webnovel

La Polle

Soca

La Polle merupakan ibu kota dari Kerajaan Phollea. Di sini, aktivitas masyarakat sangat aktif. Dari pagi datang sampai malam menjelang selalu ramai. Rumah-rumah dibangun permanen, banyak pula yang bertingkat. Para prajurit berseragam merah dan biru mudah dilihat, pos-pos aparat keamanan berseragam cokelat juga gampang ditemukan.

Namun, tidak ditemukan satu pun tentara Hungost, hanya ada bertengger pos atau markasnya saja. Itu pun tampak sepi bak tak berpenghuni. Padahal, La Polle ini boleh dikatakan sebagai pusatnya tentara Hungost. Hal ini terjadi karena para tentara Hungost biasa beroperasi di malam hari.

Umumnya, para Saman biasa melakukan aksi di malam hari. Sebab, aura yang dimiliki Saman cenderung bersifat dingin, sedangkan paparan energi matahari bersifat panas. Sehingga, kekuatan para Saman tidak dapat berfungsi maksimal di siang hari. Oleh karena itu, hampir tidak pernah ada kasus orang dicelakai makhluk ganas itu di siang hari.

Pada siang hari, paling yang berkeliaran hanyalah Hungost yang bertindak sebagai intelijen saja. Namun, intelijen Hungost tentu tidak memakai seragam, pun tak berpakaian mencolok. Justru mereka cenderung menyerupai rakyat biasa. Menyelidiki serta mengamati secara diam-diam dan rahasia. Sebab, Saman dapat juga menyamar sebagai manusia biasa, berbaur di masyarakat.

Raja Efraim menyambut hangat kedatangan Deildra dan muridnya. Bagaimanapun, pria yang berduka karena kehilangan putranya itu telah banyak membantu Phollea di masa silam. Sampai hari ini pun, gelar kehormatan Huzaka pada Deildra sebagai Hungost terbaik masih belum ditanggalkan.

Oleh karena itu, Deildra mendapat fasilitas penuh dari kerajaan. Mulai dari tempat tinggal pribadi sampai keperluan hidup semua ditanggung negara. Deildra tinggal di sebuah rumah besar yang masih berada di dalam tembok istana, di sisi barat. Rumah itu hadiah untuknya sepuluh tahun silam.

"Yang Mulia, maaf jika saya lancang. Namun, saya harus menanyakan ini." Deildra mengambil jeda seraya menatap pria berjubah tebal berbusana kebesaran di hadapannya. "Bagaimana, apa Anda sudah mengirimkan pesan undangan itu?"

"Sudah kurimkan sesuai keinginanmu." Pria berumur lima puluh empat tahun, tetapi masih kelihatan gagah itu memainkan cawan berisi moke anggur terbaik. Kemudian menenggaknya dengan perlahan dan anggun.

"Terima kasih, Yang Mulia." Deildra menyoja penuh rasa hormat dan terima kasih.

"Kalau itu satu-satunya jalan supaya kau mau kembali membela kerajaan ini dari rongrongan makhluk-makhluk keji itu, pasti aku penuhi." Raja Efraim meletakkan cawan yang sudah kosong di atas nampan. "Baiklah! Kau pasti lelah telah melakukan perjalanan jauh, istirahatlah. Aku tidak akan mengganggumu lebih lama lagi."

Usai mengucapkan kata-katanya, Raja Efraim lekas beranjak kemudian melangkah keluar. Deildra mengantar sampai ke pintu lalu menyoja khidmat. Beberapa prajurit dan seorang Komandan Pasukan Pengawal Khusus Raja Efraim menyambut, mengawal pergi sang raja. Di belakang beberapa prajurit dan kasim membuntuti.

Deildra sudah memutar tubuh dan hendak masuk, tetapi seseorang memanggil namanya. Pria bertubuh gagah memakai jubah hitam tebal menghampiri. Usia pria ini kira-kira empat puluh tahunan, memiliki kumis tipis, bercambang lebat, rambutnya cepak.

"Tuan Devoss Galloga," Deildra menyambut ramah.

