12 Dibuat curiga dan gelisah

Tubuhku membungkuk, di antara sela-sela kaca jendela anak tangga. Mataku memperhatikan jelas kepergian dua pengawal yang selalu sigap. Akhirnya aku mengambil celah untuk keluar dari rumah.

Dengan gesit, bahkan tak kupedulikan dengan bungkusan yang bertumpuk di dekat dinding anak tangga. Langkahku mengguyur ruangan sampai ke ambang pintu. Rasa cemas, kesal, dan entah apa lagi yang kurasakan saat ini menjadi hampa.

Tangan dan kakiku kompak untuk menemui seseorang, mengunci pintu rapat. Pikiranku sedang kacau, sehingga berakhirlah pada ingatan yang terjadi pada perjanjian nomor dua. Mataku mencelang dan terpaku mematung.

"Oh, tidak! Gue gegabah lagi," gelisahku menepuk kening. Akhirnya tubuhku sadar, hingga harus berbalik untuk tertuju pada pintu rumah.

Ternyata, kemarahanku melupakan sesuatu yang penting. Aku tidak ingin rugi sepeser pun hanya karena aku melakukan kesalahan kecil. Padahal, ada banyak yang harus aku selidiki. Kemudian, kaki ini melangkah dan meninggalkan halaman depan.

Di tengah, mataku meraba penglihatan dengan mengangkat kedua tangan untuk ditatap nyata. "Gue harus bertindak, mungkin suatu hari nanti."

Sedikit menelengkan kepala, "Dari mana dia tahu gue selama ini? Lagian, dia juga nggak semudah itu kan nidurin cewek sembarangan. Gue jadi penasaran alias mau cari tahu." Mataku perlahan naik ke depan jalan. Kosong.

***

Ini masih terlalu siang, sebuah mobil sedan berhenti di tepi pusat perbelanjaan. Seorang wanita pernampilan gaun mini sangat ketat, dengan bodi aduhai keluar dari dalam mobil tersebut. Kacamata hitam kecokelatan, dilepasnya lalu menjejal kacamata itu ke dalam tas kecil. Sepatu hak tinggi dua belas sentimeter menemani langkahnya untuk memasuki supermarket. Tanpa peduli ada seseorang yang siap menerkam.

Tanpa disadari, kalau di sebelahnya ada sesosok pria sedang duduk sambil memegangi setir kemudi sambil menyipitkan mata. Sementara di samping pria itu menoleh dan menaikkan alisnya. "Lo berani nyamperin dia?"

Pria itu persis dengan orang yang pernah ditumpahi dengan kopi hitam busuk. Dia meranggul, kemudian keluar tanpa harus menyahut dengan kata-kata. Entah apa yang dikunyah di dalam mulutnya? Sehingga, dia mengeluarkannya ke dalam tong sampah di ujung parkiran.

"Cuih!"

Permen karet yang telah habis manisnya, dibuang, dan mulai bergerak dengan santai memasuki supermarket. Kedua tangannya dijejalkan ke dalam saku celana, diikuti oleh rekan setianya.

Keduanya mengenakan jas hitam seperti orang kantoran. Melewati ruangan menguntit wanita yang pasti diincar olehnya. Perasaan wanita itu belum terusik, dia tertoleh, terpampang jelas kalau dia adalah istri dari Jose. Bela, istri sah Jose yang sedang fokus memasukkan barang belanjaan ke troli dorong.

Matanya sama sekali tidak menghiraukan sesuatu yang membuntuti dirinya. Padahal, dua pria kaya di belakang sedang mengawasinya.

Karena sedikit penasaran, Bela sempat menoleh ke belakang. Namun dua pria itu malah berpura-pura mengambil sesuatu dari rak.

'Siapa sih?'

Gumaman Bela dalam kegelisahan mulai terlihat jelas di raut wajah. Bela yang sudah mulai sadar, akhirnya mendorong troli dengan cepat melewati rak dan memasuki lorong selanjutnya.

Dua pria itu terkinjat lalu terdiam sejenak, memikirkan cara untuk lebih mudah menangkap temu Bela. "Bro, kayaknya kita bikin kejutan aja kali ya?"

Rekannya secepat melangkah dan sejajar dengannya. Berbisik akan mengejutkan wanita yang sedang mereka ikuti. Keduanya berbalik dan berbelok menuju rak susun yang panjang. Lalu mencari Bela sudah tidak terlihat lagi.

"Sial! Dia udah selesai aja."

Pria itu mengepal, akhirnya mengejar sisi Bela yang hendak meninggalkan kasir bersama bungkusan belanjaan.

