92 Ke Tepian Amazon

Walaupun bulan Agustus di San Francisco termasuk musim panas, namun kondisi kota yang berbukit-bukit dan berangin kencang membuat suhu selalu terasa dingin sepanjang tahun. Karena itulah, saat membaca bahwa Brasil memiliki iklim tropis seperti Indonesia, Finland merasa bersemangat karena bisa kembali merasakan hangatnya sinar matahari setelah bertahun-tahun tinggal di kota dingin.

Lauriel menasihatinya untuk hanya membawa satu tas jinjing berisi pakaian-pakaian yang ringkas dan berbahan tipis agar tidak memberatkan di perjalanan. Ia sendiri membawa sebuah ransel berisi sedikit pakaian dan sebuah buku. Ia juga membeli telepon satelit supaya Finland dapat tetap melakukan pekerjaannya berhubungan dengan perusahaan dan klien.

"Apa itu? Solar panel?" tanya Finland saat melihat ransel Lauriel yang tampak unik dengan tempelan yang mirip solar panel kecil.

"Iya, biar aku tetap bisa memperoleh listrik kalau perlu..." Lauriel tersenyum lebar, "Kemajuan teknologi sudah membuatku agak manja. Aku akan perlu listrik untuk mengisi daya ponselku agar bisa menghubungi kalian."

"Menghubungi kami? Bukankah kami akan bersamamu terus?" tanya Finland bingung. "Lalu untuk apa kami ikut kalau kau akan meninggalkan kami?"

"Kalian akan ikut denganku ke tepian Amazon, tapi nanti aku perlu berjalan sendiri ke pedalaman karena salah satu suku primitif yang akan kudatangi belum pernah bertemu manusia lain dari peradaban maju sebelumnya. Kalau sampai kau dan Aleksis datang membawa virus penyakit tanpa sadar, seisi suku itu bisa punah. Aku sudah pernah tinggal di sana untuk waktu yang lama, maka aku bukan ancaman untuk mereka. Aku hanya perlu satu minggu, kalian bisa menungguku di penginapan sambil bekerja. Selebihnya kita akan bersama."

"Oh, baiklah..." Finland mengerti.

Setelah mempersiapkan segala sesuatunya rombongan kecil itu berangkat ke Brasil. Hutan Amazon adalah hutan terbesar di dunia dan dilalui oleh Sungai Amazon yang juga merupakan sungai terbesar dan terpanjang di dunia. Mereka mendarat di Brasilia, ibukota Brasil dan berdiam di sana selama dua hari untuk menyesuaikan diri dengan iklim negara yang baru, dan kemudian terbang ke Manaus. Di sinilah perjalanan menyusuri Amazon biasanya dimulai.

"Kita datang di saat yang tepat. Air sungai masih cukup tinggi untuk dilalui dengan kano. Aku perlu masuk pergi ke Santarem untuk bertemu seorang teman lama di bagian pedalaman. Tetapi bulan depan saat air surut dan hutan bisa dilalui dengan hiking aku bisa melanjutkan perjalanan ke bagian dalam. Suku Piripkura yang ingin kutemui akhir-akhir ini terpaksa hidup nomaden karena mereka banyak diburu oleh penebang liar yang ingin mengusir mereka dari wilayahnya."

"Kasihan sekali..." komentar Finland prihatin. Dari Lauriel ia mendengar bahwa saat ini masih ada puluhan suku asli di pedalaman Amazon yang hidup secara primitif dan tidak mau berhubungan dengan manusia modern. Mereka tidak memakai baju dan hidup menyatu dengan alam.

"Orang-orang Amazon memiliki pengetahuan tentang tumbuhan yang luar biasa. Banyak sekali obat-obatan modern yang mengambil bahan dan pengetahuan mereka. Yang sekarang sedang naik daun adalah ayahuasca. Ini obat psychedelic yang bisa memberi efek sama seperti DMT. Ritual pengobatan dengan upacara dan obat ayahuasca ini dipercaya bisa menyembuhkan depresi, membuat manusia melejitkan potensi kapasitas otaknya hingga maksimal, dan masih banyak lagi. Aku memerlukan bahan-bahan untuk obat ayahuasca ini dan beberapa capii lainnya seperti acabaya dan liana. Liana lebih mudah ditemukan. Untuk acabaya, aku harus mengandalkan keberuntungan." Lauriel terus menjelaskan berbagai jenis tanaman obat yang dibutuhkannya dan di mana mencarinya, membuat Finland sadar betapa sulitnya pekerjaan yang akan dilakukan Lauriel demi menyembuhkan Jean.

