webnovel

THERE'S NO PLACE LIKE BED

Alicia langsung melompat dari tempat tidur, membuat Nadine dan Gilmore yang berada di sampingnya pun ikut terperanjat.

Leith yang sedang minum di pojokan muncrat.

"Apa—apa yang terjadi?"

Mata Alicia masih melotot karena masih syok. Kemudian ia melihat sekitarnya. Ia melihat dunia yang buram, tapi ia mengenali wajah Nadine dan Gilmore yang bingung dengan tatapannya. Ia memindai ruangan putih dan biru bercampur baur, dan sosok Leith di pojokan. Untung ia tidak melihat jelas betapa idiotnya pose Leith berdiri dengan pakaian yang basah dan bibirnya yang masih ngeces dengan sari jeruk. Alicia menarik napas lega, mengetahui bahwa semua itu cuma mimpi belaka. Dirinya tidak menyangka semua itu terasa begitu nyata. Ketegangannya. Bertatapan langsung dengan Khaos. Jatuh dari kehampaan tanpa batas. Bulu kuduknya masih merinding.

Tiada angin, tiada hujan Alicia tiba-tiba kembali panik pasca meraba meja di sampingnya.

"Kacamata? Dimana kacamataku? KACAMATA!"

"Tunggu-tunggu! Ah! Ini, ini." Nadine buru-buru mengambil kacamata di dalam laci dan memberikannya kepada Alicia.

"Nadine, Gilmore, Leith!" Alicia menghela napas lagi setelah melihat ketiganya nyaris tidak kelihatan seperti habis berptempur. "Kalian kelihatannya sudah baikan. Terakhir kali kuingat kalian pingsan akibat gas racun Leichenhaufen."

"Para tabib berhasil meracik penangkal gas beracun tersebut. Namun jika melihat keadaan, keadaanmu sebenarnya lebih parah dari kami, sayang," sahut Nadine.

Alicia mengobservasi dunianya sekali lagi. Leith kali ini tidak berpose bodoh dan mendekatinya. "Kau baik-baik saja, Kak?"

Sang gadis melihat tangannya yang diinfus. "Aku di rumah sakit, ya?"

"Tidak, kau di panti jompo, Nenek," balas adiknya.

Tidak menggubris respon sarkas adiknya, Alicia bertanya lagi. "Sudah berapa lama aku tertidur?"

"Tidak terlalu lama," sahut Gilmore, "Sehari lebih, mungkin. Atau dua hari? Entahlah."

"DUA HARI?" Alicia sontak teriak.

"Astaga Alicia, tenanglah!" Leith menepuk kepala kakaknya. "Kau tidak melewatkan apapun, sudah cukup jatah kagetmu dalam sehari."

"Leith! Kepalaku masih pusing, tahu!"

"Baiklah, kakak-adik, cukup berantemnya," Nadine menengahi mereka. "Alicia, syukurlah kamu sadar. Apa kamu membutuhkan sesuatu?"

"A-aku … belum, mungkin belum untuk saat ini." Selagi mengingat kembali pikirannya, Alicia merasakan sesuatu yang hilang di hadapannya. "Orb? Dimana Orb?" Alicia melihat laci di kiri-kanannya, bola biru besar itu tak tampak di matanya.

"Untuk sementara, Magisterium Tanah Sihir mengamankan Orb untuk jaga-jaga. Kuharap kau tidak keberatan," ujar Nadine.

Tidak menyiratkan kelegaan, namun Alicia mengijinkan kepalanya kembali menuju kelembutan bantal rumah sakit. Setidaknya Orb tidak akan dicuri oleh penyihir hitam lain dengan mudahnya. "Aku tadi bermimpi aneh. Aku melihat diriku menjadi mahluk kosmik raksasa. Lalu aku melihat sepasang mata besar di atas awan."

"Whoah, mimpi! Pasti suatu pertanda!" Gilmore langsung tertarik dan mendekati sahabatnya.

"Pertanda? Demi Kesunyian Ilahi, nampaknya memang pertanda. Mata menyeramkan itu …," lanjut Alicia, "aku serasa mengenal sepasang mata tersebut. Khaos. Khaos seolah sedang mengawasiku. Ia tampaknya mengirimkan pesan kepadaku. Tapi aku tak tahu apa itu."

