webnovel

Kekuasaan

SOCA

Di kamarnya, Nereid sudah akan terlelap. Namun, suara ketukan di pintu membuatnya terjaga. Nereid pikir itu Aaron atau Altair karena kedua orang itu yang paling sering menemuinya. Hanya saja hal yang membuatnya bingung, kenapa harus mengetuk-negtuk pintu. Sebab, pintu kamarnya tidak pernah dikunci dari dalam, Aaron yang melarangnya.

Karena suara ketukan di pintu tak kunjung berhenti. Nereid menyibakan selimut tebalnya dan melangkah turun dari ranjang untuk membuka pintu. Seketika matanya membeliak lebar, terkesiap menatap sosok yang berdiri di ambang pintu.

Setelah tergemap beberapa saat, Nereid mulai melangkah mundur secara perlahan. Namun, entah kenapa kakinya malah limbung hingga membuatnya hampir tersungkur. Untung saja ada nakas yang bisa dijadikan bahan pegangan. Beberapa vas bunga berjatuhan terkena lengan Nereid yang serampangan menjadikan nakas sebagai penyangga.

"Hai, Nak. Kenapa kau tidak menyapaku? Apa Aaron tidak mengajarimu tata krama saat menyambut tamu?" Deildra melangkah kalem. Menampilkan sebuah senyuman sinis, seirama dengan tatapannya yang tajam dan dingin.

Bahkan hanya dengan sekali tatap saja. Nereid tahu kalau orang yang hanya berjarak selangkah di depannya itu sama sekali tidak memiliki maksud baik. Lebih-lebih, Nereid masih mengingat bahwa pria bercambang tipis merupakan orang yang pernah melukainya saat masih di Rohellio.

"Kau, mau apa ... ke sini?" Nereid menatap Deildra dengan takut-takut.

"Menemuimu." Tangan kanan Deildra bergerak seakan hendak menyentuh sisi kiri kepala Nereid. Namun, buru-buru remaja itu mengangkat tangan kanannya bermaksud menepis lengan Deildra. Akan tetapi, tangan kiri Deildra bergerak lebih cepat mencekal pergelangan tangan Nereid.

Sementara itu, tangan kanan Deildra sama sekali tidak menyentuh sisi kepala Nereid, melainkan mencekik remaja itu. Di saat bersamaan, Deildra sedikit memutar tubuh Nereid lalu menghempaskannya ke atas nakas.

Bunyi benturan punggung dan nakas kayu terdengar nyaring, sedangkan suara keluhan Nereid terdengar samar karena suaranya tertahan ditenggorokan. Tangan kiri Nereid mencengkram pergelangan tangan Deildra yang tengah mencekiknya, berusaha melepaskannya, tetapi nihil. Sedangkan tangan kanan Nereid masih dicekal tangan kiri Deildra.

Nereid tidak mampu melepaskan cekikan Deildra dengan hanya sebelah tangan kirinya. Kedua kakinya yang menjuntai pun sulit bergerak karena terhalang kedua kaki Deildra. Saat Nereid hendak mencoba mengangkat sebelah kakinya pun, pria bercambang itu sudah lebih dulu menginjaknya, tak memberi kesempatan sama sekali.

Sekarang, mustahil bagi Nereid melepaskan diri. Dadanya terasa semakin sesak dan sakit, mulutnya terbuka berusaha menghirup udara. Namun, cekikan di leher menghambat semua udara yang coba dihirupnya. Deildra sama sekali tidak tersentuh melihat air muka Nereid yang kesusahan. Alih-alih mengendurkan cekikannya, pria bercambang tipis itu malah melakukan yang sebaliknya.

Deildra memejamkan kedua matanya, berusaha memasuki pikiran Nereid. Namun, sesuai dengan apa yang dikatakan Aaron sebelumnya. Pikiran Nereid tertutup aura hitam nan pekat, tidak bisa ditembus. Akan tetapi, Deildra tetaplah Deildra, bukan Aaron. Tanpa memedulikan apakah Nereid akan terluka atau tidak, menderita atau tidak, tetap memaksa memasuki pikiran remaja itu.

"Sial!" Deildra menggeram jengkel saat tak ditemuinya hasil, pikiran Nereid sukar dimasuki.

Deildra berusaha lebih keras, auranya dikerahkan lebih banyak. Di waktu yang bersamaan, kedua mata Nereid semakin membeliak lebar, tubuhnya meronta-ronta. Suara teriakannya tersangkut dan menumpuk ditenggorokan, sedang yang keluar hanya gumam tak jelas.