Devoss ini dulunya adalah wakil Deildra saat masih menjabat sebagai Panglima atau Jenderal Tentara Hungost. Sekarang, Devoss inilah yang menggantikan posisi Deildra sebagai jenderal. Jadi, walau saat ini posisi Deildra hanya tamu, tetapi tidak demikian untuk Devoss.

"Apa kau sedang mengejekku wahai Huzaka, eh?" canda Devoss, memukul main-main lengan Deildra.

Deildra tertawa rendah. Ajaknya, "Masuklah, Dev."

Devoss mengikuti langkah kawan lamanya sekaligus mantan atasannya. Duduk di kursi, mata kecokelatan Devoss memandang lurus ke arah Deildra. "Soal pesan dan permohonanmu di dalam surat itu sudah aku kerjakan. Deil, katakan apa ada sesuatu yang terjadi?"

Usia Devoss lebih tua dua tahun dari Deildra. Jadi, sejak dulu pun Devoss selalu memanggil Deildra dengan namanya tanpa embel-embel. Deildra sendiri yang menginginkan hal itu, kecuali dalam acara-acara formal barulah mereka berlaku sebagai atasan dan bawahan sebagai tata krama.

"Hahaha. Apa yang kau katakan, Dev." Deildra mengisi cawan dengan moke dan menghabiskannya dalam sekali tenggak. "Terima kasih sudah mau membantuku."

Menghela napas, sekelumit senyum terpeta di bibir Devoss. Jenderal itu sangat mengenal kawannya, percuma saja dirinya bersikeras. Deildra tidak akan mengatakan apa pun soal rencananya. "Baiklah. Aku tidak bisa berlama-lama. Aku kemari hanya untuk menyapamu dan menyampaikan berita tentang pesan itu saja."

"Tunggu dulu," cegah Deildra, "aku ingin kau membawa seseorang bersamamu."

"Seseorang? Siapa?" Devoss yang sudah akan berdiri jadi urung.

Deildra memanggil-manggil Rigel, tidak lama pemuda pirang itu pun muncul. Rambutnya masih basah, tampaknya baru saja usai mandi.

Deildra menatap muridnya sembari tersenyum. "Kau ikutlah dengan Tuan Devoss Galloga, dia ini adalah Jenderal Tentara Hungost."

"Salam, Tuan Devoss Galloga." Rigel lekas menyoja ramah pada Devoss dan memperkenalkan dirinya sopan. "Namaku Rigel Halley."

"Hmm, pemuda yang gagah," puji Devoss sembari mangut-mangut.

"Kau bimbinglah dia, Dev. Asah kemampuannya dan jadikan dia sebagai tentara terbaik tahun ini."

"Muridmu?"

"Ya."

Roman wajah Devoss tampak terkejut, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Hanya tersenyum kecil sembari mengamati Rigel. Baginya, berita bahwa Deildra memiliki seorang murid sangat luar biasa. Artinya, kehebatan seorang Deildra tidak akan menghilang begitu saja. Ditambah dirinya juga tengah menunggu seorang pemuda lain yang memiliki latar belakang tak kalah luar biasa.

Rigel pergi sebentar untuk mengemasi barangnya, dalam waktu singkat sudah kembali. Devoss kemudian pamit dan membawa Rigel bersamanya. Tentu saja, Devoss tidak menjanjikan perlakuan istimewa pada Deildra atas muridnya. Sebaliknya, Devoss malah mengancam akan memperlakukan Rigel lebih keras dan kejam.

Deildra menanggapi dengan senyuman, acuh tak acuh.

_________

Di Rohellio, setelah dua hari tidak sadarkan diri Nereid akhirnya sadar kembali. Lewat sepekan kondisinya sudah jauh membaik. Luka-lukanya mengering dan sembuh perlahan. Altair dibantu Allera membuatkan salep gel yang dapat menghilangkan bekas luka.

Pagi ini, semua orang duduk di meja makan untuk sarapan. Seperti biasa, obrolan-obrolan ringan menjadi bumbu di menu makan mereka. Terutama Allera dan Altair yang sibuk saling ejek, kadang menggoda Rallia juga. Sedangkan Aaron hanya menjadi penonton setia.

