webnovel

Interogasi

SOCA

Deildra memasuki ruangan di mana ada sebuah meja panjang, di atasnya berderet beragam jenis senjata tajam; pisau-pisau kecil, pisau bergerigi, belati, pedang, parang, sampai kapak pun ada.  Di ruangan, ada pula; pilar, bejana air, cambuk, tongkat besi pemukul, bara yang menyala, juga alat-alat penyiksaan lainnya.

Tubuh Nereid diikat ke pilar, kedua tangannya diborgol di belakang, giginya masih mengertak menahan sakit di kaki yang patah. Kepalanya terus menunduk. Rambut panjangnya acak-acakan, merumbai semerawut, membingkai serta menutupi wajah.

Deildra diam memandangi deretan senjata di hadapannya. Sejurus kemudian, tangannya meraih cambuk yang masih tergulung rapi terkait di dinding. Kemudian berjalan menuju ke arah Nereid yang dibelenggu. Deildra menyabet-nyabetkan cambuk ke tempat kosong menggunakan tangan kiri.

Dengan mudah Deildra mencengkram rahang Nereid karena memang remaja itu jauh lebih pendek darinya. Desisnya mengancam, "Dengarkan aku, Iblis kecil. Kalau kau mau menjawab pertanyaan-pertanyaanku tanpa mencoba menutup-nutupinya. Maka, kau tidak perlu merasakan sakit dari senjata-senjata di ruangan ini. Mengerti!?"

Membisu, Nereid tak menjawab. Kepalanya terangkat, mendongak mengikuti tarikan tangan Deildra yang masih mencengkram erat rahangnya. Namun, Nereid terus menurunkan pandangannya. Tidak berani beradu tatap dengan Deildra.

"Katakan, apa hubunganmu dengan Lodrak?" Deildra memulai interogasi, suaranya mendesis tetapi terdengar sangat tajam.

"A-aku ... tidak tahu." Nereid mengatakan yang sebenarnya. Dirinya memang tidak tahu apa-apa, bahkan siapa itu Lodrak pun tidak tahu. Mungkin, lebih tepatnya tidak ingat. Sebagaian banyak memorinya pupus.

Dengusan dingin meluncur dari hidung Deildra. Senyumannya sinis. "Kau memang sengaja mencari perkara. Kita lihat, sampai kapan kau bertahan untuk membungkam."

Deildra menghempaskan kepala Nereid lalu mundur beberapa langkah. Cambuk di tangan kirinya dipindah ke tangan kanan. Tanpa basa-basi lagi, tangannya langsung bergerak melayangkan cambukan ke tubuh remaja di depannya.

Walaupun Nereid memakai mantel tebal, tetapi cambukan Deildra mengandung tenaga luar biasa. Tiap kali tali cambuk mendarat di tubuhnya, kulit Nereid langsung terasa perih dan panas. Tenaga dari cambuk tidak merusak pakaian, tetapi langsung mengelupaskan kulit. Seperti itulah kekuatan dari pengendalian aura, kemampuan arura.

Meski demikian, Nereid justru memilih menggigit bibir bahwanya hingga berdarah ketimbang berteriak atau memohon ampun. Kedua tangannya mengepal, tegang, sampai urat-urat di punggung tangannya mermunculan ke permukaan.

Satu, dua, tiga cambukan lebih dan Nereid masih tak mengatakan apa-apa. Sepuluh, dua puluh, tiga puluh, Nereid juga masih bungkam. Membuat Deildra menjadi gusar, jengkel setengah mati. Dilemparkannya cambuk ke sembarang arah. "Kemarikan tongkat besi itu!" titahnya pada Dew.

Dengan langkah sedikit gemetar Dew lekas mengambil tongkat besi. Ukurannya sebesar ibu jari dan panjang kira-kira tiga hasta. Kemudian lekas menyerahkannya pada Deildra. Dew cepat-cepat melepaskan borgol serta tali yang mengikat Nereid sesuai dengan intruksi atasannya, Deildra——dengan menggunakan isyarat tangan.

