webnovel

Depresi

SOCA

Dari luar pintu, terdengar samar percakapan. Tak berapa lama, dua prajurit membukakan pintu lebar-lebar. Menampilkan sosok Devoss dalam balutan jubah tebal, berdiri tegak di muka ruangan. Sontak, membuat Aaron dan yang lainnya terkejut.

Devoss melangkah anggun memasuki ruangan, menyoja ramah pada Aaron. "Tuan Aaron, maaf lancang bertamu ke peristirahatan Anda tanpa membuat janji lebih dulu."

Aaron balas menyoja. Walau hatinya tengah risau serta pikirannya pun semerawut tak karuan. Namun, terhadap tamu senyuman ramah tetap ditampilkannya lebar-lebar. Mimik wajah pun cepat-cepat dibuat sebiasa mungkin. Aaron tidak ingin orang luar mengetahui masalahnya atau melihatnya bermuram durja.

"Tuan, Dev." Aaron mempersilakan tamunya untuk duduk. "Apa gerangan yang membuat orang berkedudukan tinggi ini bertamu pada orang tua renta sepertiku."

Aaron pernah beberapa kali bertemu Devoss saat usianya belum setua sekarang ini. Terutama saat Deildra masih menjadi panglima. Jadi, keduanya sudah saling mengenal, meski tidak terlalu akrab.

"Hahaha. Walau sudah berumur, ternyata Anda masih saja pandai merangkai kata-kata. Aku jadi merasa tersanjung atas ucapanmu barusan, Tuan Aaron." Devoss tersenyum lebar. Dari tatapannya terlihat bahwa sang panglima ini sangat menghormati Aaron.

"Jangan terlalu sungkan padaku. Katakan ada apa?" Aaron sudah duduk kembali di bangku menatap Devoss.

"Hmm. Sebenarnya aku kemari ingin menjemput dua bocah ini." Devoss memandangi Altair serta Allera. "Mereka berhutang janji akan ikut denganku ke Kastel Kallae. Namun, kutunggu-tunggu tak juga kelihatan batang hidungnya."

Allera dan Altair kompak menunduk jengah. Merasa malu kerana tidak dapat menepati apa yang sudah mereka disanggupi. Suatu sikap yang tak layak dilakukan, apalagi keduanya memikul nama besar Aaron. Pelanggaran akhlak keduanya memang tampak sepele. Namun, ketidakkonsistenan sikap itulah yang nantinya justru menjadi cikal bakal tabiat suka melalaikan.

"Maafkan kami." Altair dan Allera mengucap maaf di waktu yang hampir berbarengan.

"Haha. Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Aku masih memaafkan kalian berdua kali ini. Namun, aku tidak akan menoleransi untuk kedua kalinya. Jadi, jaga sikap kalian. Belajar konsisten dengan apa yang kalian ucapakan atau apa yang telah kalian sanggupi."

"Nasihat Tuan Devoss pasti akan kami ingat baik-baik." Altair dan Allera kembali mengucap kalimat yang sama di waktu yang hampir berbarengan.

Devoss mengangguk-angguk sembari mengelus cambangnya yang lebat. Sorot matanya menampakan suatu damba. Harapannya besar kepada dua anak muda ini, agar kelak kemampuan dan kekuatan yang mereka miliki akan mampu membawa perdamaian. Baik bagi negara maupun seluruh umat manusia.

Lantaran sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Akhirnya, Devoss, Aaron, Altair, serta Allera bertolak dalam satu rombongan yang sama. Rigel juga, pemuda pirang itu menunggu di luar saat Devoss menemui Aaron dan yang lainnya. Sementara Rallia tetap tinggal, seorang diri. Gadis kurus itu menjadi lebih murung semenjak malam Nereid dibawa pergi oleh Deildra.

________

Di ruang bawah tanah, Deildra sudah menghentikan sengguknya. Dengan agak lunglai, pria bercambang tipis itu bangkit berdiri, bertopang pada dinding. Tangan kanannya yang tergantung berkedut, sementara jari-jarinya bergerak kaku.

