18 Kulit Yang Bersentuhan

sekotak pizza tergeletak dengan isi yang sudah hilang separuh. Layar 30 inci menayangkan sebuah acara reality show yang selalu tayang pukul 18.30. Dua gadis tengah menonton dalam diam dengan jarak yang lumayan berjauhan. Masih berpaku pada TV, tangannya mengambil lagi potongan pizza lainnya. bisa dibilang hanya dia yang melahap makanan khas Italia itu sedangkan Eugene menatapnya dari ujung mata.

Gadis berambut sebahu berdehem guna menghilangkan kegugupannya. Hanya mereka berdua berada di ruangan yang sama dengan Rambut Michelle yang masih basah dan juga pakaian yang kebesaran.

"kau suka pizza ?" ujar Eugene, menghilangkan keheningan diantara mereka.

"Aku suka yang enak dan gratis" jawab Michelle dengan mulut penuh.

'astaga imut sekali~' batin eugene. tangannya meremat ujung bajunya sendiri menahan rasa gemas dari sosok yang duduk diatas sofa. tentang bagaimana jari jari Michelle tenggelam dalam lengan panjang sweater yang dipakai.

"kenapa kau ada di bawah ? sini duduk disini" ujar Michelle. agak risih juga membiarkan tuan rumah malah duduk di bawah bahkan tak menyentuh sedikit pun pizza di meja.

"ti—tidak usah.." elak Eugene. Jantungnya masih belum kuat jika berdekatan dengan Michelle. Efek dari sentuhan saat di pintu kamar mandi bahkan belum hilang.

"kau takut padaku ?" tanya Michelle nadanya terdengar serius. Bahkan pizza yang sedang ia makan di taruh kembali. Eugene sontak mendongak, dan benar saja raut wajah Michelle sangat tajam.

"takut padamu ? hahaha... yang benar saja" akting yang bodoh untuk alasan yang bodoh juga. siapapun tahu jika tawanya sangat dipaksakan. 'aku takut jika benar-benar suka padamu'

"jujurlah eugene, kau takut karena aku tak suka laki-laki kan ? kau mengira aku akan menyukai perempuan ? menyukaimu ?"

'Jleeb!'

baiklah untuk kata terakhir sedikit, ralat Sangat menusuk hatinya. seperti dutusuk ribuan jarum. inikah rasanya kalah sebelum berperang. Menggeleng, Eugene bahkan tak bisa berkata-kata lagi.

"yasudah duduk disini"

seperti anjing, Eugene menuruti perintah Michelle tanpa bertanya lagi. Pikirannya berkecamuk, ini kali pertamanya tertolak bahkan sebelum dirinya menyatakan.

"terimakasih telah membawaku kemari, sepertinya aku tak bisa bertingkah keren lagi di hadapan mu. Aku memang pecundang"

Michelle tersenyum, dengan mudah melontarkan kalimat yang terdengar menyedihkan tanpa ada airmata. Ini sangat mengganggu eugene, ia suka melihat senyum Michelle tapi bukan senyum kali ini.

"jika kau belum siap bercerita aku tak akan memaksa. bahkan jika kau ingin aku merahasiakannya aku tak akan bercerita pada siapapun, kau dapat mempercayai ku. bagaimana pun dirimu, aku akan tetap memihak mu Michelle"

Tangan eugene terulur tanpa sadar mengelus Surai kecoklatan Michelle dengan lembut. gadis itu balik menggenggam tangan eugene, mengarahkan ke pipinya. "biarkan begini dulu.. sebentar saja"

Eugene hanya bisa menggangguk, walau ia sendiri sibuk menetralkan degup jantungnya yang berdetak tak karuan. 'astaga sepertinya aku akan mati~' racaunya.

.

.

"Michelle..."

"Ada apa ?"

"Sudah tidur ?"

"Jika aku menjawab telfonmu apakah berarti aku sudah dialam mimpi ?!"

"Hehe kenapa belum tidur ?"

"Karna kau menelfonku Eugene Ahn, astaga kita hanya beda kamar bukan beda dunia ! Aku tidur !!" —piip!

Sedikit meringis saat telfonnya dimatikan begitu saja. lagipula ini salahnya juga kenapa menelfon pada tengah malam begini. Michelle saja pasti sudah kelelahan ditambah ia hampir pingsan.

Eugene bergulir kekanan dan kekiri kasur. Kini ia memilih tidur di kamar orangtuanya, dengan alasan yang sangat tak masuk akal sebenarnya

'aku tak ingin kau mendengarku mengorok atau mengigau'

alasan yang sangat klasik, bagaimana mungkin dirinya yang bahkan punya seribu satu alasan menggoda wanita kini terlihat bodoh bahkan untuk mengarang satu alasan simple. pada kenyataannya eugene takut dengan perasaannya, apalagi jika tidur satu ruangan bahkan satu ranjang.

"ASTAGA KENAPA TUHAN SANGAT TIDAK ADIL !!" geramnya kesal. menyalahkan keadaan dirinya yang bahkan tak berani mengungkapkan perasaannya.

"dasar bodoh.."

suara yang terdengar familiar menjawab makian Eugene. gadis itu terkesiap dan langsung duduk dari tidurnya. menatap ruangan sekitar, namun sosok dari suara tadi tak ada.

"aku berbicara di pikiranmu.. jadi jangan mencariku bodoh~" alis eugene berkedut mendengar makian yang tertuju padanya.

"sepertinya kau suka sekali berdebat denganku yah cebol" balas Eugene tak mau kalah.