Tubuh Nereid sedikit oleng dan seperti akan tersungkur, berdirinya tidak tegak. Kesulitan menyeimbangkan tubuh hanya dengan satu kaki. Di saat seperti itu, Deildra justru menendang keras sendi di antara betis dan lutut Nereid dengan keras. Otomatis, tubuh Nereid jatuh berlutut di lantai.

Deildra benar-benar tak peduli pada ringisan atau rintihan remaja itu. Tangan kirinya menahan bahu Nereid agar tetap dalam posisi berlutut, sedangkan tangan kanannya bergerak memukulkan tongkat ke punggung remaja teresebut. Nereid kembali mengertakan gigi-giginya sembari mengepal erat menahan rasa sakit akibat hantaman tongkat yang mengoyak-oyak punggungnya.

"Katakan padaku, apa sebenarnya hubungan kalian berdua!" bentak Deildra.

Sama seperti sebelumnya, berpuluh kali pun Deildra memukuli punggung Nereid. Tetap saja remaja itu memberi jawaban yang sama seperti sebelumnya. Sebelum akhirnya bungkam seribu bahasa. Hanya suara erangan yang sesekali lepas dari mulutnya. Hal ini membuat Deildra bertambah emosi, berang tak kepalang.

Deiildra kembali mencampakan tongkat sembarangan. Matanya beralih pada besi dengan ujung menyerupai setrika mini yang berada di bara api. Sudah lama besi itu di sana, warnanya oranye. Deildra menarik mantel berikut kaus bagian kiri Nereid hingga sobek, menampilkan dada si remaja yang dipenuhi luka lecet parah dan mengelupas——bekas cambukan.

Tanpa ragu Deildra mengambil besi panas itu dan menempelkannya di dada Nereid. Membuat anak remaja itu berteriak-teriak nyaring. Nereid sudah tidak tahan lagi menahan semua rasa sakit yang mendera tubuhnya. Tidak mampu lagi meredam teriakannya.

"Berhetilah bersikeras! Katakan hubungan apa yang kau miliki dengan Saman keperat itu, huh?!" Deildra kembali membentak. Menekan lebih kuat besi panas. Asap tipis mengepul dari kulit yang melepuh terbakar.

"A-aku ... tidak ... tahu ...." Nereid menjawab dengan terbata di antara jerit dan rintihannya.

"Keras kepala!" Deildra menjambak kepala Nereid dan mengangkatnya bangun. Mencelupkannya ke dalam bejana besar berisi air. Setelah beberapa saat, baru diangkat lagi.

"Kalau kau terus bersikeras, penyiksaan ini tidak akan berakhir! Katakan padaku, apa hubunganmu dengannya?!"

""A-aku ... tidak ... t-ta-hu ...." Nereid menjawab dengan terbatuk-batuk dan terbata. Suaranya bergetar dan lirih.

"Cih!" Deildra mendengus dingin. Mencelupkan lagi kepala Nereid ke dalam bejana sampai beberapa lama baru mengangkatnya dan bertanya hal serupa. Namun, jawaban Nereid pun tetap sama. Hal itu terus terulang berkali-kali. Entah berapa banyak air yang tertelan Nereid.

Deildra akhirnya menghempaskan tubuh Nereid ke lantai. Lama ia terdiam mengatur napasnya yang mulai memburu. Menata emosinya yang mulai kacau berantakan. Lewat beberapa, barulah Deildra berkata, "Dew, cepat bawa binatang itu kemari."

Dew yang sedari tadi berdiri ngeri menjadi terkesiap. Bagaimanapun, Saman memang memiliki kemampuan untuk menyembuhkan diri. Namun, saat disakiti tetap saja mereka merasakan kesakitan. Hati nurani Dew benar-benar tidak tega melihat semua hal yang terjadi di hadapannya. Namun, dirinya tidak memiliki keberanian untuk menghentikan.

"T-tuan apa kau yakin? Penggunaan hewan lektaa untuk menginterogasi sudah dilarang karena terlalu kejam. Walaupun nanti anak ini dapat menyembuhkan diri, bukankah dia tetap merasakan sakit selama prosesnya. Dia masih anak-anak, Tuan."

"Dew, cepat bawa hewan itu kemari!" Deildra mengulangi lagi ucapannya.