Lemas, Deildra melangkah tak bersemangat. Badannya sangat terasa lelah, padahal dirinya tak terlalu banyak mengeluarkan tenaga. Mungkin, batinnya tertekan hebat. Hal itu berpengaruh pada stamina dan tubuhnya. Terlalu banyak bahara yang membebani pundaknya.

Langkah Deildra terhenti saat melewati pintu jeruji di ruangan lapang. Perlahan, langkahnya di bawa mendekat ke sel. Di dalam sana, meringkuk seorang remaja di atas jerami. Wajahnya tidak kelihatan, tertutupi rambutnya yang panjang.

Lama Deildra memandang nanar ke dalam sana. Tangannya tanpa terasa sudah menggenggam besi jeruji. Erat, hingga menciptakan cekungan di besi tersebut, penyok. Hatinya diliputi kebimbangan. Sesaat merasa kasihan, sejurus kemudian bencinya setengah mati.

Saat ini Nereid tak sadarakan diri, tak merasakan sakit. Namun, itu tak akan berlangsung lama. Begitu terjaga nanti, berbagai rasa sakit akan langsung menghujam tubuhnya. Menyiksanya dalam waktu yang lama, sampai membuatnya kembali tak sadarkan diri. Saat itu tiba, kematian adalah harapan satu-satunya——Deildra tahu akan hal itu.

Mengertakan gigi, Deildra melangkah lebar meninggalkan ruangan. Saat melewati pintu dilihatnya Dew tengah duduk tercenung bersandar pada dinding. Deildra tak menyapa juga tak mengatakan apa-apa. Melangkah bungkam, melewati.

Melihat Deildra lewat, cepat-cepat Dew bangkit dan menyusul. Tadi, setelah meletakan Nereid di sel, dirinya langsung kembali ke ruang interogasi. Namun, dari balik pintu yang terbuka sedikit, dilihatnya Deildra tengah menangis. Dew tidak berani menghampiri, tetapi juga tak bisa kembali seorang diri karena tidak memegang plakat dan surat resmi. Jadilah menunggu di sisi pintu ruangan sel khusus sembari bersandar ke tembok.

"Dew," ucap Deildra. Tanpa menoleh juga tak menghentikan langkahnya.

"Ya, Tuan Deil."

"Apa pun yang kau lihat di dalam sana, lupakan saja. Anggap tak pernah terjadi!"

"Baik. Saya mengerti."

Dew menatap punggung tegap Deildra, dirinya tidak tahu bagaimana ekspresi atasannya itu sekarang. Namun, dari suaranya yang dingin juga agak sedikit parau. Dew yakin bahwa pria di hadapannya tengah memikul banyak beban dan kedukaan.

_________

Di Kastel Kallae, belasan ribu orang tengah berkumpul di tanah lapang yang sangat luas. Desak, bising, gaduh, menghiasi kerumunan. Udara dingin sama sekali tak menyurutkan semangat orang-orang itu. Mereka semua tampak kelihatan energik.

Allera dan Altair juga Rigel——yang ikut dalam rombongan Devoss——bergabung dengan kerumunan. Kehadiran seorang gadis di tengah kumpulan yang kesemuanya pria tentu mendabat banyak perhatian beragam.

Ada yang memandang dengan tatap aneh seakan matanya mengatakan; apa yang dilakukan seorang gadis di sini? Ada pula yang melihat dengan binar kagum. Namun, tak sedikit pula yang menilik dengan pancaran penuh ejek. Lainnya, terpana dengan kecantikan sang dara yang memang bagus rupa.

Allera sendiri memilih abai pada berbagai pandangan tersebut, masa bodoh saja.

Aaron didampingi Devoss menaiki panggung yang telah disediakan. Disambut antusias oleh kerumunan para peserta perekrutan Tentara Hungost. Kondisi kembali menjadi gaduh, tetapi langsung senyap saat Devoss mengangkat satu tangannya ke udara.