Kernyitan di kedua alis Deildra tercipta saat beberapa keping gambar pikiran Nereid berhasil dilihat; ruangan usang, altar ritual, pemujaan, gelas berisi darah, dan Lodrak. Deildra terkesiap melihat gambaran yang terakhir sampai tersentak mundur dengan refleks. Napasnya mendadak jadi menderu, wajahnya menjadi pucat serta kaku.

Tubuh Nereid jatuh tersungkur ke lantai, lemas, terbatuk-batuk kecil dan tampak masih kesulitan bernapas.

Butuh beberapa saat bagi Deildra untuk menenangkan diri. Emosinya benar-benar kacau balau, kusut. Setelah napasnya kembali normal, Deildra menatap sejenak Nereid yang masih bergeming dengan napas tersengal.

Berjalan ke arah pintu, Deildra memanggil prajurit yang sebelumnya disuruh menunggu di luar. Beberapa prajurit datang dan lekas menyeret Nereid sesuai intruksi. Mereka lekas bertolak mengikuti langkah sang pimpinan.

_________

Altair dan Allera sudah tiba di kediaman pribadi Devoss Galloga. Beberapa kasim sudah menunggu, menyambut mereka dan lekas mengantar menuju ruangan di mana Devoss berada. Namun, keduanya langsung terkejut bukan main kala mendapati Rigel juga ada di sana.

"Aih, Pirang! Kenapa kau ada di sini?" Allera menunjuk-nunjuk Rigel dengan mimik heran. Sementara yang ditunjuk, meski sempat menampilkan roman kaget sesaat. Namun, tidak beraksi berlebihan, dan mengabaikan sikap heboh Allera.

"Alle, jaga tata kramamu," Altair mengingatkan. Memandang pria bercambang lebat dengan tak enak hati. Altair menyoja ramah serta penuh hormat. "Tuan Devoss, maaf atas ketidaksopanannya."

"Haha. Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Duduklah!" Devoss mempersilakan dengan isyarat tangan. Walaupun tampang pria bercambang lebat ini terlihat galak, tetapi sikapnya malah ramah. "Omong-omong siapa wanita muda dan cantik ini sampai kau ajak kemari? Apa kekasihmu?"

"Ih! Amit-amit." Allera bergidik geli.

Sebenarnya Altair sangat ingin membalas, 'siapa juga yang mau denganmu!'

Namun, karena Altair tipe orang yang teguh menjaga tata krama. Apalagi saat bertamu di rumah orang berpangkat serta terkemuka, maka ditahan saja semua kekesalannya di hati. Dipaksakannya sekelumit senyum di bibir. "Bukan. Dia ini Allera Costel, cucuk dari guruku."

"Wah!" Devoss cukup terpana. Senyuman di wajahnya seketika merekah lebar. Ditatapnya gadis remaja berparas jelita itu. Walau sesaat tadi Devoss merasa agak kurang suka dengan tingkah laku korang sopan si gadis remaja. Namun, ketika mendengar silsilah keluarga gadis itu, dengan cepat suasana hatinya segera baik kembali. Pujinya pada Allera, "Kau sangat energik sekali."

"Terima kasih, Paman Devoss. Em, maksudku Tuan Devoss." Allera tersenyum riang.

"Tidak apa-apa, panggil paman saja." Devoss membalas senyuman itu dengan hangat. Matanya berkeliling memindai ketiga remaja yang menjadi temannya minum moke. Kemudian bertanya, "Omong-omong, apa kalian bertiga sudah saling mengenal?"

"Ya, begitulah." Allera menjawab dengan sikap acuh tak acuh.

Sementara Rigel dan Altair, keduanya kompak menjawab dengan gumam, "Hm, ya."

Beberapa dayang datang membawa moke-moke terbaik serta harum. Meletakannya di atas meja berbentuk bundar dengan sangat hati-hati juga anggun. Ada pelbagai kudapan basah dan kering, serta aneka buah. Semua tersaji lengkap dan meruah.

"Jadi, apa kau akan mengikuti perekrutan Hungost tahun ini?" Devoss menatap Altair setelah menenggak secawan moke.

"Iya. Guruku menyarankan demikian."

"Kau siswa yang sangat berbakti." Devoss memuji, mengisi cawan Altair dengan moke sebagai penghargaan.

"Terima kasih." Altair tetap menampilkan sikap kalem meski dipuji Devoss. Menenggak isi cawan sampai habis sebagai tanda bahwa dirinya menghormati pujian tersebut.