Menelan ludah sendiri, Dew bergegas mematuhi perintah Deildra. Mau bagaimana lagi, pria bercambang tipis itu adalah atasnnya. Titahnya harus ditaati dan dirinya tidak berhak campur tangan lebih jauh. Meski jauh dilubuk hati, Dew sama sekali tidak setuju dengan perlakuan Deildra yang menurutnya terlalu kejam.

Dew yakin selama beberapa hari ke depan dirinya tidak akan nyenyak tidur dan nafsu makannya akan berkurang banyak. Kejadian hari ini pasti menghantuinya selama beberapa hari atau minggu. Dew benar-benar bingung melihat mana Saman yang terkenal kejam dan mana manusia yang terkenal bijak itu. Semua yang terjadi di depan matanya begitu samar dan ... salah.

Tak lama, Dew kembali dengan membawa sebuah peti berukuran sedang. Peti itu berisi hewan bernama lektaa. Bentuknya mirip kelabang, tetapi besar. Ukurannya kira-kira sebesar lengan orang dewasa dan memiliki kaki-kaki yang bergerigi. Bisanya sangat kuat, mampu membuat manusia mati secara perlahan-lahan. Namun, yang paling menyakitkan adalah proses penyuntikan bisa ke dalam tubuh.

Deildra berjongkok dengan satu kaki di sisi tubuh Nereid yang masih mengap, kesulitan bernapas. Menyibakan mantel serta kaus remaja itu sampai terbuka di bagian perut hingga ke dada. Deildra lekas mengambil hewan lektaa dari peti yang telah dibuka oleh Dew.

"Olesi!" pinta Deildra pada Dew.

Lekas Dew mengambil peles kecil dari sudut peti dan menuangkan isinya yang berupa cairan berwarna kuning pucat. Dew mengoleskannya ke perut Nereid dengan agak sedikit gemeter, berkali-kali menelan ludah. Cairan itu merupakan perangsang supaya lektaa melepaskan semua bisa di dalam tubuhnya.

Begitu perut Nereid usai diolesi, Deildra langsung meletakan lektaa di atasnya. Hewan melata itu pun mulai menancapkan satu persatu kaki-kakinya yang banyak serta bergerigi. Meneteskan bisanya dengan perlahan-lahan.

Mulanya Nereid hanya mengeluarkan suara rintihan lirih. Namun, semakin lama semakin nyaring dan mulai berteriak tak terkendali. Nereid hendak bangkit tetapi dengan cepat Deildra menancapkan sebilah pedang di bahunya. Menancap jauh ke bawah menemubus lantai, memaku tubuh Nereid. Darah bercipratan menganai wajah Deildra serta Nereid sendiri.

Ringisan Nereid semakin nyaring, tangannya berusaha menyingkarkan hewan di perutnya. Namun, lagi-lagi Deildra menahan gerakannya. Menusuk kedua telapak tangannya dengan belati ke lantai, memakunya.

"Menyerahlah! Katakan saja, apa hubunganmu dengan Lodrak?"

Deildra menumpahkan cairan dari botol kecil ke punggung lektaa kemudian menciptakan api dari ujung jarinya. Punggung lektaa mulai terbakar, membuat kaki-kakinya semakin brutal mengoyak-ngoyak perut Nereid. Darah mulai menggenang, berjatuhan ke lantai.

Nereid tidak menjawab, yang keluar dari mulutnya hanya teriakan, gemanya memenuhi seisi ruangan. Rasa sakit yang kali ini dirasakannya sangat luar biasa. Setiap kaki lektaa menancap diperutnya, rasanya seperti disengat ribuan kala jengking sekaligus.

Dengan tingkat rasa sakit separah itu Nereid seharusnya sudah kehilangan kesadaran. Namun, Nereid tetap terjaga karena Deildra mengalirkan auranya melalui pedang dan belati yang tertancap. Supaya si remaja bisa terus merasakan sakit demi sakit yang bertubi-tubi.

Deildra mengabil satu lektaa lagi dari peti dan meletakannya di perut Nereid. Membakar punggung lektaa dan membuat binatang itu tak terkendali menancapkan kaki-kakinya yang bergerigi ke perut Nereid, merobek kulitnya.