Saat pemuda itu menjelaskan ramuan obatnya, Finland hanya bisa memandangnya dengan mata berkaca-kaca. Ia semakin hari semakin menumpuk budi kepada Lauriel tanpa tahu bagaimana membalasnya.

"Eh... kenapa menangis?" tanya Lauriel keheranan.

"Uhm... tidak apa-apa," Finland mencoba tersenyum, "Aku hanya terharu."

"Oh..." Lauriel mengangkat bahu, "Aku senang melakukannya, jangan terlalu dipikirkan."

Taksi mereka telah tiba di penginapan di tepi sungai Amazon yang tampak indah sekali. Bangunannya terdiri dari berbagai villa yang terbuat dari kayu dan menghadap ke air, memberikan pemandangan sungai dan hutan yang eksotis sekali. Sebagian penginapannya ada yang dibangun di atas pohon, memberi kesan seperti rumah pohon yang cantik. Finland tak kuasa menahan decakan kagum berkali-kali melihat pemandangan di sekitarnya.

"Selamat siang, Tuan," sapa manajer hotel. "Anda mau di rumah pohon yang biasa?"

Lauriel tertawa, "Anakku masih kecil, dia tidak bisa memanjat tangganya. Aku mau villa yang biasa saja. Mungkin beberapa tahun lagi kami sudah bisa menginap di rumah pohon."

Manajer itu menatap Finland dan Aleksis yang ada dalam gendongannya dan seketika mengangguk paham. Ia tersenyum ramah dan memberi tanda kepada staf untuk membawakan tas ketiga tamu ini dan ia memandu mereka berjalan melintasi jembatan kayu menuju sebuah villa kayu indah di bagian paling ujung.

"Semoga Anda menikmati waktu menginap Anda di sini. Seperti biasa, makanan akan disajikan di restoran utama tiga kali sehari." Setelah memastikan semua berfungsi dengan baik di villa tersebut sang manajer lalu pamit.

"Terima kasih, Jose," kata Lauriel sambil menepuk bahu manajer hotel. "Kami mau beristirahat dulu. Tolong bilang Maurice aku perlu kapal besok."

Ia lalu mengobrol sebentar dengan Jose dalam bahasa Portugis dan keduanya tertawa, lalu Jose pamit keluar.

"Kau bisa bahasa Portugis?" Finland menepuk keningnya sendiri atas pertanyaan yang tidak perlu itu. "Ah, pertanyaan macam apa itu... Kalau kau bisa bahasa Vietnam yang lebih tidak populer, harusnya aku tidak heran kalau kau bisa bahasa Portugis..."

"Tepat sekali," jawab Lauriel tersenyum. "Sepertinya kini kau sudah semakin mengenalku."

"Well.. setelah dua tahun. Sebenarnya itu cukup memalukan. Seharusnya dalam dua tahun aku sudah tahu semua tentangmu," Finland mengangkat bahu, "Tetapi nyatanya aku tidak tahu banyak."

"Kau tidak perlu tahu banyak, cukup yang penting-penting saja," komentar Lauriel. Ia lalu menggendong Aleksis dan membawanya melihat sungai. "Lihat sungainya cantik sekali. Besok kita akan jalan-jalan melihat lumba-lumba pink... Kau pasti suka."

"Uhm... di villa ini hanya ada satu kamar," kata Finland setelah mengelilingi villa mereka dan memeriksa isinya. "Kami tidur di mana?"

"Kalian tidur di kamar. Aku cukup tidur di hammock situ..." Lauriel menunjuk hammock yang tergantung di beranda villa. "Aku lebih suka begitu."

"Oh..."

Lauriel tampak berada dalam elemennya setiap kali mereka keluar dari San Francisco dan tinggal dekat dengan alam. Saat ia berkuda di pertaniannya, dan kini berbaring santai di hammock yang digantung menghadap sungai Amazon, dengan sebuah buku di tangannya, ia terlihat seperti petualang sejati. Rambutnya sepertinya bertambah panjang sedikit saat mereka tiba di Brasil dan dengan kasual ia mengikatnya agar ringkas.

Saat Lauriel bermain dengan Aleksis, Finland memutuskan untuk berkeliling akomodasi dan melihat-lihat sekitar mereka. Seumur hidupnya ia tak pernah mengira akan dapat mengunjungi Amazon. Dari cerita Lauriel, tempat ini sangatlah menarik. Ada area yang disebut Meeting of Waters, di mana dua sungai berbeda warna, hitam dan putih mengalir berdampingan sejauh 6 km, lalu tentu saja berbagai buah/beri yang punya khasiat kesehatan luar biasa seperti acai, berburu piranha, dan mengamati berbagai satwa liar yang hanya ada di Amazon.

