19 remang temaram

Menemukan seonggok tubuh tampak meringkuk di atas lantai yang dingin. Bagaimana mungkin jatuh dari ranjang bisa menyebabkanmu kejang-kejang. Eugene segera membopong tubuh Michelle dengan sangat panik. Membaringkan dengan perlahan dengan bantal menyangga kepalanya. Wajah gadis itu sangat pucat walau di remangnya kamar.

"Michelle.. Michelle.. jangan mati!"

Eugene berlagak layaknya pemain dalam serial telenovela yang selalu ibunya tonton. Tidak cocok di lakukan disaat genting begini.

Tubuh Michelle masih mengejang dan kepanikannya sama sekali tak membantu. "Berfikir ayo berfikir otak bodoh !" Eugene berfikir sejenak sembari mengingat-ingat beberapa buku kedokteran yang selalu ayahnya paksa untuk di baca.

Perlahan ia melepaskan ikatan bra pada Michelle. Melepas benda yang dapat menahan laju pernapasan. Pipinya memanas kala berhasil melepas penahan dada milik Michelle. Beruntung kegelapan menutupi semburat merah di wajahnya. Michelle masih tetap kaku saat eugene memiringkan tubuhnya, menjaga agar saat gadis itu muntah tak akan masuk ke paru-paru.

"Panas sekali" gumam Eugene setelah mengecek dahi Michelle dengan telapak tangannya. "Aku tak tahu apa yang membuatmu seperti ini, kenapa kau menahannya sendirian" memilih duduk pada lantai sembari menatapi Michelle yang perlahan tak lagi kejang.

"Kau cantik sekali Michelle —astaga apa yang sedang ku pikirkan" memukul kepalanya agar tak lagi berpikir yang tidaj penting di saat seperti ini. Tapi memang Michelle sangat cantik jika dilihat dari jarak sedekat ini. Apalagi bibir ranumnya yang selalu mengumpat dan memakinya.

"Janganh.."

Mata eugene kian membulat begitu mendengar sebuah erangan keluar dari bibir ranum didepannya. Apa yang sedang ada dipikiran Michelle hingga gadis itu melontarkan kata yang begitu ambigu bagi eugene.

"Janganh pergi.. hiks.."

"Pikiranmu eugene.. astaga !" Menoyor kepalanya sendiri, bagaimana bisa pikirannya sekotor itu.

Alis eugene mengerut terheran atas apa yang ia dengar. hanya keheningan di sekelilingnya, tak ada lagi suara aneh yang dapat menimpali ucapan Michelle. Itu sangat terdengar jelas meluncur mulus melalui bibir yang sekarang bergetar.

Hati eugene sontak luluh menatap dengan iba sosok yang kini lebih mirip kucing jalanan. Menggenggam lembut tangan kurus Michelle. Mengelusnya dengan penuh kasih sayang, hingga beberapa ruas jarinya menyentuh permukaan lengan Michelle.

Ada beberapa bekas goresan yang masib tertinggal disana. Ada lebih dari 3 goresan dan eugene yakin ada luka baru di antara goresan yang cukup lama. "Sudah berapa lama kau sembunyikan ini ?" Gumam Eugene.

Hatinya seperti tertusuk mengetahui fakta bahwa gadis didepannya mungkin saja menutupi semua kemalangan yang menimpa. Ada beribu pertanyaan dan amarah menumpuk pada hatinya. Sangat tak rela melihat keadaan Michelle saat ini.

"Aku janji Michelle, meskipun kau tak mencintai ku juga, aku akan tetap ada disisimu.. jangan berhenti berjuang"

Sebuah kalimat yang sangat tulus sebelum Eugene menyandarkan kepalanya pada tepi ranjang. Dan masih tetap menggenggam tangan Michelle erat seperti takut kehilangan.

.

.

.

Michelle terusik dari tidurnya yang lelap. Seumur hidup ia tak pernah senyenyak ini. Apalagi kasur yang sedang ia tempati sepertinya terbuat dari rajutan surga. Jangan hakimi dia karena selama ini ia hanya tidur di lantai dengan alas sebuah kain tipis.

Dan ia akan dengan senang hati menghukum siapapun yang mengganggu tidurnya yang berharga. Tunggu- bau ini..

"KEBAKARAN !!"

Michelle meloncat turun setelah tau bau yang menyeruak tadi adalah asap. Tidak salah lagi, pasti asapnya berasal dari dapur.

Dengan langkah yang terburu ia bahkan tak memikirkan keadaan dirinya yang masih kacau dengan rambut yang tidak karuan. Rasa panik menyerangnya saat melihat kobaran api di atas kompor yang tidak biasa. Dengan sang pelaku -eugene- sibuk memadamkan dengan meniupnya.

