-POV REZA-
Saya sudah melingkari Arka, artinya telah memahami karakter dia secara garis besar. Chika kembali masuk ke dalam ruangan.
"Ada apa lagi?"
"Mohon maaf, Pak. Semua karyawan sudah menanti anda di ruang rapat. Hari ini sudah terjadwal acara perkenalan resmi untuk anda. Mereka juga butuh mengenal CEO secara resmi."
Saya mengerutkan kening. Buang-buang waktu saja.
"Ya sudah, saya ke sana."
Tak perlu menunggu hitungan menit, saya sudah berdiri dan berjalan menuju ruang rapat, di temani Chika. Sebenarnya saya tidak butuh ditemani segala.
Baru juga membuka pintu, suara kicauan yang sempat terdengar langsung meredup bahkan hilang.
"Terima kasih sudah hadir di ruangan ini. Saya Reza Denyu. Tidak ada hal yang lain yang perlu saya katakan selain ini, kan!"
Hening saja, cuma ada Arka yang berbisik-bisik ke arah Aira.
"Apa dia bilang, Denyu? Adeknya Penyu nggak sih."
Dia seperti menertawakan. Tatapan mata saya sudah tajam menyorotnya. Berdiri di depan seperti ini, benar-benar mudah melihat siapa yang fokus, dan siapa yang tidak.
Aira menunduk, ketika melihat saya juga menatapnya. Dia tampak menyikut Arka di sebelah, yang masih tertawa. Ruangan itu mendadak hening, seperti sedang ada prosesi kematian.
"Ada yang lucu?"
Mendengar suara saya yang lantang, Arka terperanjat. Ya, saya memang sedang tidak ramah pada siapapun. Dahi saya pun juga pasti sedang berkerut.
"Bagaimana saudara Arka? Saya bukan adeknya Penyu. Tolong berhati-hati dengan ucapan anda!"
Dia terlihat diam saja. Dan tak perlu mempermasalahkan ini terlalu dalam. Hanya akan buang-buang waktu saja.
"Baik, ada pertanyaan?"
Satu detik, dua detik, tiga detik.
"Oke, kita tutup acara ini. Selamat bekerja."
Saya langsung menuju pintu keluar, tanpa sepatah kata atau menyalami mereka. Bagi saya waktu adalah uang. Melihat kondisi seperti ini, saya jadi merasa terpacu dan ikut bertanggung jawab untuk keberlangsungan dan kemajuan perusahaan ini.
***
***
Mata saya tiba-tiba terasa berat. Tidak ada yang mengantar kopi kelihatannya. Ya sudah, ke dapur saja.
Baru akan membuka pintu. Tiba-tiba seseorang menumpahkan sesuatu ke kemeja saya. Warna kemeja yang kebetulan digunakan, putih. Dan sungguh kejadian ini membuat saraf-saraf saya menegang. Dia lagi. Dia terus, kenapa selalu dia.
"Pergi…!"
Dia berusaha membersihkan kemeja saya dengan ujung lengan baju yang ia kenakan.
"Saya bilang enyah dari hadapan saya!"
Saya bahkan berteriak mengusirnya. Dan terdengar tiap pintu yang berpenghuni terbuka, ada kepala-kepala yang mengintip dari balik sana. Mood saya jadi berubah buruk. Dia tidak juga pergi, malah menunduk-nunduk sesering mungkin.
Rambut apa ini, seperti sarang laba-laba.
Saya tidak berniat untuk berada seperti ini dengannya terlalu lama. Kembali ke dalam ruangan adalah pilihan paling tepat, pintu terhempas, refleks saja.
Saya duduk di balik meja, sambil mengurut kening. Bekerja seperti ini memang benar-benar menyesakkan dada. Entah kenapa sepertinya, semua yang ada di sini tidak sesuai dengan keinginan saya.
Tidak lama, terdengar bunyi ketukan pintu. Lalu, terlihat Chika yang masuk.
"Apa yang terjadi dengan Nayla, Pak?"
Nama itu membuat kepala saya terangkat, "Jangan panggil dia dengan nama itu!" Saya tidak suka orang seperti dia, memiliki nama yang sama persis dengan Nayla saya.
Chika terlihat bingung. "Tapi, nama dia memang Nayla, Pak!"
"Nayla apa?"
"Hmmm, Nayla Jawri."
"Panggil dia Jawri. Dia tak layak menyandang nama sebagus Nayla."
Hah, apa yang terjadi? Menyebut nama Nayla berulang-ulang membuat dada saya terasa sesak. Dimana kamu Nayla?
