webnovel

WELCOME HOME

Alicia mengemaskan peralatannya untuk dipindahkan ke rumah dinas sang ayah. Dirinya sudah berada di rumah sakit selama tiga hari sejak siuman. Setelah dinyatakan pulih, ia diperbolehkan untuk meninggalkan rumah sakit.

Sembari memasukan pakainnya ke dalam tas, persoalan sebelumnya masih mengganjal di benak sang gadis. Tampaknya Alicia akan mengutarakan keputusannya saat Donar datang menjemputnya.

Akhirnya, ayahanda datang ke kamar untuk membantu membawa peralatan sang gadis. "Biar Papa saja yang bawa, Alicia," katanya. Gilmore, Nadine, dan Leith sudah keluar dari gedung mengangkut bawaan mereka.

"Papa," Alicia memanggil Donar. "Bisa kita bicara sebentar dulu?"

"Hm? Kenapa, nak? Kita bisa bicara sambil jalan kan?"

"Berbicara di lorong terlalu mengganggu. Terlalu banyak orang akan melirikku, apalagi mendekatiku atau semacamnya."

"Yah, masuk akal. Baiklah, kuharap kita tidak membuat yang lain menunggu terlalu lama."

Mereka menghampiri sofa terdekat.

"Setelah dipikir-pikir, aku akan menerima undangan makan malamnya."

"Alicia ...." Sedikit senyuman terpampang di wajah sang ayah. "Itu kabar yang menggembirakan, nak."

"Aku … memang rindu dengan keluargaku. Tapi aku tidak mau serta merta bergabung dalam misi mereka. Aku ingin menyelesaikan perseteruan keluarga kita dengan caraku sendiri," ujar Alicia secara tegas.

Donar tampaknya tidak terlalu bermasalah dengan itu. "Wow, baiklah, Nona. Aku suka gayamu."

"Papa … tidak bermasalah dengan hal itu?"

"Sebaliknya. Pemikiranmu cemerlang. Kamu pikir Papa akan menyerahkan Orb jika Papa menemukannya duluan? Bahkan Papa tidak akan pernah menghasutmu untuk menggunakan Orb demi keuntungan keluarga. Papa memang ingin keluarga kita bisa kembali seperti sedia kala, namun tidak dengan jalan pintas seperti itu." Donar meghela napasnya sebentar sebelum melanjutkan kembali. "Mempengaruhi pemerintahan Camelot, mereka pasti bercanda. Menjadi bagian dari keluarga penyihir elit memang sebuah kehormatan, tapi mereka juga tak lepas dari kecacatan. Sifat haus kekuasaan mereka. Itu yang harus kita perbaiki dari mereka semua."

Alicia sedikit merasa lega. "Menurut Papa, bagaimana reaksi mereka jika aku berkata demikian, ya?"

"Kurasa kau sudah bisa menebaknya," Donar mengangkat bahunya. "Tapi apapun reaksinya nanti, Alicia, persiapkan dirimu. Berusahalah dengan cara sedamai mungkin. Kita tinggal atau pulang, tapi tidak ada duel sihir di dalam villa."

"Ya, katakan itu kepada Alasdair dan lainnya," jawab Alicia yang dilanjutkan dengan tawa kecil mereka berdua.

"Aduh, mereka mungkin susah untuk diajak begitu," kata sang ayah. "Tapi berharap saja mereka menggunakan akal sehatnya nanti."

***

Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Seraya kereta mesin Donar melewati pagar gerbang, terungkaplah taman yang luas dengan segala pernah perniknya--lusinan semak yang dibentuk menyerupai kuda (entah kenapa mereka sangat terobsesi dengan kuda), pondok dan gazebo yang tersebar bagaikan titik peristirahatan, serta tanaman-tanaman langka yang ditanam dengan bebasnya tanpa ada rasa takut sama sekali jika ada yang mencurinya.

Tentu saja tidak ada tidak ada yang mau mencuri tanaman-tanaman langka tersebut karena penuh daya sihir dan racun yang mematikan. Midnight Clover yang membutakan mata, Asididum dengan nektar asam berdaya leleh tinggi, Xixin yang mencuri mana dan banyak lagi. Seringkali orang salah kaprah akan perkarangan villa Alasdair sebagai kebun raya terindah di Eidyn, padahal sejatinya itu adalah lapangan ranjau pelindung rumah.

Donar dan Leith keluar dari kereta mesin bak pria perlente berjas merah padam. Alicia turut hadir mengenakan setelan gaun kirmizi yang tidak terlalu mencolok, tapi tetap terlihat mahal. Cocok untuk tidak membuatnya menjadi peraga busana dalam sorotan, namun tetap berbeda dari para pelayan. Sesosok misterius dan permata tersembunyi. Potongan lengan pendek pada gaunnya melengkapi kacamata bulat yang masih terpampang di antara sepasang mata dan selesa kosong—Ia sangat benci jika sesuatu menyusup ke matanya, termasuk kontak lensa—malah membuatnya semakin anggun dengan cara uniknya tersendiri, dan tidak terkesan seperti kutu buku di lorong perpustakaan.

