20 dua puluh

Bella pov's

Kehidupan seseorang memang berubah-ubah, ada yang berubah menjadi lebih baik dan ada juga yang berubah menjadi lebih buruk lagi. Aku tidak tau bahwa kehidupanku sekarang ini sudah berubah menjadi lebih baik atau malah bertambah menjadi lebih buruk lagi, aku tidak tau itu.

Rayyen? Ternyata namanya Rayyen. Hayalan ku tentangnya dulu benar terwujud, hayalan tentang diriku yang memiliki teman sekelas sesempurna dirinya. A ku selalu mengingat wajahnya sejak 2 tahun yang lalu. Aku pernah melihatnya saat aku pergi ke Jerman untuk melakukan pertandingan Hobby ku waktu itu.

Dulu saat aku masih berusia 16 tahun, aku bingung dengan ikatan yang kumiliki. Aku mencintai saudaraku sendiri karena hanya dialah yang membuatku nyaman, aku tidak pernah memikirkan laki-laki manapun kecuali Farhel, aku tau itu salah tapi aku tetap tidak peduli. Aku tidak peduli apa kata orang lain yang penting hidupku tetap berjalan, selalu tersenyum bahagia, ada yang selalu disampingku tanpa takut dia meninggalkanku.

Tetap bertahan walau kita sadar bahwa semua ini telah salah dari awal. Tetap bertahan walau suatu saat banyak yang akan memaksa kita berpisah. Tetap tidak peduli kata orang lain yang penting kita bahagia. Tetap bersungguh-sungguh akan mempertahankan semuanya apapun yang terjadi nanti. Tetap saling mencintai, menyayangi, menjaga, tidak pernah pergi, dan anggap saja hanya kita berdua yang hidup di Bumi ini. Itulah ucapanku dulu pada Farhel. Dia menganggap itu sebuah janji, dan waktu itu dia mengatakan bahwa aku telah mengotori janji itu dengan noda hitam dan menancapkan jarum-jarum yang tajam.

Aku telah mengotori janji itu, bukan hanya mengotorinya dengan tinta hitam dan jarum, bahkan aku merobeknya sangat halus dan menghamburkannya ke udara, sehingga tak ada secarik harapan yang tersisa.

Rayyen, hanya dengan melihatnya, dia dapat menyadarkanku bahwa laki-laki tak hanya satu. Karna melihatnyalah aku tersadar bahwa aku bisa memikirkan dan mengingat laki-laki selain Farhel. Sejak dua tahun yang lalu, aku baru tau bahwa aku bisa melepas Farhel jika aku berusaha.

Dulu, 2 tahun yang lalu, aku berjalan sendiri seperti orang bodoh ketika aku sengaja terlepas dari rombonganku. Tersesat? itu pasti karna aku lemah mengingat arah, tapi itu urusan belakangan. Ingin sekali aku menyapa bule-bule yang berpapasan denganku, tapi mana mungkin bisa, aku takut terlihat konyol menggunakan bahasa Jerman atau Inggris. Aku tak bisa dua bahasa itu, tapi jangan remehkan aku dalam bahasa Mandarin, Jepang, dan Belanda karna aku menguasai ketiganya.

Aku menghentikan langkahku ketika dari kejauhan aku mendapatkan pemandangan menarik. Aku melihat sosok laki-laki yang bersandar di tembok, bukan dirinya yang menarik bagiku, tapi gadis-gadis bule yang mengintip, curi-curi pandang, mengambil gambar, bahkan dengan nekat menghampirinya.

Rayyen, dialah orangnya. Kalau bukan dia siapa lagi. Mana ada manusia yang seperti dirinya, bersandar di tembok, memasukkan tangan ke saku celana, mendongak menatap langit di musim gugur, diam saja ketika banyak gadis berdatangan untuk memperhatikannya, tak memperdulikan apapun yang terjadi disekelilingnya. Dia tak peduli dengan gadis berbaju biru tua yang mondar mandir mencari perhatiannya, tak peduli si rambut blonde yang pura-pura terjatuh didepannya, tak peduli si sepatu tinggi yang pura-pura bertanya arah jalan yang benar, tak peduli si gadis cantik yang pura-pura menawarkan menu kafe baru.