"Paman, aku juga akan mengikuti perekrutan Hungost itu."

Pernyataan Allera membuat Rigel tersedak dan terbatuk untuk kedua kalinya——yang pertama pas masih di Rohellio. Devoss pun menampilkan raut tak kalah terkejut. Satu-satunya orang yang masih kalem hanya Altair, karena memang sudah tahu akan perihal tersebut.

"Tapikan——"

"Buat pengecualian untukku, Paman." Allera menukas ucapan Devoss sembari melayangkan pandangan memelas pada pria bercambang lebat itu. Kedua telapak tangannya dikatupkan.

Devoss tak lekas menjawab, melaikan memandang Altair lebih dulu. Seolah-olah tengah meminta pendapat anak muda itu. Yang dipandang hanya mengangkat bahu dengan sekelumit senyum dipaksakan.

"Kakeknya sudah menyerah menasihatinya." Altair memberitahu.

"Hmm." Devoss berpikir sejenak. "Baiklah kalau begitu. Khusus untukmu saja, boleh ikut."

"Hore!" Allera menyambut dengan riang gembira.

"Baik!" Devoss berseru sembari menepukan kedua telapak tangannya membetuk sebuah kepalan. "Besok pagi kalian semua ikut aku ke Kastel Kallae. Sekarang, mari kita nikmati semua yang terhidang di meja ini."

"Baik." Ketiga remaja menjawab serempak di waktu yang hampir bersamaan.

_________

Setelah berbicara cukup banyak dengan Raja Efraim Cartwheel, maka Aaron lekas kembali. Jadwal menjadi pembicara untuk menyambut para peserta yang ikut perekrutan Hungost pun sudah ditetapkan.

Beberapa prajurit dan kasim mengantar Aaron kembali ke ruang peristirahatannya. Begitu sampai di pintu utama, maka para prajurit dan kasim yang mengantar lekas undur diri. Prajurit yang menjaga pintu menyambut Aaron, menyoja.

Aaron memasuki rumah dengan langkah kalem dan langsung menuju kamar di mana Nereid rehat. Dilihatnya Rallia tertidur bertopang pada meja, Aaron melewatinya. Rencananya, setelah melihat Nereid barulah membangunkan gadis itu supaya pindah ke kamar.

Namun, mata tua Aaron langsung mengerung saat didapatinya kamar Nereid kosong. Atensinya langsung tertuju pada pecahan vas bunga, bersepai di lantai. Lakuna hatinya langsung mencelos, perasaan tidak enak segera menyambangi. Langkahnya buru-buru kembali ke ruang depan.

"Nak, bangunlah." Aaron menepuk pelan punggung Rallia. Namun, tidak ada respons.

Aaron mencobanya sekali lagi, tetapi tetap tidak mendapat tanggapan. Merasa ada kejanggalan, diperiksanya gadis itu. Ternyata, Rallia pingsan karena terkena aura. Tubuhnya jadi relaks, kemudian terlelap pulas berlebihan, hingga sangat sulit untuk dibangunkan. Tidak berbahaya dan bukan sesuatu yang mengancam jiwa.

Lekas Aaron mengalirkan aura hangatnya pada tengkuk Rallia. Tak berselang lama, gadis itu pun mulai bangun. Tersadar kembali.

Rallia mengejap-ngejapkan kedua matanya. Mendapati Aaron tengah menatapnya dengan tatapan sendu. Lirihnya, "K-kakek?"  

"Nak, apa yang terjadi?" tanya Aaron ketir.

Rallia mengingat-ingat apa yang telah terjadi beberapa waktu lalu. Kemudian mencaritakan semuanya secara gamlang tanpa ada yang ditutup-tutupi. Di akhir cerita, isakan mulai mengiringi. Meski tidak tahu apa yang terjadi, tetapi firasat Rallia mengatakan sesuatu hal telah terjadi.

"Kakek, apa Nier baik-baik saja?" Rallia menatap Aaron dengan air mata menumpuk di pelupuk matanya.

Menghela napas getir, Aaron menggeleng pelan. "Aku tidak tahu."

"Tidak tahu?" Ralia menatap nanap Aaron dengan bingung, terheran-heran juga sedih.

"Nier tidak ada. Namun, dari ciri orang yang membuatmu pingsan, kurasa aku tahu siapa orangnya." Begitu usai melontarkan kata-katanya, Aaron lekas bangkit kemudian bertolak dengan tergesa-gesa.

