"Tolong beri aku kepuasan, Ar ...," lirih Ammara.
Arnold dapat mendengar dengan sangat jelas jika Ammara saat ini sedang berusaha keras menahan tangisnya. Kemudian tanpa menunggu lama, ia menjawab keinginan terpendam dari Ammara. Wanita yang sudah sangat lama ia dambakan selama ini.
"Anytime for you Ammara Stell."
Ammara memutus sambungan teleponnya dengan Arnold. Kemudian bergegas ikut ke dalam kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya yang sudah berpeluh keringat karena usaha tidak tuntasnya bersama Devan.
Devan keluar dari kamar mandi saat Ammara sedang berdiri untuk masuk ke dalam sana.
"Sayang, kamu mau mandi lagi? Tadi kan udah?" tanya Devan, kembali bersandiwara. Seakan yang baru saja terjadi bukanlah apa-apa dan tidak berpengaruh sama sekali.
Ammara tersenyum menanggapi dengan kerlingan manjanya. Sepertinya, ia harus lebih pandai bersandiwara. Karena kali ini, ia sudah dengan lancang meminta pria lain memuaskan dirinya.
"Iya, Sayang. Ini kan gara-gara kamu," sahut Ammara, manja.
Devan mendekat ke arah istrinya dan mencium bibir wanita itu dengan lembut.
Ammara aktif membalas ciuman menuntut dari Devan. Ia tahu, jika sebenarnya baik ia dan Devan masih saling mencintai. Itulah sebabnya mereka masih bisa mempertahankan rumah tangga itu meski mereka di uji dengan masalah yang paling privasi, bukan tentang harta melainkan kepuasan dan napsu.
Cklek~
"Mandi gih. Kita harus secepatnya datang ke pesta. Kalau tidak, Mama pasti akan marah-marah nantinya," ucap Devan, menghentikkan ciuman panasnya dengan sang istri dan membantu wanita itu membukakan pintu kamar mandi.
CUP!
"Baiklah," sahut Ammara setelah mengecup pipi Devan dan melangkahkan kakinya ke dalam kamar mandi.
Devan menghembuskan napas pelan. Kemudian tersenyum karena tingkah menggemaskan istrinya.
Hubunganya dengan Ammara pasti akan sangat sempurna jika saja ia dan istrinya itu bisa merasakan nikmatnya saat pelepasan bersama. Tapi sayangnya, tidak ada yang sempurna di dunia kecuali Tuhan.
Oleh karena itu, Devan mulai berpikir jika mungkin saja dirinya terlalu berharap lebih pada kesempurnaan Ammara saat pertama kali ia menikah dengan wanita itu.
Ammara merendam tubuhnya sejenak dalam bathup. Dengan wajah yang bersemu merah. Ciuman Devan tadi seakan terngiang-ngiang di kepalanya sampai membuat ia lupa jika ia telah meminta Arnold untuk menjadi tempat pelampiasannya.
***
"Wah ... Pengantin lama rasa baru akhirnya sampai juga ya!" gurau tante Devan yang bernama Dianty. Menggoda keponakan tampannya itu.
Ammara dan Devan tersenyum mendengar gurauan dari Dianty. Keduanya pun menghampiri wanita itu dan melakukan acara salam-salaman dan peluk-pelukan ala kelurga ketika berkumpul seperti ini.
Terakhir, Ammara dan Devan menghampiri orang tua dari pria itu.
"Mama ... Papa ...," seru Ammara bahagia melihat kedua mertuanya yang terlihat sangat sehat dan masih bugar.
"Ammara, gimana kabar kamu, Sayang?" tanya Kartika--Mama Devan menyambut menantu satu-satunya ini dengan pelukan hangatnya yang layaknya seorang ibu.
"Aku baik, Mah. Kalau Mama apa kabar?" Ammara kembali bertanya.
"Mama juga baik, Sayang," jawab Kartika. Tanpa melepaskan senyuman manisnya sedikitpun dari Ammara.
Sementara Devan menyalami Nasution--Papanya dan memeluknya jantan.
"Apa kabar, Pah?" tanya Devan. Sayangnya, Nasution tidak menjawab pertanyaan Devan seantuasias Mamanya pada Ammara. Pria paruh baya itu malah menanyakan sesuatu yang bahkan sampai saat ini belum ia dan Ammara miliki.