Dia tidak peduli semua gadis-gadi itu, dia terus menatap langit seperti ia sedang mengadu. Bahkan aku ingin ikut mencoba dengan cara melempar kepalanya dengan botol minuman, apa mungkin dengan cara itu ia juga tak mau melihat kearahku?

Gadis-gadis itu tidak katarak, tidak buta, atau sakit mata. Selera mereka bagus, aku saja sempat kagum melihat cara Rayyen berpakaian, kulitnya, rambut emas kecoklatannya, wajahnya. Dia sempurna. Bahkan aku benar-benar ingin melakukan ide gila tadi, melemparnya dengan botol minuman.

Saat itu aku ingin mendekatinya, ingin menyapanya, dan bertanya 'apa yang kau rasakan saat menatap langit?' Aku ingin dia menjawab.

Kaki ku melangkah ingin menyebrang jalan untuk menemuinya, tapi tiga langkah kemudian aku menghentikan langkahku. Memandangi ujung sepatuku sambil lutut bergetar. Perasaan bersalah pada Farhel merayap begitu cepat. Apakah aku mengkhianatinya? Apakah aku mengkhianatinya? Apakah aku mengkhianatinya? Aku berguman itu terus menerus.

Tanpa melihat sosok yang bersender di tembok itu lagi, aku memutar langkahku untuk berbalik. Aku akan melupakan wajahnya setelah ini, aku akan melupakan pertanyaanku tadi setelah ini, aku akan melupakannya. Aku tidak boleh memikirkan laki-laki manapun selain Farhel. Aku tidak boleh mengkhianatinya. itulah yang kurasakan.

Tapi, sekeras apapun aku membuang bayangan wajah tentangnya. Sekeras apapun aku menghilangkan keinginan untuk mendengar suaranya. Tetap saja aku tidak bisa, dan pada akhirnya aku benar-benar bisa memikirkan laki-laki selain Farhel. Sejak saat itu aku mengerti, aku tidak akan mati tanpa Farhel.

Sejak saat itulah aku tersadar, bahwa hubunganku dan Farhel harus berhenti. Kami melanggar takdir, Tuhan akan marah dan akan menghukum kami. Sebelum terlambat, sebelum semuanya tak bisa dihindari, aku bertekad melepas semuanya.

Mencari cinta yang baru, itulah langkah awalku. Aku tidak menjadikan Rayyen sebagai cinta baruku, itu tidak mungkin, karna saat itu pertama dan terakhir kalinya aku melihatnya. Bagiku dia hanya laki-laki yang aku lihat sekilas, tapi berhasil membuatku sadar akan satu hal, bahwa laki-laki tidak hanya ada satu di dunia ini.

Gambaran wajahnya memang tidak terlalu jelas diingatanku, tapi sosok dirinya masih tersimpan rapi di ingatanku. Waktu dia datang sebagai murid baru di kelasku, aku sempat merasa itu hanyalah mimpi, aku tidak percaya bahwa dia laki-laki yang ku temui di Jerman waktu itu. Ditambah lagi saat wali kelas ku mengatakan bahwa dirinya pindahan dari prancis bukan jerman.

Seiring berjalannya waktu, aku jadi percaya bahwa dia memang cowok yang ku temui waktu itu. ya, itu adalah dia, si cowok berbaju biru yang bersandar di tembok bata.

Aku tidak menyangka bahwa sekarang aku bisa berbicara dengan laki-laki berbaju biru di tembok bata itu. Aku bisa bicara dengannya, tanpa harus melempar botol minuman ke kepalanya. Aku tambah tidak percaya lagi saat dia menciumku, dia pencium yang hebat.

