah membukakan pintu lebar-lebar. Yuuto menjadi tegang. Ia kebingungan dan tak tahu bagaimana cara menghentikan kereta dorong itu. Sekali lagi ia berusaha menahan kereta dorong itu justru menembus dirinya bersama perawat yang mendorongnya.

Malam mulai menebarkan gelap. Yuuto di cekam bermacam-macam perasaan. Ia melihat raganya di bawa masuk ke kamar mayat, dan di pindahkan ke kamar penyimpanan jenazah. Kamar mayat itu di tutup kembali. Yuuto mulanya berusaha membuka tempat penyimpanan jenazah, tetapi ia gagal juga. Melihat pintu kamar mahayat hendak di tutup, ia buru-buru lari keluar dengan ketakutan. Ia tak berani tinggal di dalam kamar mayat sendirian.

"Apakah keluarganya sudah di hubungi?" tanya seorang dokter kepada polisi berpakaian preman.

"Sudah. Mungkin sebentar lagi akan datang mengambil jenazah itu." kata polisi itu kepada dokter.

Mendengar pembicaraan tersebut, Yuuto semakin sedih. Om dan tantenya pasti akan datang mengambil raganya. Ia berharap agar nanti ia bisa berbicara dengan om dan tantenya, supaya tidak memakamkan raganya. Yuuto punya harapan begitu karena ia menduga bahwa adanya hubungan saudara akan mempermudah komunikasi.

Sambil menunggu om dan tantenya, Yuuto duduk di bangku tunggu, sedikit jauh dari kamar mayat. Di bangku itu juga ada tiga orang lainnya yang duduk, mungkin juga sedang menunggu famili atau temannya yang sedang sakit.

Yuuto mencoba berkomunikasi dengan ketiga orang tersebut, tetapi tidak berhasil. Tangis yang timbul akibat perasaan yang campur aduk itu berhasil di kendalikannya. Pikirannya, untuk apa menangis kalau tidak bisa menyelesaikan masalah?

Mendadak, ia terkejut melihat seorang suster yang baru keluar dari bangsal. Suster itu membawa nampan berisi obat-obatan. Ia berbicara kepada seorang ibu yang sedang duduk di bangku dekat Yuuto.

"Sedang menunggu adiknya, ya Bu?" tanya suster itu.

"Iya, Suster." jawab ibu itu.

"Yang namanya Karin?" tanya suster itu lagi.

"Benar. Kok suster tahu?" tanya ibu itu.

"Tadi saya melihat ibu dan dua orang saudaranya sedang berbincang-bincang di ranjang nona Karin." jawab suster itu.

"Iya, itu tuh bicara soal operasi yang akan dilakukan. Ada pihak saudara yang enggak setuju kalau Karin di operasi. Saya sendiri, aduh… Bagaimana ya? Saya serba salah, Suster. Mau mengizinkan, tapi enggak punya biaya. Mau melarang, tapi saya tahu Karin memang harus menjalani operasi kalah mau cepat sembuh. Sebaiknya bagaimana, ya Sus?" kata ibu itu.

"Sebaiknya, Non Karin di bawa pulang saja, Bu." kata suster itu.

"Kok begitu?" tanya ibu itu heran.

"Bawa pulang saja! Esok sore Karin akan meninggal, Bu." kata suster itu lagi.

"Ah, suster jangan bicara begitu dong!" Ucap ibu itu.

"Akan meninggal! Percayalah, mungkin sebelum tiba waktu ashar ia sudah meninggal!" kata suster itu dengan serius.

Suster itu melangkah meninggalkan ibu tadi. Ia melangkah dengan santai saja, seakan tidak menghiraukan perasaan ibu tadi. Sedangkan ibu itu tertegun dengan perasaan tak senang memandangi kepergian suster itu.

Yuuto sejak tadi diam saja, sebab ia tahu bahwa suster itu di kelilingi cahaya biru bening di sekujur tubuhnya. Ibu itu tidak tahu, bahwa yang bicara dengannya adalah roh dari seorang suster.

***

Bersambung…

avataravatar
Next chapter