Saya segera mengambil jas, lalu keluar.
"Mau kemana anda, Pak?"
Sebelum membuka pintu, saya terpaksa menghentikan langkah kaki.
"Saya ada urusan sebentar, sekalian mau mengganti pakaian ini."
Pintu saya buka, dan wanita pengganggu pemandangan masih berdiri mematung di sana.
Hah! saya tidak peduli, menyingkirlah!
Saya tetap melangkah, namun saat akan mendorong pintu kaca menuju ruang resepsionis, langkah kaki saya terhenti. Mengingat kembali nama lengkap wanita itu.
^^ Nayla Jawri^^
Mungkinkah ini kebetulan. Saya mencoba berbalik, menatap wanita itu yang sudah berjalan memunggungi menuju dapur.
Sempat terdiam beberapa saat, tidak ada yang bisa membuat saya meyakini bahwa dia memang orang sama, yang saat ini sedang saya cari, si Dua Dua Nayla.
^^ Kelak, kalau kita sempat berpisah, dan bertemu lagi saat dewasa, ucapkan aja kata sandi itu. ^^
Itu ucapan Nayla. Apa saya coba saja menggunakannya?
Jika dia merespon, berarti itu memang Nayla saya. Dan bagaimana pun perubahannya, tidak akan jadi soal bagi saya, yang penting dia adalah Nayla, gadis yang sudah sangat baik pada saya. Satu-satunya yang terbaik.
Saya berbalik, menyusulnya ke dapur.
Meski ragu dengan hasilnya, tapi apa salahnya mencoba. Mana tau dia memang si Dua Dua Nayla Jawri.
Saya mendorong pintu dapur. Dan mendapati dia sedang duduk di lantai, bersandar pada sisi meja.
"Hmmm…"
Mendengar saya berdehem, dia langsung berdiri, sambil menghapus air mata. Dia menangis. Jika benar dia Nayla yang saya cari, saat ini juga dia akan saya tarik ke dalam dekapan. Meminta maaf atas perlakuan kasar tadi, dan juga karena tidak bisa mengenali lebih awal.
Dia hanya menunduk, dan melipat kedua tangan di depan. Persis berdirinya seorang budak. Lagi, jika dia Nayla yang saya cari, seketika ini juga saya akan bersujud di hadapannya, meminta agar dimaafkan karena telah membuatnya menjadi manusia rendah begini.
"Dua dua…"
Saya lihat, dia tidak merespon. Mungkin masih emosional. Baiklah, saya coba lagi, mendekat lebih bagus.
"Dua dua…"
Beberapa detik, tetap bergeming.
Saya akan lebih mendekat. "Dua dua."
Tidak juga, dia malah menggeser ke belakang.
"Apa kamu si Dua Dua?"
Rasanya tidak sabar.
Tapi, dia menggeleng masih tetap menunduk. "Umur saya dua tiga, Pak."
Ternyata benar, dia bukan Nayla saya. Nama itu ternyata juga hanya sebuah kebetulan.
"Lupakan!"
Saya lalu kembali berbalik, dan melangkah keluar dengan perasaan gondok. Kenapa harus melakukan hal bodoh itu? Nanti wanita pengganggu pandangan jadi salah sangka terhadap saya.
Sebelum benar-benar keluar, saya juga berpesan pada dua orang resepsionis di depan, bahwa saya keluar. Jika ada yang datang hendak berurusan dengan saya, mohon tinggalkan saja pesan, nanti saya yang akan mendatangi atau menghubungi kembali.
Saya juga menganggukkan kepala, saat petugas keamanan kantor memberi hormat ketika dilewati.
Saya melonggarkan dasi, sambil terus berjalan dengan cepat. Sesak sekali dada ini. Fokus pun jadi berkurang.
Nayla…
Nayla…
Ya Tuhan, mengingatnya saja membuat saya benar-benar menjadi setengah gila.
Ketika sudah berada di lobi gedung, tak sengaja saya melihat seorang gadis, yang jika dilihat-lihat betul, hampir mirip dengan Nayla kecil. Reflek saya mengejar, lalu menarik lengannya.
"Nayla?"
Tapi ekspresinya tampak terkejut bercampur bingung. Dia kemudian tersenyum, "Saya Soraya."
Saya lalu melepaskan tangan dari lengannya, menghela nafas, lalu menunduk, "Maaf."
Kemudian berlalu dari hadapannya, yang justru terpana melihat ketampanan paripurna saya.
***
***