Sejumlah kereta mesin terparkir rapi, namun Alica nyaris tidak melihat Crimsonmane yang lain selain para pelayan yang sedang mengurus taman. Hampir semua pelayan itu adalah orang baru, yang tidak ia jumpai saat ia kecil, dan mereka juga tampak asing melihat Alicia, sampai-sampai mereka mematung menganga menjatuhkan perkakas masing-masing.

𝘚𝘪𝘢𝘱𝘢 𝘱𝘦𝘳𝘦𝘮𝘱𝘶𝘢𝘯 𝘪𝘵𝘶? 𝘊𝘳𝘪𝘮𝘴𝘰𝘯𝘮𝘢𝘯𝘦 𝘭𝘢𝘪𝘯𝘯𝘺𝘢? gumam sebagian besar dalam hati. Mereka memandang lekat-lekat sang putri bagaikan melihat bongkahan permata Rubellite raksasa yang semakin indah ketika terpantul sinar syamsu. Hanya dengan lambaian lembut dan senyuman canggung dari Alicia lah, baru kutukan patung mereka terangkat dan mereka terburu-buru bekerja kembali.

Namun tetap saja bukan berarti tidak ada wajah yang familiar. Seseorang bertubuh agak pendek mengenakan tuksedo hitam datang menuruni tangga dan menyambut mereka sekeluarga. "Keluarga Donar. Selamat datang kembali. Terima kasih telah menerima undangan Tuan Alasdair," kata orang tersebut lembut.

"Tidak masalah, Whucksmire," balas Donar. "Lihat para pekerja itu, kelihatannya undangan makan malam ini akan lebih besar dari pesta ulang tahun sang patriark."

"Semua ini … karena pencapaian oleh," Whucksmire berdeham, "Putrimu, Tuan Donar. Apa yang menimpa putrimu, dan pertempuran kemarin benar-benar membuat para anggota Crimsonmane sangat terkesan."

"Whucksmire …? Kaukah itu?" Alicia yang sempat tertinggal akibat melihat-lihat, menyapa kurcaci yang kebetulan kepala pelayan tua yang sudah melayani keluarga Crimsonmane hampir sepanjang hidupnya.

Mata Whucksmire yang tertutup kerutan dipaksa melebar karena melihat sosok putri yang selalu ia rawat, yang tak pernah tampak lagi selama lebih dari sepuluh tahun.

"Demi Pengampunan Ilahi …, itukah dia ...?" sang kepala pelayang meminta konfirmasi Donar untuk memastikan matanya memang tak rabun.

"Aku tidak punya anak perempuan yang lain lagi, Whucksmire," canda Donar.

Alicia mendekati Whucksmire dengan senyuman hangatnya. Baginya, Whucksmire dapat disandingkan dengan bibi Mandy di Trinketshore. Pelayan yang murah hati. Suaranya selembut bulu, ditambah dengan penampilannya sekarang yang lanjut usia, setiap suara yang keluar dari mulutnya bagaikan petuah dari langit.

"Oh, Alicia, entah ini kutukan atau anugerah, tidak melihatmu bertumbuh kembang selama sepuluh tahun dengan mata sendiri membuat hati kecil saya gundah gulana. Tapi semua siksaan hati itu sirna ketika melihat sang malaikat sendiri yang menghampiri saya," tutur Whucksmire dengan senyuman lebar. "Lihat diri Nona, lebih dari tinggi saya sekarang. Begitu anggun, Nona tampak seperti ras Elf daripada manusia."

"Dan kau terlihat semakin tua, Whucksmire," Alicia dengan entengnya berkata demikian, lalu mereka tertawa lepas. "Tapi kau belum kehabisan kata-kata puitis, tampaknya. Hati-hati Whucksmire, orang jaman sekarang bisa menganggapmu aneh jika terus berbicara seperti itu."

"Oh, Saya tidak peduli. Saya memang tua! Memang aneh! Itulah Whucksmire yang Nona kenal," balasnya sambil tersenyum lebar.

Setelah jeda canda tawa, berkatalah lagi sang kurcaci, "Baiklah Tuan-Tuan dan Nona, daripada kita terlena dalam percakapan nostalgia tanpa ujung, baiklah saya mengantar kalian ke dalam. Saya menjamin, mereka akan sama terkejutnya saat melihat Nona Alicia."

"Well, inilah bagian menegangkannya," gumam Alicia.

Mereka berjalan menuju villa. Alicia kembali melihat sekililingnya. Tamannya masih sewarna-warni ingatannya dulu. Villa yang terawat tampak seperti tak pernah disentuh peradaban sejak dirinya meninggalkan tempat itu. Semua warna di gedung itu tidak kusam sama sekali. Puluhan gargyle yang menatap tajam ke bawah tanah dan ke atas langit sambil bertengger pada jejeran patung kuda masih di sana. Ya, semua gargoyle tersebut hidup, dengan mana sang patriarkh sebagai sumbernya.