Awalnya aku sempat berharap dia bisa bersamaku jika aku berusaha. Aku ingin dia menggantikan sosok Farhel. Tapi, semua harapan itu ku kubur kembali, bahkan lebih dalam lagi. Ternyata Rayyen sudah ada yang memiliki, pasangannya sudah ditentukan. Yah, walaupun dia sudah ada yang memiliki, apa tidak bisakah aku selalu didekatnya sebelum ia menemukan pasangan seumur hidupnya.

Jika suatu hari nanti dia berhasil menemukan pasangannya, aku akan membiarkan dirinya pergi, walaupun aku tidak rela. 'Cinta tak harus memiliki' kentut sama kata-kata itu.

Tok.tok.tok

Aku tersentak, tersadar dari lamunanku tentang Rayyen. "Iya, Masuk."

Pintu terbuka, menampakkan sosok Farhel yang berdiri di ambang pintu. Dengan langkah sok cool dia berjalan masuk, kemudian ikut duduk di sampingku, di sisi tempat tidur.

Dia mengamatiku sebentar, keningnya berkerut. "Kau kenapa, Bella? Akhir-akhir ini kau terlihat tak bersemangat."

Bagaimana tidak? Sudah seminggu Setelah kejadian di perpustakaan mamaku waktu itu, Rayyen tidak pernah terlihat, dia tidak pernah datang ke sekolah lagi.

Aku mengambil napas panjang, kemudian ku hembuskan secara perlahan. Tentu saja aku melakukan ini bukan untuk bernapas, aku hanya pura-pura bernapas di depan Farhel agar dia tidak curiga bahwa aku ini bukan manusia lagi, dulu aku selalu melakukan itu untuk menenangkan pikiranku.

Aku malas membalas pertanyaannya, mana mungkin aku mengatakan penyebab tak bersemangatku padanya. "Dan kau Farhel? Akhir-akhir ini kau terlihat bahagia sekali."

Farhel mengangkat satu alisnya keatas. "Aku bertanya padamu. Jangan mencoba mengalihkannya."

"Aku tidak apa-apa. Aku hanya memikirkan sesuatu yang tidak penting."

"Kalau tidak penting kenapa harus dipikirkan? Kau sudah berjanji padaku jika kau punya masalah kau akan menceritakannya, apa kau akan mengingkari janjimu untuk kesekian kalinya? Coba hitung sudah berapa janji yang kau ingkari."

"Maksudku tidak penting untuk dibicarakan, jadi jangan khawatirkan aku, aku baik-baik saja." Aku memaksa seulas senyum, memperlihatkan gigi gingsulku yang katanya bisa memabukkan.

"Kau serius?" Tanyanya tak percaya.

"Iya, Farhel."

Dia menatapku lama. "Aku merasa kau bohong. Tapi, ya sudahlah. istirahat saja atau kau mau aku buatkan susu? Sepertinya aku tidak pernah melihatmu makan, apa kau diet? Karena aku lihat tubuhmu semakin kurus dan cantik."

"Hahaha, benarkah? Kalau begitu terimakasih atas pujianmu. Aku sedang tidak ingin meminum susu jadi aku hanya ingin beristirahat saja."

"Kalau begitu tidurlah, aku berharap kau bermimpi indah. Selamat malam, Bella." Farhel mengusap puncak kepalaku, kemudian bangkit dari duduknya dan langsung melenggang pergi.

Sosok Farhel yang ku lihat sekarang begitu berbeda. Rawzora berhasil membuatnya tidak mencintaiku lagi, tapi Farhel tetap menyayangiku. Waktu itu Zora meminta izin padaku untuk memberikan Farhel ramuan yang ia buat dengan kemampuannya sendiri agar Farhel bisa melepaskan perasaan yang tidak wajar padaku, sepertinya ramuan itu berhasil.