Karena kondisi Nereid sudah jauh lebih baik, ia sudah bisa makan, meski hanya sedikit. Seperti biasanya, Nereid tidak pernah minum seusai makan. Kalau saja dia manusia, mungkin sudah mati dari dulu karena dehidrasi atau kekurangan asupan cairan.

Aaron menyodorkan segelas air pada Nereid. "Minumlah, tidak apa-apa. Ini hanya air."

Nereid menatap gelas itu dengan sorot sendu dan takut-takut. Pandangannya kemudian beralih pada Aaron, seakan memohon.

"Ini hanya air, Nier. Tidak apa-apa. Minumlah ...," Aaron meyakinkan, tersenyum hangat.

Tiga orang lainnya menonton dengan cemas dan berdebar. Di dalam hati ketiganya berteriak kencang menyemangati. Namun, tidak sampai keluar dari mulut, sebab takutnya malah membuat Nereid tertekan dan bertambah takut.

Ragu-ragu Nereid mengambil gelas itu, lama dipandangi sebelum membawanya ke mulut. Saat air mulai membasahi bibirnya, kedua matanya memejam. Sekuat tenaga menelan masuk air, tetapi begitu sudah tertelan perutnya mendadak mual tidak keruan.

Nereid menjatuhkan gelas, satu tangannya memegangi perut sedang satu lainnya dipakai menutup mulutnya sendiri. Kedua matanya semakin memejam kuat, menahan diri dari ingin muntah. Keringat dingin dengan cepat mengembun di wajah dan keningnya.

"Nier." Aaron memegangi punggung tangan Nereid yang tengah menutup mulutnya. Membawa remaja itu agar bersandar ke dadanya. Dengan tangan satunya lagi, Aaron menepuk-nepuk punggung Nereid. Berusaha menenangkan. "Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Hanya air Nier, hanya air."

Butuh beberapa waktu bagi Nereid sampai tubuhnya kembali relaks dan rasa mual di perutnya hilang. Namun, kini tubuhnya jadi terasa lemas tak bertenaga. Aaron masih merengkuh dan mengelus punggungnya pelan. Setidaknya, hal itu membuat Nereid merasa lebih tenang.

Suara ketukan di pintu tiba-tiba terdengar mengalihkan atensi semua orang, kecuali Nereid. Orang-orang di meja makan saling melempar pandang. Altair yang akhirnya mengambil inisiatif untuk membuka pintu. Tidak lama kemudian, Altair kembali dengan membawa dua gulungan surat yang masing-masing dibungkus dengan kain biru dan merah diikat dengan pita senada kain pembungkusnya.

"Apa itu?" Allera tampak antusias.

Meski lebih sering menjadi penonton dan lebih banyak diam. Namun, di dalam hati diam-diam Rallia juga merasa penasaran. Hanya saja ia tidak berani bertanya dan lebih memilih menunggu sembari mengamati.

"Kusir kerajaan yang mengantarnya. Aku belum baca, tidak tahu apa isi pesannya." Altair menyerahkan kedua gulungan surat pada Aaron.

Masih dengan membopong Nereid, Aaron menerima kedua gulungan surat. Menarik tali pitanya lalu membuka kainnya. Keningnya mengernyit saat membaca gulungan yang pertama. Lalu mengesah rendah saat membaca gulungan yang kedua.

"Apa isinya, Kakek?" Allera menatap kakeknya penasaran.

Raja Efraim memintaku datang dalam jamuan makan, katanya semangat para Hungost terus menurun akhir-akhir ini. Beliau ingin aku memberikan ceramah serta nasihat kepada mereka agar kembali bersemangat.

"Wah! Kakek memang keren. Lalu surat yang kedua?" cecar Allera tak sabar.

"Bukan untukku, itu untuk Altair." Aaron menyerahkan salah satu kertas tebal berwarna cokelat madu kepada Altair.