Isak tangis Rallia semakin nyaring terdengar. Dirinya merasa tidak berguna, tidak becus menjaga Nereid. Bersama malam yang merangkak semakin larut, sedu sedan itu tak kunjung berhenti. Mengalun bagai sebuah simponi.

Aaron sudah mengenal Deildra sejak lama. Jadi, tidak sulit baginya melacak keberadaan orang itu. Sayangnya, Aaron tidak dapat melacak keberadaan Nereid. Selain dari aura Nereid memang unik serta tidak mudah dilacak. Kemungkinan besar Deildra juga sudah memberi penghalang supaya lokasi Nereid sulit untuk ditemukan.

Saat Aaron memasuki rumah kediaman Deildra, muridnya itu tengah mengobrol dengan seorang pria bermisai kira-kira berusia tiga puluh lima tahun. Namun, begitu melihat kedatangan gurunya, Deildra lekas menyuruh pria bermisai itu pergi.

"Guru." Deildra berdiri menyambut, senyuman ramah terparti di wajahnya.

"Deil, katakan di mana Nier?" Aaron bertanya tanpa basi-basi lebih dulu. Ada kemarahan bercampur sedih dalam nada suaranya.

"Ada. Aku tempatkan di penjara bawah tanah." Deildra menjawab dengan santai, kembali duduk. "Malam ini aku lelah, besok pagi aku baru akan menginterogasinya."

"Deildra! Kau ...." Aaron mengempaskan tangannya yang mengepal ke maja kaca, membuat retakan di sana. Napasnya sedikit memburu, punggungnya kelihatan turun-naik.

"Tenanglah, Guru." Deildra menatap Aaron tanpa sedikit pun rasa bersalah. "Kenapa kau tidak duduk saja?"

"Deil, apa kau sudah tak menganggap orang tua ini sebagai gurumu lagi?" lirih Aaron, getir. Memandang sedih ke arah muridnya.

"Itu tidak mungkin. Selamanya kau adalah guruku." Aaron memalingkan pandangan, hatinya juga berdenyut sakit.

"Kalau begitu kembalikan Nier padaku. Jangan sakiti dia!"

Menghela napas panjang, Deildra masih memalingkan pandangannya. "Maaf Guru, aku tidak bisa memenuhi keinginanmu kali ini."

"Deil ... haruskah aku berlutut memohon padamu?" Aaron benar-benar menjatuhkan tubuhnya ke lantai, berlutut.

"Guru! Kau ...." Deildra tersentak dengan apa yang baru saja dilakukan oleh gurunya. Hatinya mulai terasa gusar, sampai mengertakan gigi-giginya. Cepat-cepat Deildra melangkah ke belakang Aaron, menghindari posisi berlutut sang guru atas dirinya. "Guru, aku tidak tahu kenapa kau bisa begitu peduli terhadapnya. Namun, satu hal yang harus kau ingat. Jangan coba-coba untuk menolongnya. Aku memiliki wewenang resmi atas penahannya. Jika kau mencoba membebaskannya, tindakanmu akan menjadi sebuah kejahatan."

Deildra tertawa dingin, kemudian melanjutkan lagi ucapannya. "Kerajaan memang tidak akan memenggal lehermu bila kau bersikeras malukannya. Namun, kau akan diasingkan jauh. Namamu akan rusak, goresan tinta akan berkisah tentang tindakanmu yang melawan negara demi Saman. Cucu serta siswamu akan menanggung malu. Juga, kau tidak akan lagi memiliki kesempatan untuk bertemu dengannya."

Deildra mengakhiri ucapannya dengan helaan napas. Katanya lagi sebelum melangkah pergi, "Hanya karena sebagai baktiku padamu, aku berjanji tidak membunuhnya. Sudah larut, istirahatlah."

Hening. Aaron masih membeku, berlutut di lantai yang dingin. Dirinya sudah terjebak dalam perangkap yang diciptakan muridnya sendiri. Di dunia ini, ada hal yang tidak dapat dilawan dengan kekuatan fisik individual maupun kelompok, yaitu hukum dan kekuasaan.

Sekuat apa pun Aaron, tidak mungkin dirinya bisa mengobrak-abrik istana dengan hanya kedua tangannya. Kalau memaksa, hanya akan ada hukum yang menjerat. Aaron bukannya takut reputasinya hancur. Namun, di mana Nereid saja bahkan tidak tahu. Kalau dirinya mengamuk begitu saja, yang ada malah dipenjara atau diasingkan. Jadi, semua hal yang dikatakan Deildra memang tak salah barang sedikit pun.