Aku senang sekali, kedatangan Rawzora membuatku begitu berterima kasih banyak padanya. Lagian buku suci Trambell mengatakan bahwa Farhel dan Rawzora adalah pasangan, jadi aku pikir sekarang aku sudah bisa tenang. Entah bagaimana nasib mereka nanti, karna manusia tidak bisa hidup di Amoddraz. Mungkin, Zora akan tinggal di Bumi. Tapi... Ah, sudahlah, apa peduliku? sesekali aku ingin mencontek sifat tak pedulinya Rayyen.

Raye...

Aku merindukanmu

Kuharap kau baik-baik saja.

••••

author Pov:

Di apartemen mewah itu, Rayyora, Rawzora, Ruxe, Ryder hanya duduk sambil memandangi Rayyen yang bermain piano tidak ada hentinya. Dari nada yang keluar dari alat musik piano itu, tampak jelas sekali bahwa pemainnya sedang kacau.

Rayyen memainkan musik dengan nada-nada yang cepat dan jemarinya menekan tuts-tuts piano dengan sedikit kasar. Mereka berempat hanya saling berpandangan jika Rayyen tiba-tiba menekan semua tuts-tuts piano dengan asal, nada yang dihasilkannya sungguh menyakiti telinga mereka.

"Rayyen, ada apa denganmu? baru kali ini aku melihatmu seperti ini." Rayyora berjalan mendekati Rayyen, tapi cowok itu tidak menjawab dan tidak mau menoleh sedikitpun kearahnya.

"Rayyen jawab pertanyaanku, ada apa denganmu? Sudah seminggu kau tidak masuk sekolah, kau kenapa?"

"BERISIK." Rayyen menekan semua tuts piano asal. Dia menoleh kearah Rayyora, mata birunya menatap tajam gadis itu, mengisyaratkan agar Rayyora pergi menjauh.

"Tapi Rayyen kau...." Belum selesai Rayyora berbicara, Ruxe menarik tangannya pelan agar pergi menjauh dari Rayyen.

"Sudahlah dia butuh waktu sendiri, mungkin dia sedang kesal karena sampai saat ini kita belum menemukan sandi perak itu." Ucap Ruxe menenangkan Rayyora.

Rayyen melihat kepergian Rayyora. Dia jadi tidak selera lagi meluapkan emosinya di piano. Dengan langkah berat ia berjalan ke balkon. seperti biasa, dia menenangkan pikirannya dengan cara memandangi langit malam, tapi saat dia melihat bintang, dia merasa sakit, bintang hanya membuatnya teringat pada Bella dan dadanya semakin nyeri.

Bahkan dadaku nyeri saat melihat Bintang. Lalu? Bagaimana caranya aku mendapatkan ide?

Rayyen berbalik, ia memutuskan untuk masuk ke kamar. Dulu langit malam begitu menenangkan baginya, tapi sekarang langit malam membuatnya meringis. Satu-satunya obat baginya sekarang hanya satu, dia harus secepatnya menemukan gadis pemilik sandi perak itu, lalu membuat jantungnya berdetak untuk yang ketiga kalinya agar dia bisa melepaskan diri dari Bella.

Sebelum dia menemukan gadis pemilik sandi perak itu, dia bertekad tidak akan bertemu dengan Bella lagi. Dia takut detak jantungnya yang ketiga untuk gadis itu. Dia bukan takut mati, tapi dia takut Bella yang dipaksa mati untuk menyelamatkan dirinya, karna dia penerus tahta yang berharga.

"Sebenarnya dimana kau gadis pemilik sandi perak? Apa kau sudah mati? Aku sudah keliling dunia untuk mencarimu. Tapi apa? Aku belum juga bisa menemukanmu. Tolonglah jangan bersembunyi lagi. Aku butuh bantuanmu sekarang" batin Rayyen.

Rayyen mengusap wajahnya gusar, dia membanting tubuhnya ke tempat tidur dan menatap datar kearah langit-langit kamarnya.

Sebenarnya, siapa yang bersalah disini?

Aku,

Pemilik sandi perak,

Bella,

Atau takdir?

Atau kami bertiga yang salah?

______________

avataravatar
Next chapter