Michelle langsung mengambil gelas dan mengisinya dengan air.

'BYUUUR'

Naas nya air malah menyiram eugene yang masih berdiri di dekat perapian.

"YAK !! MINGGIR !" Michelle langsung menyeret eugene menjauh dan dengan sigap menyiram kobaran api sebelum menyambar laci kayu di atasnya.

"Aduh.." eugene yang didorong tiba tiba malah kepentok laci gantung di belakangnya. Miris.

"Eh" Michelle yang telah beres memadamkan api Tersadar sosok di belakangnya yang kini meringis kesakitan.

"Cengeng sekali" gerutu Michelle mengusap belakang kepala eugene. Yang di perlakukan seperti itu hanya bisa diam dan menatap lurus pada manik jernih didepannya.

'sreeet'

"Kau jadi lebih mirip anjing basah" ucap Michelle setelah dengan tanpa dosa melemparkan lap kotor ke wajah eugene.

"Yak Michelle !! Wajahku "

"Cepat keringkan !" Perintah Michelle. Sedikit merasa bersalah namun tetap melihat eugene yang kesal memberikan kesenangan tersendiri.

"Bagaimana mungkin kau akan membuat kita semua mati kebakaran" omel Michelle setelah berhasil memadamkan api.

"Aku kira kau tak akan bangun bahkan jika benar terjadi kebakaran" eugene bermaksud menyindir bagaimana gadis itu tidur dengan sangat nyenyak. Namun tatapan tajam Michelle berhasil membuat Eugene membisu.

'astaga, gadis itu langsung berubah lagi..' batin eugene.

"Cepat bersihkan lantainya, atau kau akan terpeleset dan mengeluh lagi.."

"Iya iya bu.." kesal namun eugene tetap melakukan perintah Michelle tanpa protes. "Apa yang kau lakukan ?" Tanya eugene ketika gadis bersurai kecoklatan itu malah mencuci beras.

"Masak lah.. aku tak akan membiarkanmu membakar dapur lagi" Michelle mulai menggulung lengannya hingga siku, bersiap untuk mencuci beras sebelum menyadari ada yang aneh pada lengannya.

"Eugene.."

"Kau mau menyuruhku apa lagi?" Tanggapan yang nyaris mirip gerutuan, Eugene bahkan tak menatap wajah Michelle.

"Kau apakan lenganku ?" Tanya Michelle dengan nada sedingin es.

Eugene tanggap mendongak, mendapati wajah suram tak berekspresi menatapnya setajam belati. "Apa yang salah dengan mengobati nya ?" Bertanya dengan nada tak berdosa padahal didalam hati eugene berdoa agar ia tak menjadi sasaran panci yang di bawa Michelle.

Gadis bersurai kecoklatan itu menghela nafas, menggigit bibir bawahnya cukup lama sebelum menjawab. "Kenapa kau tak memberondongi ku dengan pertanyaan ? Kenapa hanya diam"

"Jika kau tak mengatakannya lebih dulu itu berarti kau belum siap untuk mengatakannya, aku tak punya hak untuk memaksamu menjelaskan" tatapannya dalam beradu dengan karamel Michelle, Eugene memeras kain pel sembari melanjutkan ucapannya "kapanpun kau mau bercerita, aku akan mendengarkan. Apapun itu, aku janji akan selalu berada di pihakmu"

Ada jeda keheningan setelah eugene mengakhiri ucapannya. Gadis jangkung itu sadar bahwa sedikit kecanggungan telah terbangun tanpa sengaja "a— apa aku berlebihan yah ?"

Michelle segera mengalihkan pandangannya yang tanpa sadar sedari tadi menatap Eugene. Kembali menyibukkan diri dengan beras yang masih di cuci. "Terima kasih" ucapnya singkat menutupi perasaan aneh yang muncul.

"Lebih baik kau menunggu saja, aku tak ingin mempertaruhkan nyawa ku dengan kau di dapur" usir Michelle mendorong bahu eugene secepatnya menyingkir.

"Haish... Iya iya, padahal ini dapurku" eugene menurut walau gerutuan samar di akhir kalimatnya.

Selepas eugene menghilang di balik pintu dapur, Michelle kembali melihat beberapa plaster yang menempel pada bekas luka di lengannya. Ini terasa sangat nyaman. Entah karena lengannya tak perih lagi saat bergesekan atau karena perlakuan Eugene yang peduli padanya.

avataravatar
Next chapter