"Kau tak ingat apa yang membuatmu menjadi seperti sekarang ? dan kau malah menyalahkan Tuhan ? Astaga Eugene sepertinya kau ingin sekali jadi anjing yah~" suara itu bergema didalam kepalanya. Terasa sangat menyebalkan karena eugene tak bisa memaki langsung pada sosok itu.

"jangan mencemooh terus jika kau tak bisa memberi saran"

"kau masih belum tahu maksud kalimat pada notes Michelle waktu itu ?"

Dahi Eugene berkerut, ingatannya kembali saat menemukan sebaris kalimat di tambah sebuah ruam ungu pada perpotongan leher Michelle.

"aarghh !!" kenapa rasanya sangat menyebalkan, berbagai puzzle telah muncul dengan sangat berantakan. Ia tak menemukan petunjuk inti agar kepingan kejadian menyatu padu. "bukan kah kau sangat kejam membiarkan ku memecahkan masalah sendiri ?" serunya dalam keheningan. menunggu cukup lama namun tampaknya tak ada balasan, memang sangat tak sopan Malaikat satu ini.

"datang dan pergi sesukamu saja dasar bantet"

"sekali lagi memanggilku begitu hukuman mu akan bertambah" akhirnya suara yang ia tunggu kembali terdengar. walau sedikit seram dengan konsekuensi yang akan diterima tapi sepertinya memaki adalah cara yang bagus untuk memanggil Ana.

"kau yakin jika merubah wujudku adalah satu-satunya cara menghukumku ? bukankah Tuhan terlihat seperti sedang main-main dengan kutukan tanpa alasan yang kuat ?"

hening, cukup lama dan eugene pikir Ana kembali menghilang meninggalkan sebuah tanda tanya besar baginya. Namun sebelum ia sempat memaki kembali, benda-benda disekitarnya bergerak dengan sangat agresif.

"HEEEY ! HENTIKAN !!" Seruan eugene bagai tak cukup membuat keadaan tenang. benda-benda di kamar masih bergerak dan tentu saja membuat nyali Eugene mulai menipis.

"ma—maafkan aku ! maafkan aku !!"

Dan kali ini semuanya serentak berhenti bergerak. Permintaan maaf eugene nampak berhasil membuat dirinya tak lagi dalam bahaya. tak ada yang tahu apakah kejadian tadi hanya sekedar menakutinya saja atau bisa lebih ekstrim. ya, walau jika hanya bermaksud menakuti itu berhasil.

sangat berhasil hingga membuat gadis jangkung itu terlonjak dari ranjang dan terbirit-birit berlari ke arah kamar yang di tempati Michelle.

"sial !" sepertinya kejadian tadi tak membuat Eugene jera memaki. dengan kasar ia mengetok pintu kamar agar Michelle setidaknya bangun. "Michelle, cepat buka pintunya..!"

Tak ingin menunggu lebih lama di luar, Eugene tak pikir panjang lagi masuk kedalam kamar tak peduli jika nantinya ia akan mendapat bogem mentah dari gadis bersurai coklat didalam sana.

"Michelle ?"

Eugene membulatkan mata atas apa yang ia lihat dihadapannya.

.

.

"sepertinya sudah ketahuan" sosok bersayap putih dengan santainya memajukan pion putih yang sinkron dengan pakaiannya. seperti tak takut atas kemungkinan bidaknya di makan oleh lawan.

"orang yang tak ingin tangannya sendiri kotor tak perlu menasihatiku, aku tahu apa yang aku lakukan" gadis berpakaian serba hitam menjadi lawannya sekarang. dengan wajah cemberutnya juga sama-sama memajukan bidak caturnya yang berwarna hitam.

"bukan kah lebih baik memberitahu semuanya, setidaknya anak itu akan memperbaiki lebih cepat daripada hanya dengan mengawasinya dari jauh dan mendatangi tak tentu" kali ini pemuda berpakaian putih menggerakan pion kudanya, dengan jalur L menuju langsung kedaerah terdekat dari lawan hanya saja belum sampai pada titik dimana ia bisa memakan.

"tidak bisa ! itu melanggar aturan semesta. membocorkan kejadian sebab akibat atau rentetan kejadian pada manusia itu terlarang!"

"itu kau tahu, kenapa kau memulai lebih dulu hanya karena dendam ?"

Anastasya menggigit bibirnya, tak bisa mengelak lagi atas perkataan Gabriel.

"SKAK—!!"

"Sial !!"

Gabriel tersenyum puas atas kemenangan yang tak terhitung, gadis didepannya memang sangat buruk dalam permainan strategi seperti ini. beberapa pion putihnya sebagian besar habis di lahap oleh Ana, memang itu yang ia rencanakan. hingga sebuah pola terbentuk dan dengan santainya Gabriel melahap habis pion hitam milik Ana yang tersisa.

"kau salah bertaruh pada takdir Tuhan" ujar Gabriel sembari mengembalikan bidak catur pada baris awal. "untuk kali ini saja, hanya untuk menyelesaikan kesalahan mu dulu.. aku rasa tak masalah jika sedikit lebih banyak memberi petunjuk pada gadis eh atau sebaiknya ku panggil pemuda ? kau akan merubahnya menjadi laki-laki lagi kan ?"

Ana hanya menatap lurus pada kedua manik kebiruan Gabriel. seakan hanya dengan tatapan saja mereka dapat berkomunikasi. Karena pada dasarnya mereka hanyalah satu ruh yang terbagi.

avataravatar
Next chapter