Begitu dipersilkan, Aaron langsung memberikan sambutannya pada para peserta. Menyampaikan nasihat-nasihat bijak agar para peserta ini kelak harus menjadi pribadi yang tangguh, tetapi tidak boleh angkuh. Harus kuat tetapi tidak boleh pongah dan semena-mena pada rakyat biasa. Harus mengayomi dan menjaga, bukan malah arogan merasa diri memiliki pangkat serta jabatan.

Aaron juga meminta para peserta——yang kebanyakan masih muda——agar senantiasa optimis. Tidak mudah menyerah pada keadaan. Tidak boleh malu untuk bangkit di kala terjatuh. Harus saling menghargai satu sama lain.

Terakhir, Aaron berpesan agar para peserta jangan sampai memupus kebaikan di dalam nurani mereka. Jangan menyimpan dendam dan jangan pula memelihara kebencian di dalam hati. Sebab, keduanya bisa memupus kebaikan, mengacaukan akal sehat, serta membutakan mata hati.

Tepuk tangan diiringi seruan semangat memecah angksa. Kata-kata yang dilontarkan Aaron seperti cahaya matahari yang memekarkan bunga-bunga. Memberikan dorongan energi positif yang membuat gairah kian terbakar, menyala-nyala.

"Kakekku memang orang yang hebat!" Allera berbangga diri.

Dua pria di belakang Allera——Altair dan Rigel——menanggapi dengan senyuman. Keduanya tak membantah dan malah setuju dengan pendapat cucu Aaron itu. Boleh dibilang, kedua pria muda yang selalu saling menatap sengit ini memiliki pendapat yang sama untuk kali ini.

Berikutnya, giliran Devoss Galloga yang memberikan sambutan. Tak banyak nasihat diberikan si pria bercambang lebat. Hanya meminta agar para peserta harus disiplin dan tak tahan banting. Sisanya, lebih banyak mengancam dan menakut-nakuti.

Devoss juga memberikan beberapa aturan serta serangkain tes bila ingin menjadi Tentara Hungost. Serangkai tes itu terdiri dari lima bagian:  pertama, kekuatan fisik. Kedua, kemampuan bela diri tanpa menggunakan aura. Ketiga, kesehatan mental. Keempat, kemapuan pengendalian aura. Kelima, tes kemampuan membuat senjata menggunakan aura.

Hari ini, merupakan tes yang pertama, yakni tes kekuatan fisik.

Orang yang berjumlah belasan ribu itu dibagi-bagi menjadi beberapa resimen. Tiap-tiap resimen dibimbing beberapa kolonel dan diarahkan menuju tempat berbeda. Tiap resimen dibagi lagi menjadi beberapa batalion dan dipimpin oleh beberapa mayor.

Masing-masing batalion——terdiri dari tiga ratus orang——mulai menjalani tes. Memanjat jaring, berjalan di papan kecil, berlari di zig-zag di tiang-tiang tinggi, memanjat dinding tanpa alat, bergelantungan di tali, dan sebagainya. Tak sedikit peserta berguguran di tes ini.

"Nona? Apa yang sedang Anda lakukan di sini?" Mayor berbewok lebat tampak kebingungan mendapati Allera.

"Tentu saja mengikuti tes ini." Allera menjawab santai.

"Tapi, Nona——"

"Aku mengantongi izin dari Tuan Devoss Galloga, kok." Allera menunjukan selembar kertas cokelat yang berisi pernyataan Devos Galloga mengizinkannya mengikui tes Tentara Hungost. Surat itu dibubuhi setempel dari Jenderal Hungost.

Setelah memeriksa isi surat dan memang asli, maka mayor berbewok lebat pun tak lagi berkomentar banyak. Mepersilakan Allera untuk lekas mengikuti tes. Altair dan Rigel yang menyaksikan hanya bisa senyum-senyum sambil geleng-geleng kepala.

