13 Malam kedua di tempat yang berbeda

Bela tak menyadari setelah apa yang ada dipikirannya saat ini? Rautnya menjadi sangat curiga dan penasaran. Dia masih terngiang dengan ucapan pria yang dikenalnya sebagai pemilik Yayasan—Baron Chris. Pria yang mengenali suaminya datang dan menaruh kecurigaan.

Bungkusan di tangan merosot ke atas lantai. Bela menjatuhkannya tanpa sadar, sembari memegangi kepala yang terlihat menegang. "Gue harus apa? Cari tahu ke mana?" Suaranya mulai lirih, meraba penglihatan ke segala ruangan.

Bela yang dihantui oleh seorang pria, jadi malah membawa pikirannya menjadi kacau. Lalu, bagaimana dengan keberadaan suami dan dirinya saat ini? Bela hanya bisa melamun, hingga dia kembali meraih bungkusan belanjaan yang sempat terjatuh ke lantai.

Raut sepinya hanyut dalam lamunan sejenak. Mungkin, pertanyaan itu akan dia lontarkan suatu waktu nanti.

***

Waktu yang tidak ingin aku tunggu malah terjadi. Sisi ruangan terang-benderang, sedangkan di luar tampak menggelap. Hanya ada hiasan dinding dan lampu taman yang menerangi keindahan di depan rumah.

Mataku memperhatikan lokasi di antara halaman depan dari jendela lantai dua. Sinar matahari tidak lagi bersinar di waktu begini. Kepalaku malah melesat pelan ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 08.00 Waktu Indonesia bagian Barat.

Baru saja aku ingin mendekati sofa untuk bersantai. Aku malah dikejutkan dengan derap kaki seseorang menaiki anak tangga. Sontak aku menoleh dan menatap pria itu, yang tidak lain adalah Jose.

Dia berhenti tepat dimana dia sudah berpijak di lantai dua. Aku yang baru saja membungkuk tak jadi duduk. Matanya sedikit sinis menatapku, dua tangannya dijejalkan ke dalam saku celana panjang.

Jas hitamnya masih melekat di tubuhnya. "Kenapa diem aja di situ? Bantu gue copotin jas ini!" serunya memerintahku.

Aku tahu harus apa. Pria dingin ini begitu menyebalkan! Tidak senang ketika melihat orang lain hendak bersantai. Aku langsung menghampiri dirinya untuk menarik pelan jas hitam miliknya. Kemudian kugantung di bagian gantungan lingkaran besi yang berdiri tegak di dekat dinding. Benda ini memiliki banyak cabang yang dapat menopang beberapa macam aksesoris, termasuk jas yang cukup besar.

Dia malah mendorong tubuhku ke arah dinding tepat di sampingnya. Aku sangat terdorong oleh dua tangannya yang kasar. Wajahku malah menatap tembok, sambil melirik ke arahnya. Jose telah menahan posisi tubuhku untuk bersikeras agar tidak keluar darinya.

Aku harus apa? Aku bahkan tidak bisa bergerak sama sekali. "Jose, bisa nggak sih mundur dikit? Gue nyesek tau!!" keluhku menjerit.

Jose spontan membalikkan tubuhku, yang akhirnya melesat dan menatap wajahnya sejajar. Aku melihat bola matanya kecokelatan terang, matanya bahkan mirip denganku. Kami memiliki warna bola pupil yang sama.

Rambut kami hitam gelap. Dua tangannya menutupi tubuhku, dia bahkan tidak malu dan tidak melupakan kemarahanku tadi siang.

"Urusan kita belum selesai. Lo baru pertama kenal udah ninggalin kesalahan ke gue." Tatapannya malah menurun, dua tangannya mulai mendekap tubuhku. Dia pria yang bertubuh kekar dan tinggi berhasil meraihku dengan cekatan.

"Urusan apa maksud lo? Gu-gue nggak ngerti," resahku menggeleng.

Jose mendekati wajahku, kini hanya menyisakan beberapa senti saja. Aroma mulutnya tercium bau wiski yang kental. Sepertinya dia baru saja mabuk-mabukan. Aku mengingat bau yang ada di sekitar hotel—ketika kami pertama bertemu dan berjimak.

Dia melakukannya setelah dia merasakan aroma wiski dan berimajinasi nakal. Napasnya begitu bau, tetapi bukan karena bau mulut atau semacamnya.

Lalu dia menyerobot mengarah sisi depanku, aku langsung menolaknya spontan. Kali ini aku yang melarangnya untuk melakukan hal itu. Aku takut akan terjadi sesuatu dari tubuhku. Karena baru pertama kali, dia begitu mengerikannya.