Teriakan Nereid semaking nyaring dan serak. Jari-jarinya bergerak kaku, ingin mengepal tetapi terhalang belati yang menancap di telapak tangannya. Urat-urat lehernya bermunculan kepermukaan, kedua kakinya terus bergerak-gerak. Hingga pada akhirnya, tenaga juga suaranya benar-benar habis terkuras. Walau kesadarannya masih ada, tetapi tubuhnya sudah terlampau tak bertenaga sama sekali. Lemas dan tak mampu lagi bergerak. Cairan bening menetes dari dua sudut matanya, hanya itu yang bisa dilakukannya saat ini. Mengangis tanpa daya dalam kebisuan.

"T-tuan, kurasa dia memang tidak tahu apa-apa." Dew menatap iba serta prihatin keadaan Nereid saat ini. Tak henti-hentinya pria bermisai itu meringis karena ngilu juga jeri.

Deildra tak cepat-cepat menjawab. Matanya memandang Nereid yang bergeming, tetapi alis atau mulut sesekali tampak berkedut. Artinya, semua rasa sakit masih dirasakannya. Hanya saja remaja itu sudah tidak memiliki tenaga lagi untuk sekadar merintih apalagi meronta. Deildra tak buta. Dirinya tahu, melihat, Nereid menangis meski tak bersuara.

Lama Deildra terdiam tak memberikan kepastian. Dew pun tak memiliki keberanian untuk mengungkapkan pedapatnya lagi atau sekadar memberikan saran agar  penyiksaan ini lekas dihentikan.

Lewat beberapa lama, barulah Deildra berkata rendah. "Kurasa hari ini cukup. Bawa dia kembali ke selnya."

Deildra membawa dirinya bersandar pada tembok, menghempaskan punggungnya kasar. Satu kakinya diluruskan, sedangkan satunya lagi ditekuk. Kepalanya menunduk, rambut gondrongnya menjuntai, menutupi wajahnya.

"Baik." Dew ingin menyarankan agar Nereid dibawa ke tabib sebenarnya. Namun, urung karena merasakan kemuraman yang menyelimuti tubuh Deildra. Seakan ada aura pekat dan kelam bergulung di sana, menguarkan hawa dingin nan menusuk. Duka yang benar-benar dalam, nestapa yang tak berujung.

Pedang di bahu serta dua belati di masing-masing telapak tangan Nereid perlahan menghilang. Kedua lektaa diperutnya pun tampak sudah mati terbakar. Cepat-cepat Dew menyingkirkan kedua bangkai hewan itu, melemparkannya kesembarang arah. Dew bergegas memangku tubuh Nereid yang kini sudah sepenuhnya kehilangan kesadaran.

Ruangan menjadi sunyi senyap. Air mata menetes dari mata kiri Deildra, sedangkan di mata kanan cairan bening itu juga menggantung, dapat jatuh kapan saja. Mencengkram dadanya sendiri, Deildra mulai terisak rendah.

Deildra sadar bahwa barusan dirinya memang tidak berniat menginterogasi Nereid, melainkan menyiksanya. Meluapkan semua kemarahan dan kebenciannya pada Lodrak selama ini. Namun, setelah melampiasakan semuanya. Entah kenpa kesedihan di hatinya justru semakin bertambah banyak.

Isak tangis Deildra mulai berubah menjadi sengguk. Sisi lain dari dirinya mengutuk keras tindakannya yang telampau kejam. Kebencian, kemarahan, kepedihan, kesedihan, rasa sakit dan bersalah, semuanya bercampur, tumpang-tindih menekan batin.

'Guru, muridmu yang tak berbakti telah berubah menjadi iblis sekarang. Guru, kenapa rasanya begitu sakit. Kenapa luka di hatiku tak penah sembuh? Guru, tolong aku dari sakit ini. Tolong aku. Guru, maaf karena aku sudah tak mengindahkan ajaramu lagi. Maafkan aku ....'

________

Di tempat peristirahatan Aaron, semua orang tengah berkumpul di ruang tengah. Lama keheningan menggelayut di sana. Hanya terdengar hela-hela napas masygul menguar di udara. Roman murung seperti tengah berkabung menghiasi tiap-tiap wajah.