"Khaos, dalam wujud sepasang mata?" tukas Leith yang agak tak percaya, kecuali dengan semua peristiwa yang terjadi belakangan ini, melihat wujud Khaos dalam mimpi kakaknya bukan sesuatu yang tak mungkin. Alicia yang dipandang mungil oleh Oposisi Primordial mungkin adalah ancaman yang cukup berbahaya. "Cukup aneh. Lalu apa yang dilakukan raksasa dirimu dan sepasang mata itu?"

"Mereka bertentangan satu sama lain. Saling menyerang dengan energi masing-masing. Dan tiba-tiba dunia—"

Haddock tiba-tiba membanting pintu lalu bersandar di sana. Pembicaraan tadi buyar seketika. Mereka berempat mendengar jelas suara mengi mengalun dari tenggorkan Grand Magus. Barangkali beliau habis menyelesaikan perlombaan olimpiade tanpa bantuan sapu sihir.

"Kalian …. Kalian tidak tahu apa yang baru saja kulalui. Kerumunan massa berhamburan di depan rumah sakit. Mereka ingin melihat sang pengendali Arcane murni!"

Gilmore melihat ke arah jendela, kerumunan orang dalam jumlah besar berteriak tidak jelas ke para penyihir yang menutup pintu rumah sakit untuk kepentingan Magisterium. Suara teriakannya samar-samar, namun Gilmore tahu mereka menuntut agar wajah Alicia sang pembawa sempena Ilahi dipajang di depan muka mereka.

"Lihat semua lautan manusia itu. Setelah sejenak melawan Leethoven, tidakkah mereka memang tampak seperti kerumunan zombi panggilan necromancer?"

"Maksudmu Leichenhaufen?" Alicia mengkoreksinya.

"Iya, kan sudah kubilang, Leethoven."

"Leichenhaufen, dasar tuli!" Nadine memekik si Gilmore!

"Hei jangan paksa aku melafal! Tiap orang punya aksen yang berbeda-beda!"

Leith melongo.

Dengan sengiran menyindir, Gilmore berbalik menggoda Alicia "Ciee, lihat siapa yang punya penggemar sekarang?"

"Baik-baik, mungkin hal seperti itu tidak dapat dihindari," jawab Alicia tenang walaupun rona pada pipinya tak mungkin bisa disembunyikan.

"Ciee, sahabat kutu buku-ku jadi pujaan banyak orang" Nadine ikut menggodanya pula, "Kira-kira berapa banyak lelaki yang bakal mengantri dari penjuru Camelot untuk mengagumi penyihir agung kutu buku ini? Hei mungkin kau bisa saja dipinang!"

"Nadine, berhenti mengada-ngada."

"Kalian menjijikan," tukas Leith.

Ketiga serangkai dengan serempak meneriakinnya, "Oh diamlah, Leith!" lalu Gilmore menambahkan, "Apa kau tidak punya teman, Kawan?"

"Terserah, aku ingin mencari udara segar."

Ini mungkin pertama kalinya Alicia dielu-elukan orang banyak selain keluarga dan teman terdekatnya. Dirinya gelagapan. Bingung. Ia belum menemukan perasaan yang tepat untuk merespon hal tersebut. Tentu saja ia merasa senang, akhirnya dia dan Orb bisa berguna untuk masyarakat kota. Tapi definisi senang yang ia ekspetasikan adalah dimana dia merasa puas, senyuman lebar menghiasi wajahnya lalu keluar dari kereta atau tirai menuju panggung, berputar dan melambai kepada khalayak banyak yang menyorakinya dalam kelipan cahaya.

Tunggu dulu, itu adalah aktris yang sedang berjalan di karpet merah dalam acara perdana pertunjukkan terbarunya.

Atau mungkin layaknya orang yang dilantik oleh raja, lalu menghadap dunia dengan membusungkan dada, para rakyat dan prajurit menyorakinya dengan teriakan perang. Rasakan sensasi ketegangannya dan rasa bangga mengalir ke setiap aliran darah.

Hanya saja kedua opsi terlalu aneh menurutnya. Dirinya bukan orang yang cukup terbuka untuk menerima semua penghargaan tersebut. Saat ini, Alicia merasa deskripsi senang yang ia dapat rasakan dengan tepat adalah tipe senang yang "senang namun khawatir di saat yang sama karena mereka sudah mengenal Alicia, dan mereka bergantung kepada Alicia lebih dari sebelumnya." Apakah itu normal?

