11 Gue malu, Jose malah bermain teka-teki

Aku terbawa oleh kebodohan dari sorotan mata pria yang telah menjadi suami. Sesekali aku melirik, lalu melentur hingga berpaling dari penglihatannya yang serius ke depan jalanan. Perjalanan ini lurus dan tak berbelok, yang kemudian memasuki perumahan minimalis.

Gang ini tidak asing lagi untukku. Diam adalah pilihanku untuk mencari aman. Mobil keren ini berhenti tepat di depan gerbang rumah. Aku masih saja terdiam dengan terpaku lurus, kebodohanku menguasaiku lagi.

Tiba-tiba dia melangkah, merayap ke samping pintu tepat di dekatku. Pintu ini terbuka hanya untukku, tetapi dia malah menaikkan alisnya sebelah. Kepalanya terdongak dan memerintahku untuk keluar dari mobil.

Aku harus menutupi malu, keluar tanpa harus menatap wajahnya. Aku muak setelah mendengar ucapan kejinya, aku tak ingin melupakan apa yang menjadi musuhku. Tapi, aku malu karena ucapanku tak berarti merajalela kemarahanku.

"Ayo!" Dia bersuara dan berlalu dari hadapanku sambil menutup pintu mobil.

Dimana lamunanku sontak melesatkan pandangan. Mendengar seruannya, aku langsung tercengak mengarah wajahnya. Dia sudah membuka pintu gerbang sambil menyipitkan matanya kepadaku.

Aku mengangkat satu langkah dan berikutnya mengikuti perintah otakku. Tak lama kami memasuki halaman, dua pria akhirnya tiba di depan gerbang. Aku berhenti dan menoleh sejenak untuk melihat kedua pria tersebut.

Pak Yoanto dan Agam serius membawakan semua belanjaan kami dan menyusul. Kepalanya sadar dan segera melangkah cepat mengikuti arah Jose memasuki rumah. Rumah ini akan menjadi sementara bagiku karena hanya satu tahun aku akan menetap di sini.

Rasa muak bahkan berubah menjadi kurang nyaman. Karena ucapanku, aku harus membuang muka. Dua pengawal itu menaruh seluruh belanjaan di ruang tengah dekat sisi dinding polos. Lebih tepat dekat anak tangga sebelah kiriku berada.

Jose memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Lo bedua boleh pergi!" usirnya kepada dua pengawal dengan tegas.

Daguku mendanguk ke tepat wajah Jose yang berdiri di antara anak tangga pemisah lantai. Matanya tersorot diam, memperhatikanku dengan tatapan dinginnya. Dia berlagak arogan dan menyadarkan diriku untuk kalah.

Dengan berani, aku memajukan wajahku menatapnya. "Kenapa? Gue capek!" ketusku menaiki lantai yang lebih tinggi. Posisi kami akhirnya sejajar, tetapi mulai agak jauh.

Jose masih saja menatap lurus ke depan, tapi aku malah berhenti.

"Heuh! Gitu ya kalo marah?" Jose memiringkan wajahnya menatap ke arahku yang masih berdiri termangu.

Aku bahkan mendengus diam, memalingkan wajah ke arah anak tangga. Lurus dan penuh kekesalan dalam hati. Satu langkah berhasil kulawan, kemudian selanjutnya mendekati anak tangga.

"Lo pikir semudah itu nyemprot gue nggak jelas gitu?! Kira-kira … lo nggak takut kalo gue bakal serang balik?"

Saat aku mendengar ucapannya, aku sontak berhenti dan melirik ke arahnya. Jose membalikkan badan dan masih pada posisi tangan di saku celana panjangnya. Aku langsung menatap dan menoleh. "Ya, gue sakit ati! Gue juga punya perasaan."

Beraninya aku menjawab. Jose memberi seulas senyuman sinis. Kakinya terbawa ringan mendekati diriku. Tubuhnya bergeser dengan santai, sedangkan aku terlalu kikuk hingga menatap bingung pada sorotan tajamnya.

Tubuhku geloyor mundur karena panik ketika dia harus mendekatiku. Lalu tangannya malah menarik dari saku celananya. Dia mendorong tubuhku mengentak ke gagang anak tangga besi.

Aku tersentak dan harus menahan posisi yang sangat tidak nyaman. Jose memperhatikanku dengan dua bola matanya melesat ke kiri dan kanan. Menatap penuh, "Andai gue nggak ngenalin lo, lo pasti nggak akan bisa dapetin suami kayak gue. Kaya dan bisa menikmati kekayaan!"