Dua pria mendorong orang-orang yang sempat berkerumunan di antara lorong. Mereka marah dan berteriak kencang. "Woi, yang bener dong!!"

Rekannya menoleh, "Sorry, nggak sengaja!"

Dua pria itu berhasil lolos dan keluar dari sana. Dengan licik mereka menyelinap dan mencari cara untuk segera mendesak Bela. Di saat tidak terduga, Bela yang hendak membuka pintu mobil terlonjak tegang.

"Hah!" sergah Bela mendelik.

Pria itu tepat di muka, sambil mengacungkan kartu nama berada di tangan pria itu. Bela mengernyitkan dahi, lalu mendorong penglihatan ke arah kartu nama tersebut. "Baron Chris?"

Bela kembali mengangkat dagunya, masih saja dia curiga dan menatap aneh ke pria bernama Baron Chris itu. Lalu dia mengingat satu hal, lalu mengacungkan salah satu tangannya mengarah pria di hadapannya. "Lo! Lo yang punya Yayasan di Serpong kan kalo nggak salah?"

Pria itu bersapa Baron meranggul, sedangkan rekan di belakang merapatkan bibir seakan ikut menyetujui.

"Nah, lo inget sekarang kan." Baron menggoyangkan jemarinya mengarah Bela dengan seulas senyum bersahabat.

Bela kurang nyaman karena dia harus berhadapan dengan dua pria sekaligus. Karena mereka orang kaya dan terhormat, tidaklah mungkin untuk menolak lalu pergi. Kepalanya panik ke arah dua sisi berbeda.

Baron menepuk bahu Bela dengan sangat hangat. "Tenang aja! Jose lagi ke Jakarta pusat, dia nggak mungkin ada di sini." Baron tersenyum lebar.

Bela sontak terpelangah ketika pria ini mengenal suaminya. Dengan sangat berani, Baron mendekati telinga Bela agar mendengar apa yang ingin dia sampaikan.

Bela mencelang dan miring. "Gimana? Gimana? Jose kenapa? Gue nggak tahu."

Baron mendongakkan kepalanya, menatap langit sedang meredup. "Eh, bentar lagi udah sore banget. Gue nggak punya waktu. Gue saranin lo buat siap-siap denger berita heboh dari suami lo. Masa lo nggak tahu kabar besar itu?"

Baron menggoyangkan telunjuknya mengarah Bela lagi, alisnya naik turun untuk meyakinkan wanita di depannya ini. "Lo harus pinter-pinter cari tahu, gue saranin lo diem-diem aja. Oke! Gue cabut dulu, bye!!"

Bela melamun seketika, tangannya yang kuat memegangi bungkusan malah terfokus pada kepergian dua pria kaya dan terhormat menjauhi sisinya. "Emang Jose kenapa sih? Aneh banget tuh orang!"

Alih-alih mencurigakan mulai terngiang ulang di pikiran Bela. Tadinya dia pasti sudah sampai atau masih melaju di jalanan, tetapi kini dia malah melamun dan berpikir tentang suaminya. Ragu-ragu dia memasuki pintu sebelah kemudi, menaruh semua barang belanjaan.

Kaki mulai melemah dan lesu ketika melawan rasa penasaran menghampiri pintu kemudi.

Sementara dua pria di sana masih mengawasi kepulangan Bela yang akhirnya begitu pelan. Baron tersenyum-senyum nakal, miring, dan sedikit sinis. "Gue mau liat, gimana gerakan istri Jose. Jangan suka sombong, gue masih kesel sama Jose. Beraninya dia ngerebut hak gue!"

Sepertinya persaingan mulai dihadapi oleh pria yang dikotori dengan bekas kopi hitam busuk. Karena kopi itu, dirinya terpikat hanya sekali tatap muka. Baron dan rekannya meninggalkan sisi parkiran.

Lalu, bagaimana dengan Bela ketika dia mulai menyusuri jalan raya? Mobil sedan terus melaju hingga menepi di bagian perumahan elite. Rumah yang sangat mewah dan elegan, dia memasuki ruang kosong bergeming sambil menenteng bungkusan belanjaan.

Matanya rabun dan kosong saat kembali terngiang dengan ucapan pria tadi.

"Gue saranin lo buat siap-siap denger berita heboh dari suami lo. Masa lo nggak tahu kabar besar itu?"

"Lo harus pinter-pinter cari tahu, gue saranin lo diem-diem aja. Oke!

Bela menggelengkan kepalanya sekali sambil memejam sesaat. "Sebenernya apa sih?" keluhnya seorang diri.

avataravatar
Next chapter