Setelah Leith melewati Haddock dan keluar, Haddock mulai mendekati mereka. "Well, barangkali kau tidak sempat mendengarkan karena pingsan kemarin, tapi kamu benar-benbar hebat. Magisterium berutang banyak atas jasa besarmu."

"Kau tidak menyita Orb untuk selamanya, kan, tuan Haddock?"

"Apa?" Haddock bergelak, "Tidak, Alicia. Kau tidak perlu mengkhawatirkan Orb. Yang kau perlu khawatirkan sekarang adalah jika tubuhmu mendapatkan cukup istirahat. Dan sesuai janjiku, aku akan menyediakan fasilitas untuk melatih kemampuan barumu ...."

Kekaisaran Roma bukanlah negara yang memiliki impresi bagus di mata Alicia. Akan tetapi, bertemu dengan para rahib Celestian dan melihat sumber Arcane adalah daftar keinginan sang gadis yang harus diwujudkan sebelum mati. Trip menuju Kekaisaran Abadi, pusat Arcane murni? Ayo berangkat! Mata Alicia jadi berbinar-binar, dirinya tak sabar untuk segera pulih kemudian pergi untuk mengasah pengendalian kekuatan yang dititip sang Ilahi kepadanya.

"... Itu, jika kau menyantap Steak Stillmajik buatanku."

"T-TIDAK MAU! Astaga, minum satu botol saja aku mau mual, aku harus minum empat botol kemarin! Lalu kau ingin aku memakannya berbarengan dengan daging? Tidak, terima kasih!"

Haddock cukup terkejut dengan respon Alicia yang lucu. "Kalau tidak coba, kamu tidak tahu. Kau ingin cepat-cepat keluar dari rumah sakit atau tidak?"

"Berbaring disini sedikit lebih lama tidak masalah untukku! Maksudku, dengan teknologi dan pengetahuan jaman sekarang, tidak bisakah mereka menambahkan rasa manis, seperti perisa berri, misalnya? Bukankah berdasarkan pengalaman pengguna itu lebih enak?"

"Tidak mungkin! Penambahan rasa akan menghilangkan efek dari Stillmajik. Rasa tak enak itu tidak berlaku untuk protein, sih. Aku berani jamin." Memamerkan gigi putihnya, Haddock dengan percaya diri mengacungkan jempol kepada Alicia.

"Steak Stillmajik? Aku suka steak." Gilmore ikut nimbrung dalam konversasi.

"Tidak, Gilmore! Sebagai sohibmu aku menyarankan jangan menyentuh apapun yang terkontaminasi Stillmajik. Kamu tidak akan menyukainya!"

Sementara ketiga serangkai berdebat mengenai bunga liar dalam masakan steak, seorang penyihir mengetuk pintu masuk dan membisikan sesuatu kepada sang Grand Magus.

"Sayang sekali, urusan pekerjaan. Baiklah, Teman-Teman, beristirahatlah, terutama kau." Haddock menunjuk si gadis kutu buku. "Aku akan mengirimkan Orb ke tempat papamu ketika kamu sudah pulih. Kita akan bicara lagi nanti. Ciao!"

***

Petang menyambang, giliran Donar berkunjung ke rumah sakit sambil membawa makan malam dan kudapan manis. "Hai, kuda kecilku sudah bangun. bagaimana keadaanmu?"

Alicia menyambut sang papa dengan senyuman hangat. "Papa! Kepalaku masih sedikit pusing, dan seluruh tubuhku masih merasa berat. Tapi sejauh ini, aku baik-baik saja."

"Jika kalian tidak keberatan." Donar menoleh kepada Nadine dan Gilmore. "Aku ingin berdiskusi antar anggota keluarga sebentar."

Nadine mengangguk. "Kami, mengerti, Tuan."

"Ambilah beberapa makanan itu secukupnya, kalian mungkin bisa makan di luar."

Kini hanya keluarga inti Crimsonmane saja yang tersisa. Donar mengambil tempat duduk di sebelah kiri Alicia, sedangkan Leith sudah bermalas-malasan di sofa panjang dekat pintu.