Allera menggulung kembali surat izinnya dan lekas mengikuti tes. Semua rintangan dilewatinya dengan mudah tanpa suatu hambatan berarti. Membuat orang-orang yang melihatnya melayangkan tatapan-tatapan kagum. Terlebih, meski memakai busana pria——punya Altair——yang kebesaran. Cucu Aaron Costel itu masih kelihatan cantik dan anggun.

Rigel dan Altair melewati rintangan tanpa mengalami kesulitan sedikit pun. Bagi keduanya, rintangan dalam tes tidak lebih dari makanan sehari-sehari selama bertahun-tahun. Jadi, tubuh mereka luwes, lincah melewati semuanya dalam waktu singkat. Membuat orang lain berdecak kagum.

Tanpa terasa, hari berlalu begitu saja. Menjelang rembang layung, semua peserta sudah pada pulang. Baik yang lolos tes maupun yang gagal. Mereka yang lolos dipulangkan ke asrama, sedang mereka yang gagal dipulangkah ke rumah masing-masing tentunya.

Di halaman Asrama Kalle, Aaron berdiri memandangi murid serta cucunya. Sinar teduh sang surya yang sudah hampir tenggelam memapar tubuh tuanya. Wajah keriputnya tampak seperti memencarakan cahaya.

"Alle, Alta, jaga diri kalian di sini. Ingat! Jangan pongah, tetap rendah hati. Bagikan energi positif kepada orang lain."

Kedua remaja lekas menjawab dengan kompak dari hampir berbarengan.

"Baik, kakek."

"Baik, Guru."

Aaron tersenyum sembari mengangguk kecil. Dari arah belakangnya, datang beberapa prajurit berkuda membawa kereta lengkap dengan kusirnya. Mereka sudah siap mengantar Aaron kembali ke peristirahtannya di Istana Phollea.

"Kakek akan kembali malam ini juga?" Allera menatap sang kakek dengan agak sendu.

"Ada beberapa hal yang harus kakek lakukan juga pikirkan di sana, Alle." Aaron mengusap sisi kepala Allera penuh kasih dan sayang. Cintanya pada sang cucu terlihat begitu tulus juga besar.

"Guru, jaga dirimu baik-baik."

"Tentu! Tentu saja, Alta." Aaron tertawa rendah. Menepuk pundak muridnya agak keras. "Memang siapa yang akan menyakitiku di istana? Haha. Kalian berdua tidak perlu memikirkan keadaanku. Pikirkan saja diri kalian masing-masing. Kakek, pulang dulu."

Allera dan Altair menyoja takzim. Mengantar kepergian kakek serta guru mereka dengan tatap, hingga rombongan yang mengawa Aaron tak terlihat lagi. Keduanya kemudian melangkah memasuki asrama tanpa kata. Saling membisu.

__________

Malam mulai larut, kegelapan menyelimuti semesta. Orang-orang lekas menyalakan lentera dan pelita untuk melindungi mereka dari gulita. Hawa yang dingin membuat sebagain insan memilih bergulung di bawah selimut. Lelap bersama angan, menyambangi mimpi dan harapan semu.

Namun, di bawah remang cahaya obor. Diruang sumpek dengan alas yang keras. Seorang remaja terus berteriak tak tentu, tak jelas. Sendirian, tak ada yang mau menolong juga tak ada orang untuk dimintai tolong.

Sudah dari tadi Nereid terjaga, membuat pelbagai rasa sakit kembali dirasakannya. Tubuhnya terasa panas seperti dibakar dalam bara yang membara, sangat panas. Di saat bersamaan, badannya seperti terus-terusan disengat ribuan kala jangking. Seakan-akan tubuhnya dikerumuni dan dibungkus oleh binatang berbisa yang terus mencabik kulitnya. Sesaat kemudian, tubuhnya menjadi sangat dingin, seperti dicelupkan ke dalam lautan es. Kemudian berganti lagi menjadi sensasi terbakar yang hebat.