Jose menatapku kesal. "Kenapa? Lo cantik tapi bego!" ketusnya.

Aku tidak peduli dia sedang berbicara apa. Wajahku malah berpaling dari hadapannya. Aroma serta kehangatan ini sengaja dipaksakan olehnya karena sesuatu.

Jose yang tidak tahan menunggu akhirnya menarik paksa tubuhku mendekati pintu kamar. Tiba-tiba saja aku memberontak, menggertak, lalu mendorong tubuhnya dari dekatku. "Jose, berhenti!!" teriakku melawan.

Jose tersingahak, akhirnya mengumpatku lagi. "Lo itu udah kotor malah sok suci ya?! Gue suami lo yang bisa terjaga aman!" serangnya.

Jemari telunjuknya mengacung tinggi, bergoyang. Walau dia tampan rupawan, tapi aku sangat jijik melihatnya. Aku takut dan masih merasa gemetar. Sobekan kemarin cukup membuatku takut. Dia tidak bisa merasakan kepuasannya.

Tapi aku harus menolak untuk yang kedua kalinya. Hingga aku melempar wajah ganasku menatapnya. Aku adalah gadis manja, yang tidak suka dipaksa dengan kasar. "Lo udah nyakitin gue!"

Jose malah memiringkan wajahnya. "Oh, jadi lo mau dimain lembut, gitu? Oke, gue ngerti kok!" Dua tangannya meraih lenganku, dia menatapku dengan tatapan menggodanya.

Gila! Pria setampan ini punya sifat maniak seks. Aku terkecimpung dalam raut wajah nakalnya. Jadi seorang istri yang tidak mampu menikung ucapannya lagi. Jose meraih daguku dengan lembut, menatapku dengan bola matanya yang layu.

Aku melihat dengan jelas kalau dia sedang mabuk gila. Pria ini akan melakukannya seenak hati ketika beberapa tegukan menjadi penghantar emosi. Dia menggunakan taktik lembutnya untuk merayuku. Dia menyentuh bibirku lagi, menggeser lalu menghindari ruangan tengah.

Aku yang hendak menolak harus terbawa oleh dekapan kuatnya. Jose terlalu kuat memaksaku, dia bahkan membiarkan pintu ternganga lebar. Jose memaksa diriku untuk membuka lembarannya, bahkan semuanya.

Lalu dia mendorongku dan menekan tubuhku di atas tempat tidur. Lagi-lagi kegelapan menyertaiku di saat kekuasan merajalela hasrat terpendamnya.

Aku hilang, dia harus melepaskannya demi seorang anak. Mungkin, inilah caranya untuk menghilangkan stres di rumah tangga serta pekerjaan. Memiliki anak adalah tujuannya, sedangkan aku harus menjadi korban yang tidak bisa terabaikan.

Kontrak pernikahan akan menjadi musuhku selama ini. Bahkan dari kemarin, aku selalu mengingat tanda dan namaku sudah tertulis di atas kertas. Aku yang tidak bisa bergerak setelah dia menguasainya hanya menatap rupanya yang berkuasa dari sisi cermin kamar.

Lampu terang masih menyala, sehingga aku bisa melihat jelas kenakalannya. Kurasa, pria ini pasti akan melakukannya kepada siapa pun yang dia mau. Buktinya, dia begitu berani bersamaku ketika aku baru mengenalnya.

Tapi dia bilang mengenalku, entah dari mana?

Detik-detik terakhirnya dia melepaskanku hingga berlalu ke kamar mandi. Aku mendiamkan diri di atas kasur dengan keringatku yang bercucuran pelan di antara selimut. Aku menutupinya sambil menahan gemetarnya tubuhku. Tadinya aku takut, gelisah, bahkan teringat ibuku.

Hari ini aku merasa ada sesuatu yang harus aku lupakan. Mereka—mereka yang pernah menjadi seorang teman, kekasih gelap, rekan kerja, keluargaku, bahkan diriku yang dulu. Jose mengubahku menjadi sangat berani.

Tadinya kulugu, lalu dia menikamku dengan pistol menyakitkan.

Lagi-lagi, aku merasakan hal aneh terjadi lagi. Ini lebih terasa sakit, mengerikan, bayangan Jose berubah sangat gelap.

Ini kejadian yang akhirnya aku sesali seumur hidup, seakan ingatan kelam berusaha untuk kembali.

'Gue nggak punya harapan lagi. Gue juga nggak bisa ngerasain kesenengan lagi. Gue udah kalah!'

Dalam hatiku menangis, sembari melihat Jose telah kembali dari ruang kamar mandi dengan begitu menyegarkan. Tubuhnya basah, yang hanya ditutupi oleh handuk di pinggangnya.

avataravatar
Next chapter