Mereka masuk ke interior villa sang patriark. Seketika semua kenangan lama Alicia, baik dan buruk, kebahagiaan dan trauma, kembali terbayang dalam benak sang gadis. Sesaat, ia mulai mempertimbangkan lagi keputusannya untuk kembali ke rumah keluarga besar penyihir elit tersebut. Beberapa Crimsonmane yang sedang menunggu di ruang tamu langsung menoleh tak percaya. Alicia Crimsonmane, sang pemegang sempena Ilahi itu ada disini, dan lihat betapa ia mulai beranjak dewasa! Alicia sendiri mencoba menyembunyikan rasa kegelisahan dengan berjalan tegak dan mata lurus ke depan, yang sebenarnya malah melihat lebih banyak orang berlalu lalang terpana menatapnya balik.

Akhirnya sampailah mereka di aula utama, tempat para keluarga besar berkumpul. Sesuai janji sang kepala pelayan, semua mata langsung tertuju kepada sang gadis. Para pria muda merona tanpa sadar. Mereka semua berbisik heran. Dan kagum.

Salah seorang kerabat menghampiri patriarkh yang membelakangi 𝘱𝘢𝘯𝘨𝘨𝘶𝘯𝘨. "Keluarga Donar ada disini." Alasdair tiba-tiba bersemangat dan berbalik mencari-cari mereka. Ketika ia berhasil melihat keluarga Donar dan melihat cucu perempuannya yang agak tersipu, Alasdair membeku, hampir seperti penderita stroke.

Hal yang sama dialami oleh Alicia saat penglihatannya menenumkan sosok kakek. Mereka bertatap-tatap sebentar. Dengan gemetaran, Alasdair mendekati Alicia, sampai cukup dekat sang patriarkh harus menundukkan kepalanya sedikit agar bisa melihat wajah sang cucu.

Badannya masih gemetaran. Pikirannya masih mencoba memproses apakah ini nyata. Lalu langsung didekapnyalah Alicia secara erat. Alicia langsung terkesiap, ia mencoba memandangi ayahnya. Donar memberikan isyarat bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Semacam isakan terdengar dari kakek Alasdair. Alicia, tak tahu apa yang terjadi, perlahan membalas dekapan kakeknya. "Uh … halo Kakek, sudah lama tidak berjumpa."

"Demi Kesunyian Ilahi, ini nyata," gumam sang kakek, "Siang dan malam, hatiku risau ketika harus mengusirmu dari kaum kami. Kehilanganmu, kehilangan Ailsa. Aku bahkan tak tahu untuk apa aku hidup lagi. Tapi lihat, engkau kembali. Engkau membuktikan bahwa kami salah. Kami adalah sesalah-salahnya manusia yang dungu. Kesunyian Ilahi memilihmu. Engkau memang istimewa, engkau masih … seorang Crimsonmane."

Alicia masih terdiam seribu bahasa. Ia seharusnya masih merasa was-was. Namun dekapan hangat sang kakek begitu kentara. Sensasi yang sama ketika ia ditimang oleh orang yang sama saat masih belia. Terlihat dari matanya, ia tampak luluh.

"Bagaimana keadaanmu saat tinggal di kota kecil terlupakan itu? Apakah hidupmu nyaman? Cukup makan? Apa kau mendapatkan teman yang baik di sana?

"C-cukup menyenangkan, sebenarnya."

"Tapi engkau masih merasa terasing disana bukan? Jangan khawatir lagi, cucuku, engkau sudah pulang sekarang. Selamat datang kembali di rumah."

Sang kakek langsung melanjutkannya dengan berbisik kepada Alicia. "𝘕𝘰𝘴 𝘴𝘶𝘯𝘵 𝘪𝘯 𝘪𝘨𝘯𝘦 𝘧𝘦𝘳𝘳𝘶𝘮 𝘥𝘪𝘷𝘪𝘯𝘢𝘦."

Alicia terkejut. Air matanya hampir tak terbendung. Alasdair benar-benar menyambut cucunya pulang. Dengan tekad, Alicia menggeleng untuk menahan linangan air mata keluar, supaya dirinya jangan terlihat aneh dan sok dramatis di depan satu keluarga besar seperti menyaksikan opera sabun. Ia membalasnya dengan lembut. "𝘜𝘵 𝘴𝘪𝘭𝘦𝘯𝘵𝘪𝘶𝘮 𝘥𝘪𝘷𝘪𝘯𝘢 𝘱𝘦𝘳𝘥𝘶𝘤𝘢𝘵, 𝘶𝘵 𝘴𝘵𝘢𝘮𝘱𝘦𝘥𝘦𝘴." []