"Untukku?" Kedua mata Altair mengerung, bingung. Diambilnya selembar surat dan mulai membaca isinya. Ternyata dari Jenderal Hungost Kerajaan, Devoss Galloga. Isinya meminta dirinya supaya mau masuk ke dalam perekrutan Hungost di musim dingin yang akan diadakan sebentar lagi. Tujuannya untuk memicu dan membakar semangat orang-orang. Sebab, Altair merupakan murid Aaron yang memiliki nama serta prestasi gemilang di masanya.

"Dari mana mereka tahu aku?" Altair memandang Aaron, penuh heran.

"Apaan, sih? Mana coba lihat!" Allera menyambar kertas di tangan Altair dan mulai membacanya. "Oh! Kerajaankan memiliki banyak intelijen. Jadi, bukan suatu hal aneh kurasa."

"Alle benar, kurasa juga begitu." Aaron mengusap pelan kepala Nereid yang baru saja duduk normal kembali.

"Guru akan memenuhi undangan itu?"

Menghela napas, Aaron memandang Altair. "Kalau seorang raja memanggil dengan tinta yang ditulis memakai tangannya sendiri, tidak akan ada seorang pun yang berani mangkir. Semisal pun ada, orang itu pasti sedang mencari perkara. Tindakannya bisa dikategorikan sebagai kejahatan karena tidak menghormati pemimpin."

"Jadi, Kakek datang karena rasa hormat atau terpaksa?"

Kali ini Aaron mengalihkan tatapannya pada sang cucu. "Raja Efraim merupakan raja yang bijak dan hikmat selama ini. Beliau juga sudah sangat baik terhadapku."

Jadi, walaupun Aaron sudah menolak keras, tetapi setiap bulan orang suruhan Efraim pasti akan datang membawa sejumlah uang untuk kebutuhan hidupnya dan sang cucu. Meskipun uang-uang itu selalu Aaron simpan di dalam peti. Sedangkan untuk kebutuhan hidupnya, Aaron lebih mengandalkan dari bercocok tanam serta beternak.

"Bagaimana denganmu, Alta? Kau akan penuhi undangannya?"

"Guru, putuskanlah. Aku pasti ikuti."

Aaron tersenyum, rasa bangganya timbul mendapati sikap rendah hati Altair. "Kau memiliki kemampuan yang luar biasa, sayang bila harus terpendam di sini. Kurasa memang sudah waktunya menggunakan dan membagi kemampuanmu pada orang lain. Jadi, aku izinkan kau untuk mengikuti perekrutan itu, pergunakanlah kemampuanmu untuk melindungi orang-orang."

"Baik, Guru. Sesuai saranmu, pasti akan aku jalankan." Altair mengangguk juga tersenyum.

"Hari ini, datang dua surat sekaligus berisikan kabar-kabar luar biasa. Sangat hebat dan kebetulan." Allera mengambil dua lembar surat dan memainkannya.

"Haha. Kau benar juga." Altair tertawa rendah, baru sadar bahwa apa yang diucapkan Allera memang benar.

"Oh, ya, Kakek." Allera cengar-cengir, menatap sang kakek dengan pandangan aneh. "Omong-omong, aku juga ingin ikut perekrutan Hungost."

"Tentara Hungost semuanya laki-laki, tidak ada yang perempuan, Alle." Sekali lagi Aaron tertawa rendah. Altair juga ikut menertawakan.

"Kakek, aku ini cucumu. Pasti ada pengecualian. Kan sia-sia saja aku belajar selama ini kalau hanya terpendam begitu saja. Betulkan, Kakek. Boleh, ya, Kakek. Ya, ya, ya." Allera merapatkan kedua telapak tangannya. Memelas dengan bersungguh-sungguh.

"Terserah kau saja." Aaron menghela napas putus asa. Ia sudah hafal dengan watak cucunya, dilarang pun percuma. Toh, ada Altair yang bisa diandalkannya untuk menjaga sang cucu.