Malam semakin pekat, Deildra melangkah letih menyusuri jalan yang dipagari pohon-pohon besar. Daun-daun berguguran menghujani tubuhnya. Kemarahan dan rasa sedih menguasai emosi pria bercambang tipis itu. Marah karena Aaron begitu peduli pada makhluk yang amat dibencinya setengah mati. Namun, disisi lain juga sedih melihat sang guru terpukul karena tindakannya.

_________

Altair serta Allera sudah kembali, tetapi keduanya dikejutkan dengan isak tangis Rallia. Usai mendengar semua hal yang terjadi, roman wajah Altair langsung berubah masam, sedangkan Allera menjadi muram dan sedih.

"Aku akan pergi mencari Kakek." Allera bangikt berdiri kemudian bertolak tanpa menunggu persetujuan. Namun, baru sampai di muka pintu, Aaron sudah kembali. Kakek tua itu kemudian menceritakn semuanya.

Usai bercerita, Aaron yang letih lekas melangkah lunglai menuju kamar. Allera buru-buru mengantar.

Altair sudah ingin menyusul langkah Allera untuk menemani sang guru, tetapi dilihatnya Rallia semakin bertambah sedih. Rasa iba di hatinya timbul. Ditatapnya gadis yang duduk di sebalahnya itu. "Semua ini bukan salahmu, Rallia. Jadi, berhentilah menangis."

"Ini salahku. Aku teledor." Rallia menggeleng-gelengkan kepala sembari masih terisak.

"Kau tidak teledor, tetapi kau lemah."

Jantung Rallia seperti dihantam benda keras, sesaat sampai berhenti berdetak. Namun, apa yang katakan Altair memang benar. Rallia hanya mampu menunduk, memaki diri sendiri yang tak berguna sama sekali.

"Orang lemah, lebih gampang ditindas orang yang kuat. Agar bisa melawan orang yang kuat, kau harus cerdas atau menjadi lebih kuat. Namun, ingtalah! Jangan sampai hilangkan kebaikan di dalam nuranimu. Sebab, kecerdasaran tanpa didampingi kebaikan hanya akan membuat hatimu dipenuhi ambisi. Kekuatan tanpa kebaikan hanya akan menghasilkan kebengisan." Altair menghela napas. Maklum kalau kata-katanya mungkin akan menyakiti Rallia. Namun, gadis itu harus tahu kenyataan.

Mengesah, Altair melanjutkan lagi kata-katanya. "Bahkan, kekuatan dan kecerdasan saja tidak cukup untuk melawan orang seperti Deildra. Untuk melawan orang seperti dia, juga harus punya kekuasaan. Namun, tidak akan mudah mendapat kekuasaan, untuk mendapatkannya seseorang harus memiliki sesuatu untuk dijual. Deildra menjual bakat serta kemampuan luar biasanya pada Raja Efraim, sehingga bisa mendapat kekuasaan di istana.

"Namun, ingatlah! Jangan pernah pupus kebaikan di dalam nuranimu. Karena baik kercedasaran, kekuatan, maupun kekuasan, tanpa diimbangi oleh kebaikan ketiganya hanya akan membawa kerusakan." Begitu usai merampungkan kata-katanya, Altair lekas berlalu.

Rallia semakin menunduk dalam, tetapi isak tangisnya sudah berhenti. Dari dua buah bola mata cokelatnya yang besar, memancar suatu sinar yang kuat.

Entah itu sebuah tekad atau ambisi?

_______

Deildra tidak dapat tidur semalam penuh. Benaknya terus saja terpikirkan perihal gambaran yang dilihatnya dalam ingatan Nereid. Kenapa bisa Nereid memiliki gambaran Lodrak? Apa hubungan keduanya? Altar, ritual, pemujaan, darah, bagaimana semuanya itu bisa berhubungan? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar dan berulang, berseliweran.

Mengesah, Deildra menghempaskan punggungnya ke hulu ranjang. Mejambak frustrasi rambutnya. Lama ia tecenung, mencoba menghubungkan benang merah yang berjuntai-juntai tidak karuan. Namun, tetap tidak ketemu simpulnya.

Suara ketukan di pintu memaksa Deildra menghentikan segala macam kecamuk di benaknya. Tanyanya, "siapa?"

"Hambamu, Tuan Deildra," sahut si kasim di luar pintu.

"Ada apa?"

"Tuan, di depan Tuan Dew Egidas menunggu Anda."

