12 MERRY GO ROUND

Bus berhenti tepat di depan sebuah taman bermain megah yang selalu di idam-idamkan semua orang, dari anak kecil hingga orang dewasa. Termasuk Michelle yang tak pernah menginjakan kakinya di tempat ini. Uangnya terlalu berharga hanya untuk bermain.

"Kau yakin kita kesini ? bukan kah ada tempat yang lebih bermanfaat seperti perpustakaan ?" keluh Michelle, sedikit khawatir dengan beberapa lembar uang yang terselip di dompetnya. memikirkan kemungkinan ia tak bisa membawa uang saku untuk seminggu kedepan.

"Tenang saja, kan aku bilang akan mentraktir mu~" Eugene menyenggol bahu Michelle seraya mengedipkan sebelah matanya.

"tapi aku tak ingin berhutang padamu—"

Eugene mengambil sebuah buku catatan saku dari tasnya, melambaikan tepat di wajah Michelle. "Aku akan mengembalikan ini setelah kita bermain, ayolah~ jangan terlalu keras dengan dirimu sendiri" Gadis berdimple itu menarik lengan Michelle mengikutinya ke taman bermain.

Weekend membuat suasana menjadi lebih padat. Beberapa orang bahkan rela berdiri dalam antrian panjang untuk naik ke satu wahana saja. "bagaimana jika kita mencoba permainan Dart dulu ?" Michelle hanya bisa mengangguk di tarik ke stand dimana permainan tembak sasaran berada.

"ini kau coba dulu.." ujar Eugene seraya menyerahkan beberapa dart ke tangan Michelle.

"Tapi aku tidak bisa—"

"Ayolah.. bagaimana kau bilang tidak bisa sebelum mencoba. setidaknya lemparkan sekali" masih dengan cengiran terukir di wajahnya, Eugene bersikeras melemparkan dart nya. Gadis berambut coklat itu mengayunkan tangannya, wajahnya terlihat tak yakin bahkan untuk memilih di mana sasaran dituju.

Balon-balon yang menempel di dinding seperti mengejek ketidakmampuannya. sedikit mengambil nafas sebelum menetralkan rasa gugupnya. berkali-kali meyakinkan diri jika ini hanya sebuah permainan, tak masalah jika ia meleset.

'kau pikir dengan menunjukan keberhasilan mu akan membuatku simpati hah ?! jangan mimpi kau gadis jalang!!'

DEG!

Michelle membatu sesaat setelah melemparkan panah dart nya. sekelebat ingatan yang harusnya ia lupakan, kenapa harus muncul disaat begini. tangannya bergetar dan ia langsung menyembunyikannya dari Eugene.

"haish~ curang sekali, jarak lemparannya harus sejauh ini ? tenang saja Michelle ini bukan salah mu.. ini pasti karena jaraknya yang sengaja di jauhkan dari sasaran" Eugene berdecak kesal, menatap tak suka pada penjaga kios.

"jika tidak bisa melempar jangan menyalahkan orang lain " pak tua itu juga terbawa emosi dan balik memarahi Eugene.

"baiklah biar aku saja.." Eugene mengambil sisa panah dart dari tangan Michelle. Matanya menutup satu untuk memastikan titik sasarannya sudah tepat. beberapa kali mengambil ancang-ancang sebelum benar-benar melemparkan panah dart pada balon sasaran yang jaraknya paling jauh.

'DORR!!'

"GOTCHA !" pekik eugene kegirangan sedangkan pak tua itu berdecak kesal. gadis berdimple itu mengalihkan pandangannya ke arah Michelle entah hanya perasaannya saja atau gadis itu terlihat lebih pucat.

"hey, Michelle.. kau tidak apa-apa ?" Eugene menggoyang bahu Michelle, raut wajahnya khawatir.

"ah iya ?"

"hah.. ku kira kau kerasukan, aku memenangkan boneka Llama ini kau bisa menyimpannya" ujar eugene menyodorkan sebuah boneka yang berukuran lumayan besar di hadapan Michelle.

"kau yakin ? kau mendapatkan ini dari hasil kerja kerasmu"

"kamarku terlalu sempit, kau bisa menyimpannya untukku kan ?" bujuk Eugene, merasa bodoh karena alasan yang ia berikan terdengar klasik. tersenyum canggung untuk menutupi rasa gugupnya.

"baiklah.." akhirnya Michelle menerima boneka itu, walau ia tak yakin bisa menyimpannya di 'rumah' atau tidak. Walau begitu ia tak tega jika menolak hasil usaha dari temannya.

"yah kalau begitu bagaimana dengan rumah hantu ?" Eugene kembali menarik tangan Michelle. Dengan riang langkahnya menuju ke kios penjualan tiket masuk.

"kau yakin akan masuk ke rumah hantu ?" tanya Michelle, ada keraguan dari dirinya yang mencoba ia tutupi. Kelemahan yang mungkin akan keluar tiba-tiba seperti tadi.

"tenang saja, ini kan masih siang. atau jangan-jangan.. kau takut hantu yah ?" Eugene kembali menggoda Michelle. "Tenang saja ada aku.." ujarnya menepuk dada dengan bangga.

Michelle menghela napas, tak mungkin juga Eugene mengerti jika ia jelaskan sekalipun. Beberapa hal mungkin lebih baik untuk dirahasiakan. Mungkin saja Eugene akan menganggapnya aneh jika tahu yang sebenarnya.