Besok mereka akan jalan-jalan melihat lumba-lumba sungai berwarna merah jambu yang cantik sekali. Ia sudah membayangkan betapa Aleksis akan merasa girang bisa memberi makan dan berenang dengan lumba-lumba. Ini sungguh pengalaman sekali seumur hidup.

***

Jean tiba di rumah sakit bersama ibunya yang bersikeras ingin melihat 'cucunya'. Rosalind juga ingin mendampingi Jean saat ia dibiopsi untuk menguji kecocokan sumsum tulang belakangnya dengan anak itu.

Dokter Chou dari Rumah Sakit Raffles menyambut kedatangan mereka dan menerima Jean dan Rosalind di ruangannya.

"Orang tuanya sudah menunggu di kamar pasien. Mereka sudah tak sabar ingin bertemu dengan Anda." Dokter Chou mendeham, "Tetapi mereka memohon agar Anda tidak mengatakan apa-apa kepada Terry tentang hubungan darah kalian. Dia tidak tahu kalau dia bukan anak biologis orang tuanya."

"Oh..." Jean mengangguk tanda mengerti. Ia hanya ingin menolong, tetapi ia sadar bahwa kehadirannya mungkin membuat keluarga Chan merasa sedikit terancam, walaupun mereka yang mengandung dan melahirkan anaknya itu, tetap saja secara genetik Terry adalah darah daging Jean.

Saat mereka masuk ke dalam kamar rumah sakit, sepasang suami istri berusia 40-an akhir tampak berdiri menyambut dan menyalami Jean. Sang istri adalah blasteran Asia-Eropa dan suaminya warga Singapura, kata pengacara ia berprofesi sebagai general manager sebuah bank swasta. Kendrick Chan sangat kaya dan sangat mencintai istrinya, Sylvia.

Setelah 15 tahun menikah tanpa anak, akhirnya mereka memutuskan untuk mencoba program bayi tabung dengan donor embrio karena keduanya tidak mampu memproduksi sel telur dan sel sperma yang cukup sehat. Setelah gagal berkali-kali, embrio yang terakhir berhasil mencapai usia kehamilan akhir dan lahir dengan selamat, membuat keduanya menjadi orang tua yang paling berbahagia. Terry adalah satu-satunya anak mereka dan keduanya sangat memanjakan anaknya ini, sehingga bisa dibayangkan betapa sedihnya mereka ketika tiba-tiba tahun lalu Terry yang baru berusia 4 tahun didiagnosis mengidap leukemia.

Berbagai upaya mereka lakukan untuk menyembuhkan Terry, dan pilihan terakhir adalah donor sumsum tulang belakang. Ini adalah pilihan yang sangat sulit karena keduanya bukan orang tua biologis Terry, mereka harus mencari informasi pendonor asli dan memohon agar mereka mau menolong.

Sebenarnya mereka pesimis, Jean yang sangat terkenal itu mau datang dan menolong, ia tak mempunyai hubungan apa pun dengan anaknya, karena statusnya hanya sebagai pendonor sperma, mereka lebih berharap pada Finland, yang orang biasa. Tetapi siapa nyana, justru Finland yang hingga kini tidak dapat ditemukan, dan Jean dengan gampang memenuhi permohonan mereka.

"Hallo, Terry... Apa kabarmu?" tanya Jean sambil tersenyum menyalami bocah berusia 5 tahun yang berbaring lemah di ranjang rumah sakit. Ia sesaat tertegun karena wajah Terry tampak familiar baginya. "Aku membawakan boneka untukmu..."

Ia menyerahkan sebuah boneka panda kecil yang disambut dengan senyuman oleh Terry. Anak ini dapat ditebak akan tumbuh menjadi seorang pemuda yang sangat tampan. Wajahnya sekarang saja sudah terlihat gurat-gurat ketampanannya dan mata kucingnya persis seperti mata Jean. Sepintas lalu ia terlihat seperti miniatur versi kecil Jean, membuat Rosalind menahan napas. Ia seperti melihat anaknya 20 tahunan lalu. Mereka mirip sekali.

"Kabarku baik..." Terry mengangguk, "Terima kasih untuk bonekanya. Panda adalah hewan favoritku."

"Aku senang kau menyukainya."

Jean duduk mengobrol sebentar dengan Terry sebelum dokter menyuruh mereka keluar agar pasien dapat beristirahat.