"Papa, jika ini soal beberapa hari lalu" kata Alicia, "aku menyesal atas kata-kata kasarku saat itu."

"Kenapa minta maaf? Kalau saja kau tidak melawan, mungkin saja Eidyn sudah menjadi nekropolis."

Donar menghela napasnya, "Kau putriku satu-satunya. Mungkin papa keliru dan terlalu mengkhawatirkanmu. Terlalu dibutakan dengan emosi, sampai lupa kalau kau ditunjuk oleh Ilahi Sunyi sendiri. Tapi sebenarnya papa ingin membahas hal lain. Sesuatu yang mungkin … sedikit akan mengganggumu."

"Apa ini soal aku dan Orb lagi?" tebak Alicia.

"Ada hubungannya," balas sang ayah, "Tapi tak ada hubungannya dengan kesepakatan dirimu dan Grand Magus Haddock."

Sambil mengunyah potongan Red Velvet yang dibawa ayahnya, Alicia mengangguk mengerti, "Keluarga besar, tentu saja. Kabarnya pasti sudah tersebar kemana-mana."

Leith melonjak dari tempat duduknya. "Tidak, jangan bilang mereka akan memburu kita hidup-hidup karena tidak menyerahkan Orb kepada mereka."

"Apa? Tentu tidak." Donar menyeruputi tehnya yang baru ia tuang dari teko. "Ya, mungkin awalnya begitu. Tapi setelah memproses semuanya lewat akal, Orb masih di tangan Crimsonmane, yang artinya misi mereka sebenarnya sudah tercapai."

"Hanya saja tidak jatuh ke Crimsonmane yang tepat." Nada Alicia menjadi muram saat berkata demikian. "Tapi bodoh amat, bukannya aku tidak pernah di kata-katai oleh mereka. Jadi cercaan apa lagi kali ini yang mereka lontarkan?"

"Mereka mengundangmu ke villa kakek untuk perjamuan makan malam merayakan prestasimu."

"Ya, tentu saja mereka­—" Alicia tersedak kue Red Velvet-nya sendiri dan cepat-cepat meneguk air. "­—Mereka apa? Perjamuan? Di villa kakek? Itu olokan terpayah yang kuterima sepanjang hidupku!"

"Saking payahnya itu benar, Alicia."

Kedua kakak-adik bertukar pandang. Tapi sungguh, lelucon macam apa itu? Tidak mungkin keluarga besar Crimsonmane tidak melemparkan sarkasme saat mengatakan demikian. Alicia tahu semua lawakan mereka tidak lucu, tapi ini saking payahnya, Alicia antara kesal atau ingin tertawa terbahak-bahak sampai mati. Papa Donar pasti tertipu dengan muslihat licik satu keluarga. Mereka berdua memandang lekat-lekat ayahnya, berharap itu lelucon bulan musim semi, dan Donar sedang lupa waktu.

"Mereka pasti ada maunya," kata Leith.

"Mereka tentu saja ada maunya! Arcane murni!" Alicia menyepakati. "Mereka baru mengundangku ke villa sekarang? Aku jamin mereka barusan menggosipi keluarga kita belum lama ini karena mengira mereka berhasil membodohi kita, membodohi aku, untuk dimanfaatkan demi kepentingan egois mereka!"

"Nak, kita memang punya masalah dengan mereka selama ini. Tetapi pertimbangkanlah. Tidak ada lagi hidup dalam keluarga seperti kapal pecah. Kita bisa saling berdamai dan menjadi bagian dari Crimsonmane lagi."

"Kita semua tahu alasan mereka meminta papa dan Leith mencari sumber Arcane murni dan hubungannya dengan diriku. kenapa masih mencoba meyakinkanku? Aku tidak mau, papa, pokoknya aku tidak mau datang!" suara Alicia naik satu oktaf, mendorong tubuhnya ke arah Donar karena geram. Namun rasa gering kembali menyambar tubuhnya, membuatnya meringis. Donar dengan sigap menahan pundaknya dan perlahan membaringkannya lagi ke tempat tidur.

"Mungkin karena, kau sebenarnya sangat ingin bersama dengan mereka lagi. Apa kau tidak rindu berjumpa kembali dengan keluargamu? Sepupumu, paman dan bibimu? Mereka mungkin merindukanmu."