"Ah, Kakek memang baik. Terima kasih Kakek." Allera berlari dan memeluk tubuh kakeknya dari belakang. Kedua tangannya melingkar di leher Aaron. Masih belum melepaskan pelukannya Allera kembali berucap, "Jadi, apa kita semua akan pergi? Masa meninggalkan Nier berdua saja dengan Rallia. Ah, nanti terjadi yang tidak-tidak lagi."

Mencibirkan bibir, Altair pun berucap mengejek, "Eh, memangnya kau, wanita genit. Kalau Nier hanya berdua denganmu saja baru pasti akan terjadi yang bukan-bukan. Kalau Rallia, sih, kurasa dia gadis baik-baik."

"Huh, apa maksudmu Kutu Buku." Allera langsung menghampiri Altair dan melayangkan sebuah jitakan. Namun, Altair membela dirinya dengan berusaha menusuk-nusukkan sumpit ke tangan Allera. Tak mau kalah, Allera juga mengambil dua garpu. Keduanya terlibat adu senjata makan.

"Kalian berdua, sudah hentikan!" Aaron berusaha melerai, "aku rasa kali ini Alle memang benar, tidak mungkin meninggalkan Nier berdua saja dengan Rallia. Takutnya, orang-orang Paliv datang lagi membawa lebih banyak orang. Kalau sampai hal itu terjadi, pasti sangat bahaya."

Seketika, Allera langsung menghentikan serangan garpunya. "Nah, itu."

Altair tak lagi meladeni, mengangkat bahu tak acuh.

__________

Pada esok harinya, pagi-pagi buta sekali Aaron dan yang lain telah bertolak ke La Polle. Altair bertindak sebagai kusir. Kereta yang dipilih sengaja yang besar dan muat empat orang, ditarik enam kuda sekaligus. Kudanya pun dipilih yang besar-besar, gagah, dan kuat. Cuaca hari ini sangat dingin. Jadi, Aaron sengaja memakaikan Nereid mantel tebal berbulu dan mafela.

Perjalanan berlangsung lancar tanpa kendala. Jika naik kuda, setengah hari harusnya sudah sampai di ibu kota. Namun, lantaran Aaron dan yang lainnya membawa kereta dengan pelan juga santai. Jadi, mereka baru sampai saat menjelang sore hari.

Begitu sampai di gerbang istana, Altair lekas memberikan dua buah surat berstempel kerajaan pada prajurit penjaga. Setelah melalui pemeriksaan, kereta pun diizinkan masuk tanpa ditahan-tahan lebih lama.

Setelah melewati halaman yang begitu luas. Raja Efraim didampingi oleh Komandan Pasukan Pengawal Khusus dan Perdana Menteri Sumber Daya Manusia menyambut kedatangan Aaron dengan ramah-tamah juga hangat. Membuat Aaron dan yang lainnya merasa haru dan tersanjung.

Perdana Menteri Sumber Daya Manusia kemudian mengantar Aaron dan yang lainnya ke istana bagian timur. Di sana mereka semua ditempatkan di ruangan yang sangat luas dan megah. Juga sudah dilengkapi dengan beberapa dayang serta kasim. Di pintu utama dijaga ketat oleh prajurit.  Aaron dan yang lainnya bisa beristirahat dengan nyaman. Makanan juga telah tersedia dengan lengkap serta mewah.

Pada malam harinya, seorang prajurit datang membawa pesan bahwa Devoss Galloga mengundang Altair minum moke di tempat pribadinya. Disusul dengan prajurit kedua yang juga datang menyampaikan berita bahwa Raja Efraim Cartwheel mengundang Aaron makan.

"Kalau kita semua pergi, terus yang jaga Nier siapa?" Allera menatap Aaron lalu berganti Altair.

"Ya sudah! Kalau begitu kau saja yang jaga Nier! Orang yang diundang Devoss Galloga itukan hanya aku." Altair balas memandang Allera dengan mimik mengejek.

"Enak saja! Aku mau ketemu dengan Paman Devoss, siapa tahu dia memiliki banyak informasi tentang Paman Deildra." Allera menjulurkan lidah balas mengejek Altair.

"Biar aku saja yang menjaga Tuan Nereid. Eh, em, maksudku Nier," Rallia akhirnya angkat bicara, meski malu-malu.