Setelah lama melewati keheningan, Aaron akhirnya yang pertama membuka suara. Mata tuanya menatap ke arah kaca. Di luar, cahaya sang surya sudah terang benderang. "Sudah menjelang siang, kalian berdua bukankah harus pergi? Tes pertama perekrutan Hungost hari, bukan?"

"Kakek, aku akan tetap di sini saja untuk menjagamu." Allera memegangi lengan Aaron dengan kedua tangannya.

"Aku juga, Guru. Perekrutan Hungost tidaklah terlalu penting."

"Tidak, tidak. Keberadaan kalian berdua di sini tidak akan membantu sama sekali. Jadi, lebih baik pergi dan tunjukan kemampuan yang kalian miliki. Raih prestasi sebaik mungkin, tunjukan bahwa murid serta cucuku adalah orang yang hebat. Bakar semangat orang-orang agar lebih giat. Tebarkan energi serta pikiran postif kalian."

"Kakek ...."

"Alle, kakek baik-baik saja." Aaron menghela napas panjang, sorot matanya kosong memandang para prajurit yang hilir mudik dari balik kaca. "Orang seperti Deildra, tidak mudah untuk dihadapi. Dia punya segalanya, kecerdasan, kekuatan, bahkan kekuasaan. Namun, aku telah membekalinya dengan kebaikan. Aku percaya ... dia masih memiliki kebaikan itu di dalam nuraninya. Jadi, kau tidak perlu cemas. Kakek akan berbicara sekali lagi padanya, supaya mau mengembalikan Nier."

"Paman Deildra memiliki banyak kebencian di hatinya. Guru, bagaimana kalau kebaikan yang pernah kau ajarkan padanya sudah hilang? Bagaimana kalau dia menyakiti Nier, menyakiti Guru, menyakiti kita semua?" Altair mengepalkan tangannya yang menumpang di atas meja.

"Tidak, Alta, tidak. Deildra bukanlah jenis orang yang seperti itu. Aku percaya padanya." Sekelumit senyum paksa menghiasi bibir Aaron. Walau mulutnya bersikeras mengatakan dirinya mempercayai Deildra. Namun, hatinya terus bimbang mencemaskan kondisi Nereid——tak yakin jika Deildra tidak menyakiti Nereid, meski telah berjanji tidak akan membunuhnya.

Altair dan Allera sama-sama terdiam. Tidak berani lagi membantah ataupun mendebat. Bila dipikirkan lebih cermat lagi, semua yang dikatakan Aaron memang benar. Keduanya minim pengalaman, kemampuan juga masih jauh di bawah Deildra, meski memiliki guru yang sama. Apalagi kekuasaan, keduanya tak memiliki pangkat atau kedudukan apa-apa di istana.

Mengesah, Aaron bangkit berdiri. "Kita pergi sama-sama saja."

"Pergi sama-sama?" Allera bertanya dengan mimik bingung. Pun dengan Altair, menampilkan roman serupa.

"Raja Efraim memintaku menyambut para peserta perekrutan Hungost. Aku tidak bisa membatalkannya begitu saja." Aaron mengembuskan napasnya kuat-kuat, seperti ingin membuang bahara yang membebani pundak serta pikirannya.

"Cih! Apa mungkin semuanya ini memang sudah direncanakan oleh dia? Undangan, jamuan, semuanya serba kebetulan." Altair yang baru sadar atas rentetan kejadian yang serba kebetulan itu menjadi geram. Rahangnya terkatup keras, wajahnya membesi.

"Sudahlah! Lebih baik kita berangkat, nanti keburu terlambat." Aaron menepuk pelan punggung Altair untuk menenangkan muridnya. Pandangannya kemudian beralih pada Allera. "Alle, kakek tidak akan memaksamu mengikuti perekrutan Hungost ini. Namun, karena sebelumnya kau yang bersikeras ingin ikut, makanya kakek izinkan. Sekarang, semua keputusan kakek serahkan padamu saja."

Menunduk, Allera tak menjawab. Mungkin sedang berpikir.

________

Bersambung ....

________