"Hm, baiklah. Katakan padanya aku akan lekas menemuinya."

"Baik."

Deildra menarik jubah tebal yang tersampir di gantungan kemudian lekas bertolak ke ruang depan. Di sana, seorang pria kira-kira berusia tiga puluh lima tahun tengah duduk menunggu. "Dew, maaf telah membuatmu menunggu."

"Eh?" Pria bermisai dan memiliki berewok lebat menoleh ke arah Deildra yang datang dari arah belakang. Buru-buru Dew Egidas menyoja ramah. "Tuan Deildra, tidak apa-apa."

"Apa yang membuatmu datang sebuta ini, Dew?" Deildra duduk di kursi.

"Saya sudah mengumpulkan semua informasi pembantain di Desa Alres. Kejadian itu sudah lama sekali, untung saja dokumennya masih ada. Jumlah korban, waktu kejadian, juga hasil penyelidikan lainnya tertulis lengkap di buku ini." Dew mendorong buku di meja ke arah Deildra.

Dew Egidas merupakan prajurit Hungost yang dikirim Devoss untuk menjadi asisten pribadi Deildra. Tugasnya tentu saja membantu semua hal yang Deildra kerjakan.

"Kau pasti telah berkerja keras. Terima kasih, Dew." Deildra mengambil buku dan membukanya secara acak. Melihat serampangan kemudian menutupnya kembali. "Dokumen ini pasti aku pelajari, tetapi sekarang ada hal yang mesti kukerjakan. Kau ikutlah denganku."

Bangkit berdiri, Deildra lekas melangkah. Di belakangnya, Dew Egidas patuh mengikuti. Keduanya menuju ruang bawah tanah yang berada di sayap kiri istana. Penjagaan di sana sangat ketat. Deildra sampai harus berkali-kali menunjukan plakat serta surat remsi bersetempel kerajaan.

Ruang-ruang jeruji besi berderet, Deildra dan Dew melewatinya. Mereka berjalan lurus sampai tiba di sebuah ruang lapang. Di sana hanya ada satu sel, posisinya ada di ujung. Dew mengeluarkan sebuah kunci kemudian membuka pintu sel dan mempersilakan Deildra masuk.

Di dalam sel Nereid tengah duduk menekuk kedua lututnya di pojok ruangan. Mimik wajahnya tampak tertekan juga letih. Semakin bertambah depresi lagi ketika dua orang pria memasuki selnya. Nereid langsung menundukan kepalanya, raut takut tercetak di air mukanya.

"Bawa dia!" kata Deildra pada asistennya.

Dew lekas menarik bangun tubuh Nereid menuruti perintah Deildra. Namun, Nereid menolak untuk dibawa pergi. Walaupun Dew berusaha menyeret, Nereid bersikeras mempertahan diri agar tetap di tempatnya.

Melihat hal itu, Deildra tak tinggal diam. Lekas ia melangkah ke balakang tubuh Nereid yang tengah bersikeras tak mau dibawa pergi. Tanpa basa-basi Deildra langsung menginjak satu kaki Nereid hingga tertekuk ke lantai.

Suara teriakan bercambur geraman melolong saat Deildra menekan lebih keras betis bagaian atas Nereid. Terdengar suara gemeretak tulang, entah patah atau hancur. Tubuh Nereid yang sudah merosot jatuh, semakin jatuh. Tangannya yang dijadikan sebagai penyangga tubuh mengepal erat.

Dew yang menyaksikan semua itu sampai harus menelan ludah. Sama sekali tak menyangka bahwa Deildra akan bertindak begitu kejam. Bagaimanapun Dew melihat, Saman itu hanyalah remaja yang masih sangat belia.

"Tuan, apa tidak berlebihan bila harus mematahkan kakinya." Dew menatap Deildra sembari meringis.

Delidra mendengus dingin, tersenyum mencemooh. "Masih bagus tidak kupatahkan lehernya. Kenapa, apa kau merasa kasihan, Dew?"

"T-tidak. Maaf atas pertanyaan lancangku, Tuan." Dew langsung menunduk jengah.

"Bawa dia!" Deildra melangkah keluar penjara.

Dew lekas memapah tubuh Nereid dan membawanya pergi tanpa mengalami kesulitan. Nereid tidak dapat melakukan perlawanan lagi, sebelah kakinya sudah tak berfungsi sama sekali. Jangankan dipakai menahan, diseret saja sakitnya sudah bukan main, sangat sakit.

______

Bersambung ....

_______