"Apa yang bisa dirindukan dari mereka?"

"Bahkan tidak dengan kakek Alasdair?"

Alicia terdiam sesaat. "Masa-masa itu sudah lama berlalu, tak mungkin kakek Alasdair bisa melihatku sama seperti dulu."

Aneh. Dilemma aneh ini datang lagi. Sekali lagi, bukankah ini yang dia inginkan? Mendapatkan kekuatan sihir, menyelamatkan orang, dielu-elukan khalayak banyak, dan yang paling utama, diterima kembali sebagai bagian keluarga Crimsonmane? Ini lah yang menjadi bayang-bayangnya selama ini. Crimsonmane sekedar nama, tapi jika mereka berbaik hati, mereka cukup mengatakan mereka tidak tahu kalau Alicia Crimsonmane itu ada.

Alicia punya kerinduan yang besar sekali untuk bertemu dengan keluarga besarnya. Tidak peduli betapa sakit hati Alicia setiap kali hubungannya dengan mereka semakin renggang dan menjauh. Ia hanya ingin mendapatkan kenangan masa kecilnya yang indah lagi, saat orang-orang belum mempertanyakan "Apakah kamu bisa melakukan sihir?" kepadanya. Namun kali ini, ia kesal. Kesal bukan kepalang.

Emosi manusia bedebah! Tidak bisakah kau terima saja apa yang kau inginkan selama ini? Mengapa malah plin-plan, sih? Tidak bisakah kau tidak menjadi rumit sekali ini saja?

Mungkin. Mungkin saja, jika salah satu dari mereka datang mewakili seluruh keluarga, lalu bersujud di depan kakinya untuk meminta maaf dan memintanya untuk menerima undangan perjamuan tersebut, hatinya mungkin luluh. Sayangnya tak ada satupun yang mau menjenguknya. Hanya ada Donar, Leith, Nadine, Gilmore, Grand Magus Haddock, dan kerumunan orang yang Gilmore bilang menyerupai zombi yang tidak berhasil mencapai pintu masuk, tapi masih punya keinginan untuk bertemu walau sekedar melihatnnya sekilas. Tentu saja tidak dengan keluarga ini. Tipikal kaum elit. Gengsinya tinggi. Mereka bahkan tidak ada saat Agosh Grendi dan pasukan mayat hidupnya menyerbu kota. Kemana saja mereka? Sibuk dengan perawatan spa hangat dan gaun glamour? Keluarga penyihir elit tahi kucing! Alicia bisa saja berpikir bahwa ia akhirnya dapat diterima dan turut ikut andil dalam visi misi keluarga Crimsonmane saat ini dengan kekuatan Orb. Tapi tidak, mereka dari awal hanya ingin kekuatan milik si gadis saja.

Alicia berkata lagi dengan berat hati. "Untuk saat ini, aku tidak berminat, papa. Aku harap papa mengerti."

Donar mengangguk. "Kamu tahu, kamu punya waktu sampai pulih untuk memikirkan hal ini, jika kamu berubah pikiran, beritahu Papa saja."

Sore berganti malam. Donar dan Leith pulang untuk beristirahat di rumah dinas, meninggalkan putri dan kakak tercinta. Kini Alicia bergabung dengan formasi dua sahabat klasiknya, Nadine dan Gilmore. Rasanya sudah lama mereka hanya bertiga saja tanpa Orb, tanpa siapapun, walaupun baru lebih dari seminggu. Nadine terbungkus meringkuk dengan selimutnya di sofa tidur sebelah Alicia. Sofa panjang bekas Leith diambil alih oleh Gilmore; sekarang dirinyalah sang penjaga pintu.

Sambil melihat pendaran lampu kuning yang sengaja diredupkan, Alicia yang masih bimbang bertanya kepada kedua temannya. "Jika kalian diajak makan malam oleh keluarga kalian, menurut kalian apakah tidak masalah jikalau kalian menolak undangan tersebut mentah-mentah?"

"Kenapa kau tolak? Maksudku, dapat makanan gratis, dan kalian cuma bertiga," jawab Gilmore. "Bukankah aneh jika hanya makan berdua saja, Leith dan papamu? Tidak bisa kubayangkan kalau itu lebih mirip kencan daripada pesta makan keluarga."