"Nah, benar! Lagi pula, inikan di istana. Jadi, pasti aman. Tidak mungkin akan ada penjahat atau maling, benarkan?" Allera menatap semua orang satu persatu.

"Aku rasa masuk akal," Altair mengangguk setuju.

Aaron tidak buru-buru menjawab, melainkan merenung sejenak. Setelah dipikirkan baik-baik, barulah kepalanya mengangguk. Setuju atas usul Allera. Namun, sebelum pergi Aaron akan menemui Nereid dulu yang sejak sampai telah ditempatkannya di kamar untuk beristirahat. Sementara Altair dan Allera pamit berangkat lebih dulu untuk menemui Devoss Galloga.

Saat pintu dibuka, Nereid tengah terbaring dengan mata terpejam meski tidak tidur. Namun, karena mendengar suara derit pintu, sontak kedua matanya membuka. Nereid cepat-cepat bangkit, duduk menyambut kedatangan Aaron.

"Tidak apa-apa, istirahat saja." Aaron duduk di sisi ranjang.

"Tidak apa-apa ...." Nereid tetap dalam posisi duduknya, menatap Aaron.

"Nier."

"Eh?"

"Aku akan pergi dulu sebentar. Berjanjilah kau tidak akan mencoba melarikan diri." Aaron menatap Nereid lekat, mengusap sisi kepalanya dengan penuh kasih sayang.

"Aku tidak akan ke mana-mana ...." Nereid menundukkan kepalanya.

"Baiklah. Seorang laki-laki tidak boleh ingkar dengan kata-katanya." Aaron tersenyum bangga juga lega sembari kembali mengusap sisi kepala Nereid. "Kalau begitu aku pergi dulu, beristirahatlah, Nier."

"Iya."

Aaron membimbing Nereid agar kembali tidur serta menyelimutinya. Setelah itu barulah melangkah keluar untuk menemui jamuan makan Raja Efraim. Beberapa kasim dan prajurit sudah menunggu Aaron di luar pintu utama. Kemudian mengawal si kakek tua bertemu dengan sang raja.

Tak lama setelah kepergian Aaron. Sekelompok prajurit berseragam gelap bergerak ke istana bagian timur. Di depan pintu utama mereka dicegat oleh prajurit yang bertugas menjaga ruangan tersebut. Namun, pemimpin dari prajurit berseragam gelap menunjukkan sebuah plakat dan selembar surat resmi berstempel kerajaan.

Para prajurit yang bertugas menjaga ruangan pun tidak memiliki daya apa-apa untuk menahan. Mereka menyingkir dan membiarkan para prajurit berseragam gelap leluasa memasuki ruangan. Rallia yang tengah duduk tercenung menjadi terkesiap mendapati sekelompok prajurit masuk dan menuju ke arahnya.

Namun, belum sempat Rallia bertanya apa maksud dan tujuan para prajurit itu datang ke sana. Pemimpin dari sekelompok prajurit itu menjentikkan jari pada udara kosong tepat di depan wajahnya. Seketika Rallia merasakan serangkum angin dingin menerpa wajahnya, kepalanya menjadi pusing, dan semuanya menjadi gelap dalam waktu sedemikian singkat.

Salah satu prajurit menangkap tubuh Rallia yang kehilangan kesadarannya sebelum jatuh bebas ke lantai. Mendudukan kembali gadis itu di kursi, menelungkup ke meja.

Di kamarnya, Nereid sudah akan terlelap. Namun, suara ketukan di pintu membuatnya terjaga. Nereid pikir itu Aaron atau Altair, sebab kedua orang itu yang paling sering menemuinya. Hanya saja hal yang membuatnya bingung, kenapa harus mengetuk-ngetuk pintu. Sebab, pintu kamarnya tidak pernah dikunci dari dalam, Aaron yang melarangnya.

Karena suara ketukan di pintu tak kunjung berhenti. Nereid menyibakkan selimut tebalnya dan melangkah turun dari ranjang untuk membuka pintu.

__________

Bersambung ....