Ucapannya begitu sombongnya. Mataku kian memanjang, lancip, membalas tatapan sengit yang terlalu menyombongkan. Kedua tanganku mendorong tubuhnya hingga menjauh dari sisiku yang hampir tersesak.

"Gue masih punya satu pertanyaan tadi. Gue penasaran, dari mana lo tau gue? Gue pikir segitu enaknya lo berpura-pura kenal?" Aku mulai berani, melawan sifat manjaku karena tak kuasa menahan sengit.

Jose memiringkan kepalanya, lalu membalikkan badan tidak peduli akan pertanyaanku kali ini. Aku dibuat kesal olehnya, dia harus meninggalkan diriku dengan pertanyaan yang dipenuhi misteri. Jose malah berhenti dan menjulurkan salah satu jemarinya mengarah bungkusan belanjaan.

"Kalo butuh sesuatu, lo bisa telpon gue. Gue mau pergi dulu." Jose meninggalkan sisa dari keheningan yang aku ciptakan.

Aku melirik ke arah tumpukan bungkusan belanjaan. Tiba-tiba Jose kembali dan secepatnya menatapku lagi. "Ingat satu hal! Lo masih milik gue, jangan coba-coba kabur. Lo harus ikutin peraturan di rumah ini."

Suaranya datar, terdengar mengancam di saat itu juga. Sorotan matanya bergeming lagi menyilaukan. Bagaikan sinar lampu sorot yang begitu terang.

Setelah dia mengucapkan beberapa kata yang menyayat hati, tubuhnya mengendur, berbalik dan memajukan langkahnya menjauhi sisi lantai tinggi.

Aku yang berdiri di dekat anak tangga harus menatap kepergiannya dengan lamunan sejenak. Dia menutup pintu dengan keras.

Glegar!

Aku mengedipkan mata sekali, keras! Suaranya begitu mengejutkan telingaku. Perlahan membuka dan meraba jemariku yang mulai terangkat naik. Untuk diperhatikan dengan jelas kalau aku memang bodoh dan lugu.

'Sebenarnya apa yang udah gue lakuin?'

Gumamku dalam keresahan. Jemariku sesekali memutar, lalu menepuk pipiku yang dingin. Benar-benar merasa gugup dan akhirnya geloyor. Duduk di atas lantai, menutupi mulutku. Apa yang sedang aku pikirkan?

Seluruh ucapanku sudah menjadi persaingan pertamanya. Jose tidak memarahiku, tapi dia sangat misterius. Dia menjadi manusia aneh yang datang ke dalam kehidupanku. Dia mengenali ayahku, bahkan diriku sendiri.

Seluruh hidupku selama satu tahun ke depan akan menjadi kisah sementara. Aku hanya pelampiasan sebagai data yang akan melahirkan anaknya. Apa ini?

***

Di luar sana, Jose keluar dari halaman lalu memperhatikan mobil sportnya. Dua pengawal menghampirinya sambil memberi hormat.

"Bos!"

Jose meranggul diam, penglihatannya sangat datar dan seakan rabun ke depan. Kepalanya kembali naik dan memperhatikan dua pengawalnya.

"Lo bedua harus lebih ketat mantau tuh perempuan! Jangan sampe ada yang tau kalo dia istri gue." Jose meraih kunci mobil hingga berlalu dari hadapan dua pengawalnya.

Dua pria menunduk hingga menyahut singkat. "Siap, Bos!"

Sahutan mereka serentak, melihat Jose telah meninggalkan halaman rumah minimalis. Aku mulai penasaran dan menyaksikan kepergian Jose yang sudah sangat tenang. Kini, aku ditinggalkan seorang diri dengan kesunyian di rumah.

Kakiku yang tadinya sempat melemah dan duduk, aku memaksa diri untuk menaiki puncak lantai kedua. Kakiku merasa lemah untuk menaiki satu per satu anak tangga. Harus lebih kuat untuk menopang tubuhku yang sudah merasa malu.

Lantai ke dua yang dipenuhi dengan misteri hidup ini. Apa lagi, ponsel yang ada di tanganku menjadi pertanyaan dan rasa penasaranku. Aku mendongak dan melirik arah jendela. "Gue harus cari tahu sendiri."

Tubuhku berbalik, menuruni anak tangga. Cepat.

avataravatar
Next chapter