"Gilmore, yang dia maksud bukan keluarga intinya!" Nadine membantahnya. "Tunggu dulu, itu benar kan? Yang kamu maksud adalah 'keluarga' yang satunya lagi?"

"Yah .…"

Nadine langsung terkesiap. "Keluarga besarmu sendiri mengundangmu ke pesta perjamuan …." Ia langsung bersandar di sofanya. "Gila, pantas saja dirimu tidak banyak berseri pasca siuman. Terlalu banyak mukjizat ternyata tidak baik juga untukmu! Itu, atau mungkin karena kamu masih sakit."

Nadine melanjutkan pembicaraanya. "Well, Coba kita lihat. Keluarga yang selama ini mencampakanmu, lalu mulai melirikmu ketika kamu punya kekuatan sihir terkuat di alam semesta, yang kemudian menggunakannya untuk mengalahkan necromancer .…"

"Aku bilang kau tidak perlu ambil pusing, Liz. Jangan diterima," tukas Gilmore. "Sekalipun mereka datang dan menjilati sepatumu. Lebih baik lagi, tanggalkan saja marga Crimsonmane dan mulai hari barumu dengan marga baru! Jangan pernah berhubungan dengan mereka lagi. Aku kepikiran marga yang cocok, Horseglasses? Bookworm? Nerdmane?"

Alicia dan Nadine malah buyar dengan tawa. "Maaf Gilmore, dengan sopan aku menolak usulan ganti marga konyolmu itu," jawab Alicia yang masih terjebak dengan dalam gelak tawanya. "Lagian, Horseglasses? Nerdmane? Marga macam apa itu?"

"Nama bodoh ciptaan seorang yang jenius dalam menciptakan hal bodoh." sambung Nadine.

"Jadi itu membuatku jenius atau bodoh?" Gilmore bertanya balik.

"Menolak undangan makan malam mereka cukup masuk akal sih," kata Nadine. "Tapi kukira kamu sangat ingin bersatu kembali dengan mereka."

Alicia menghela napasnya. "Awalnya begitu. Kupikir jika aku bisa sihir, aku bisa berkumpul dengan mereka lagi. Ternyata tidak semudah itu. Mereka memang menginginkanku kembali, tapi dengan maksud tersembunyi di baliknya, menggunakan kekuatanku untuk menaikkan pengaruh keluarga di kerajaan. Apakah benar begitu? Mereka menginginkanku selama aku punya Orb? Bagaimana jika aku kehilangan Orb lagi? Apakah mereka masih menerimaku? Bagaimana jika mereka berhasil merebut Orb dariku dan mendepakku lagi seperti yang sudah-sudah, karena mereka memang sudah benci buta kepadaku sedari dulu?" Alicia mencengkram kepalanya dengan kedua tangan. "Cuman masalah undangan makan malam, tapi sudah membuatku pening."

"Kamu tahu, kalau kamu memang tidak mau datang, jangan paksakan dirimu, apalagi mencari justifikasi di antara orang terdekatmu." Nadine memberinya saran. "Itu hakmu untuk datang. Hakmu juga untuk menggunakan kekuatan Arcane sesuai keinginanmu."

Alicia merenung sesaat. "Di luar usul ganti marga tadi, kurasa kalian benar. Terima kasih Nadine, Gilmore. Akan aku pertimbangkan."

Nadine melihat jam. "Dan … sudah larut, saatnya beristirahat, manis. Jangan pertimbangkan hal itu di dalam mimpimu, oke? Kamu carilah mimpi yang indah dan menenangkan. Tidak ada persoalan undangan perjamuan keluarga, tidak ada Arcane melawan Khaos, tidak ada Orb."

"Kamu kira aku ini pengendali mimpi?"

"Tidakkah kau pernah mendengar tentang 'mimpi sadar?'" sambung Gilmore.

"Sayang sekali aku tidak bisa melakukannya."

Nadine mematikan semua cahaya di seluruh ruangan. "Baik, Alicia. Selamat malam, sayang. Mimpi indah."

"Selamat malam, Nadine, Gilmore."

"Ya, Alicia. Mimpi indah, sayang," ujar Gilmore.

"Kau menggelikan, Gilmore."

"Tipikal wanita." []