Ruangan gelap menyapa mereka begitu pertama kali masuk ke dalam. beberapa asap buatan diberikan agar terkesan lebih mistis. Mannequin yang di dandani dengan seram terpajang di beberapa sudut. Bahkan sebuah backsound musik seram ditujukan agar membuat para pengunjung ketakutan.

Eugene menelan ludahnya kasar, Ia menggenggam tangan Michelle lebih erat. Bodohnya ia berlagak berani walau sebenarnya ia bahkan tidak kuat menonton film horor. Tangannya mulai mengeluarkan keringat dingin. Eugene mengutuk dalam hati reflek tubuhnya yang tak bisa di atur. bagaimana jika Michelle tahu.

Michelle tak bergeming dan hanya berjalan tanpa sepatah katapun. ia tak takut dengan hantu atau sejenisnya, bukankah manusia lebih menyeramkan dari apapun di muka bumi. Michelle sadar tangan Eugene yang basah, hal konyol yang sadari baru saja jika gadis di sebelahnya bahkan lebih penakut.

Ia menyalakan ponsel guna menerangi jalan di sekitarnya. setidaknya cahaya dari ponsel membuat sedikit rasa cemasnya berkurang. Dengan perlahan kini ia yang balik menarik tangan Eugene menuju pintu keluar.

'BAAA!'

"ASTAGAAA!"

tanpa di duga sebuah manekin muncul begitu saja di hadapan keduanya. dengan posisi menggantung terbalik dan itu sukses membuat jantung Eugene copot.

Eugene reflek memeluk tubuh gadis di sebelahnya. menyembunyikan wajahnya pada perpotongan leher Michelle. Sedangkan gadis yang di peluk hanya bisa diam tak berkutik, entah kenapa ia merasakan udara disekitar lebih hangat dari awal.

Tanpa sepatah kata Michelle merangkul baju Eugene agar gadis itu tetap bersembunyi padanya. Dengan perlahan menuntun keduanya ke arah pintu keluar didepan. aroma mint dari tubuh eugene menguar menggelitik indra penciuman Michelle. aroma ini tak akan pernah ia lupakan.

"ma— maaf.." uegene datang dengan dua bubble drink di tangannya, menyodorkan salah satu pada Michelle yang terduduk di salah satu bangku panjang. gadis itu hanya mengangguk tanpa ekspresi. Memalukan sekali ia menunjukan rasa takutnya setelah berlagak berani.

"jika kau mau, aku bisa melupakan yang tadi" ucapan tanpa beban terlontar begitu saja. Gadis di sebelahnya menunduk malu. Baru kali ini ia melihat seorang seberani dan setenang Michelle.

"Bagaimana orang sepertimu selalu menyendiri ? seharusnya mereka bisa berteman denganmu" celotehan tiba tiba keluar dari bibir Eugene. Michelle yang mendengar hal itu hanya terkekeh samar. Eugene menoleh, apa yang membuat perkataannya terdengar lucu ?

"Bukankah wajar menjauhi orang yang terlihat aneh, menyendiri, tidak tahu pergaulan.." penjelasan singkat sembari menyeruput minuman di tangannya.

"apa kau tak sakit hati ? maksudku kau tau alasan mereka menjauh dan kau mengatakannya tanpa beban"

"hidup tak ada yang adil, kau tak bisa menjadikan dirimu sebagai peran utama di kehidupan nyata. tak ada yang terjadi secara ajaib untuk mengubah hidupnya yang buruk"

Eugene lebih terheran mendengar penuturan dari Michelle, ada rasa sedih yang terselip di kalimatnya. Rasa kesepian tersembunyi di balik paras datar itu.

"aku akan menjadi temanmu untuk selamanya, aku berjanji Michelle" matanya berbinar penuh keyakinan. Eugene menggenggam pergelangan tangan Michelle agar gadis itu percaya.

"ya— ya terserah kau saja" cepat ia melepaskan tangannya dari eugene. mengalihkan pandangannya agar gadis itu tak balik menatap dengan bola mata menyilaukan.

Segelintir rasa sakit mulai menjalar dari pergelangan tangannya. Michelle menggigit bibir menahan ringisan yang akan keluar. Ia menekan tangannya sendiri untuk meringankan rasa sakit walau tak terlalu berhasil.

"a—aku ke toilet dulu.." ujarnya seraya pergi meninggalkan tempatnya. Secepatnya berlalu sebelum Eugene berhasil menjawab.

"Yah setidaknya aku tak sendiri" mengelus boneka llama yang tertinggal di sebelah tempat tidurnya. mungkin jika orang asing melihat mereka akan mengira Eugene gila karena tersenyum pada boneka yang sama sekali tak bisa menjawab.

Di lain tempat, dengan kucuran air keran yang mengalir gadis itu berusaha menyingkirkan cairan merah di pergelangan tangannya. Sebuah tanda yang menonjol selalu menjadi pengingat dari kejadian buruk yang ia terima.

menggigit kuat bibir bawahnya hingga terluka, menjadi satu-satunya cara agar ia tak menangis lagi. Bagaimanapun air matanya sudah terlalu kering hanya untuk sebuah luka kecil.

"jangan tunjukan dirimu sebenarnya Michelle.."

_to be continued_

avataravatar
Next chapter