"Terima kasih sekali, Anda sudah mau datang. Kami berhutang budi kepadamu..." bisik Sylvia Chan dengan emosional setelah mereka keluar dari kamar Terry.

"Tidak apa-apa, aku senang membantu. Semoga sumsum tulang belakangku cocok dengan Terry," kata Jean.

"Semoga saja begitu..." Kendrick Chan memeluk Jean dengan penuh terima kasih. "Terima kasih..."

Dokter segera menjadwalkan biopsi untuk Jean dan mereka menunggu hasilnya dengan berdebar-debar. Kalau sumsum tulang belakangnya juga tidak cocok.. maka harapan mereka satu-satunya hanyalah Finland.

Di mana gadis itu sekarang? pikir Jean cemas.

***

Caspar baru mendaratkan helikopternya di atap hotel Continental. Ia sudah selesai menenangkan diri di Pulau F dan kini harus kembali ke dunia nyata. Sewaktu masih di udara ia sempat melihat beberapa mobil siaran TV di lapangan parkir dan ia menjadi penasaran apa yang sedang terjadi. Begitu masuk ke penthousenya ia menelepon bagian resepsionis dan menanyakan siapa tamu terkenal yang baru datang ke hotel mereka sehingga menarik perhatian begitu banyak reporter.

"Oh... sedang ada konferensi pers di salah satu ruangan kita, Tuan. Ada tim dokter dari Rumah Sakit Raffles dan bintang film Jean Pierre Wang," jawab Manajer Park.

Seketika pikiran Caspar melayang pada pemuda sahabat Finland yang beberapa tahun lalu dihilangkan ingatannya dan kemudian ditembak oleh Famke hingga koma 9 bulan, hal yang menjadi awal masalahnya dengan Finland hingga sekarang gadis itu meninggalkannya.

Awan mendung segera menutupi pikirannya. Dengan langkah-langkah panjang ia segera turun ke lantai dasar dan menuju aula Orchard tempat konferensi pers diselenggarakan. Di dalam ruangan sudah berkumpul puluhan jurnalis yang merekam dan mencatat baik-baik semua hal yang disampaikan tim dokter dan Jean.

Caspar hendak melangkah maju mendekati Jean, ketika tiba-tiba ia mendengar kata-kata yang menarik perhatiannya.

"...Sayangnya hasil tes menunjukkan bahwa sumsum tulang belakang Jean tidak cocok dengan pasien. Karena itu kami meminta dengan sangat, untuk siapa saja yang mengenal Nona Finland dan mengetahui keberadaannya... agar dapat menghubungi beliau dan memberitahunya tentang situasi ini. Tinggal Nona Finland harapan kami satu-satunya..."

Dengan segera Caspar bisa menghubungkan informasi sepotong demi sepotong yang diterimanya dan menyimpulkan bahwa anak yang dihasilkan dari donor sel telur Finland dan sel sperma Jean dulu sekarang sedang sakit dan membutuhkan donor sumsum tulang belakang. Jean sudah dites dan ternyata tidak cocok, maka harapan mereka tinggal pada Finland. Saat ini pihak keluarga dan dokter sudah kehilangan pilihan dan meminta bantuan masyarakat di internet seluruh dunia untuk membantu mencari Finland.

Setitik rasa bersalah menyisip di hati Caspar saat mengingat ia yang bertanggung jawab telah menghilangkan ingatan Jean. Mungkin mereka bisa impas kalau Caspar membantu anak itu mendapatkan donor sumsum tulang belakang yang dibutuhkannya.

Ia segera membuka ponselnya dan menghubungi Jadeith.

"Aku perlu mencari keberadaan Finland. Ini urusan penting," katanya singkat.

Teleponnya berbunyi 10 menit kemudian.

"Nona Finland sedang ada di Manaus bersama Tuan Lauriel..." kata Jadeith dengan suara gugup. Ia tak suka menyampaikan berita ini kepada Caspar, karena bisa membayangkan suasana hati Caspar yang akan menjadi buruk.

"Manaus...? Brasil?" tanya Caspar tidak percaya. "Sudah berapa lama?"

"Sudah dua minggu."

"Oh..." Seketika rasa kasihan kepada bocah tadi dan rasa bersalahnya kepada Jean terkikis hilang oleh rasa cemburu karena membayangkan Lauriel membawa Finland ke tempat istimewanya. Caspar tahu ia takkan pernah dapat menghilangkan perasaan getirnya ini.

Ia meninggalkan aula Orchard dan kembali ke penthouse-nya. Ia tak lagi peduli kalau anak itu mati.

avataravatar
Next chapter