Pengap, sesak, tidak bisa bernapas. Namun, sayangnya kematian tak juga datang menemuinya. Nereid benar-benar berharap jika saat itu ajal datang menghampirinya. Dengan sisa-sisa tenaga yang coba dikumpulkannya. Nereid merangkak, menyeret tubuhnya menuju ke dinding. Mengerahkan seluruh sisa tenaga yang dimiliki untuk membenturkan kepalanya ke dinding. Berharap tengkorangnya akan pecah dan dirinya bisa mati.

Sayangnya, tak berhasil. Jangan pecah, retak pun tidak. Hanya menciptakan baret serta goresan yang lumayan dalam saja. Darah membasahi dinding, juga wajah serta leher Nereid. Mati tidak, kepala menjadi pusing dan sakit iya. Tenaganya tidak cukup untuk menghancurkan kepalanya sendiri.

Tubuh Nereid kembali jatuh, meringkuk di sisi dinding. Air matanya bercampur dengan darah. Semakin lama suara teriakannya semakin parau, serak, mengecil kemudian hilang. Bisa lektaa membuat Nereid terus terjaga, menyiksa.

Di luar pintu ruangan sel khusus, Deildra duduk bersandar pada dinding. Kepalanya tertunduk menatap dua botol kecil dari kaca bening di tangan kirinya. Botol yang ukurannya tidak lebih besar dari jempol tangan itu berisi penawar dari bisa lektaa.

Umumnya, orang yang diinterogasi menggunakan hewan beracun itu akan menyerah pada proses penyuntikan bisa. Kalaupun ada yang bertahan, petugas interogasi akan mengambil lektaa setelah menyuntikan seperempat bisanya. Lebih dari itu, orang biasa pasti akan mati.

Orang yang bertahan ini, biasanya akan menyerah saat bisa bereaksi ke tubuh mereka. Namun, penggunaan metode lektaa dianggap terlalu kejam. Demi untuk kemanusiaan, intoregasi lewat lektaa pun akhirnya dilarang oleh kerajaan.

Lama Deildra di sana, tercenung. Telingnya yang tak tuli mendengar semua teriakan di dalam sana, mengalun melewati celah venitasi di atas pintu. Namun, sekarang teriakan itu sudah tak terdengar lagi. Hanya ada kesunyian yang merayap.

Memejamkan mata, Deildra menahan segala gejolak emosi di dalam dadanya. Walaupun hawa sangat dingin, tetapi keringat justru mengembun di wajah pria bercambang tipis itu. Batinnya berperang. Di satu sisi, nuraninya mengatakan bahwa pemuda di dalam sana tak ada seharusnya dibuat sedemikian menderita. Namun, di sisi lain kebencian di hatinya berbisik bahwa memang sudah sepantasnya pemuda itu menderita. Saman, tak layak untuk dikasihani.

Napas Deildra menjadi sedikit menderu. Rasa sakit di dadanya datang lagi, sepuluh tahun lebih dirinya menanggung semua rasa sakit. Bukankah semuanya sepadan? Saman keparat itu telah membuatnya menderita begitu lama. Jadi, tak apa jika kini ia biarkan saja titisan Saman itu menderita juga.

Deildra mengertak gigi sembari membuka kedua mata, tatapnya memancarkan kilau tajam yang sangat menghujam. Di saat bersamaan, jari-jemarinya meremas dua botol yang ada di telapak tangannya. Botol naas itu hancur, berkeping-keping. Namun, seolah melakukan berlawanan, sebagaian pecahan-pecahan botol menancap di kulit Deildra.

Meringis kecil, Deildra menatap jari-jemarinya yang terasa nyeri. Telapak tangannya berlumuran darah, mengalir dan berjatuhan ke lantai. Deildra tersenyum, tertawa-tawa kecil, bertolak belakang dengan romannya yang murung diliputi kesedihan. Mirip orang gila atau orang yang terkena depresi akut.

Bangkit berdiri, Deildra melangkah pergi. Tak menoleh lagi kebelakang barang sedikit pun.

Dini hari, hawa terasa begitu menggigit.

_________

Bersambung ....

_________