"Kapan kalian akan memberikan Papa dan Mama cucu? Kami sudah sangat tua, dan kami ingin sebelum kami menutup mata. Kami sudah melihat cucu pertama kami," ucap Nasution, ketus.
Ammara mengatupkan bibirnya rapat. Ia tidak menyangka jika kehadirannya disini harus di tanya-tanya lagi tentang masalah anak.
Sedang Devan tersenyum kikuk menanggapi pertanyaan dari Nasution.
"Tunggu saja, Pah. Belum waktunya. Lagipula aku dan Ammara masih memiliki banyak waktu dan kami juga masih muda. Kami masih ingin menikmati masa bulan madu, Pah," jawab Devan, mencari alasan.
Nasution hanya diam. Kemudian ia mengalihkan pandanganya ke arah Ammara.
"Kalian tidak melakukan program kehamilan untuk menunda memiliki anak, bukan?" tuduh Nasution, asal.
Ketiga orang itu menganga tidak percaya. Mereka tidak menyangka jika Nasution sang kepala keluarga akan begitu cerewet soal cucu. Biasanya, pihak mertua perempuan yang akan berisik, tapi kali ini malah kebalikan.
Kartika malah terlihat santai-santai saja. Malah ia kaget setengah mati karena suaminya sang bisnisman sukses itu bisa berpikir seperti itu.
"Ya enggaklah, Pah. Mana mungkin kami melakukan program seperti itu. Papa ada-ada saja deh," jawab Devan, kikuk.
"Siapa yang tahu!"
Perbincangan akhirnya mengalir begitu saja. Mereka pun juga berkumpul untuk makan bersama. Namun lagi-lagi, perbincangan hangat hanyalah tentang Ammara dan Devan yang masih belum di karunia anak.
Ammara benar-benar tidak tahu harus menjawab apa untuk menanggapi berbagai pertanyaan dari keluarga Devan.
Pasalnya, ia tidak memiliki ilmu magis untuk langsung membuat janin dalam perutnya itu ada. Ia harus bersabar entah kapanpun itu datangnya.
Sebab, bagaimanapun manusia berencana. Itu semua tidak akan pernah bisa mengalahkan rencana Tuhan yang selalu memiliki rencana terbaik.
Setelah makan malam selesai. Ammara sejenak menghindari acara kumpul-kumpul bersama dengan kelurga besar Devan.
Ia memilih beranjak dari tempat itu dan duduk di taman belakang untuk mencari udara segar atau sekedar untuk menetralkan perasaanya.
Namun belum tiga puluh menit Ammara duduk disana. Ia malah mendengar suara erotis yang timbul dari desahan orang yang sedang mengerang nikmat.
Ammara memasangkan telinganya baik-baik. Kemudian bangkit dari duduknya untuk mencari sumber suara. Ia yakin jika suara desahan itu ada di sekitar taman ini.
Ammara yakin jika ia tidak salah dengar. Ia yakin jika suara itu timbul dari kegiatan panas seseorang.
"Tapi kenapa aku harus sekepo ini?" gumam Ammara, sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.
Ia hendak berbalik untuk menjauhi sumber suara tersebut. Namun jiwa keponya masih menuntun ia untuk melihat adegan panas yang di pertontonkan oleh seseorang secara gratis di malam yang sangat dingin seperti ini.
"Ya sudahlah. Lagipula, siapa suruh bercinta di tempat seperti ini," ujar Ammara, memberikan alasan pada dirinya sendiri.
Sungguh desahan itu membuat Ammara merinding dan kegelian sendiri. Semakin ia mendekat, suara itu semakin jelas terdengar di telinganya. Membuat tubuh Ammara menjadi panas dingin.
Sett!!
Ammara membuka tirai bunga yang menghalangi pemandangan matanya yang kini ia fokuskan di depan matanya.
"Arnold ... Stella ...," gumam Ammara tidak habis pikir.
Ia tidak menyangka jika malam ini ia akan melihat Stella yang sudah menikah itu berhubungan intim dengan Arnold--sahabat sepupunya sendiri.
Ammara menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Ia tidak bergerak sedikitpun dari tempatnya. Meski ia kaget, tapi ia malah menikmati melihat tontonan itu.
Wajah Stella yang terlihat puas itu membuat tubuh Ammara menegang. Ia ingin merasakan milik Arnold juga masuk ke dalam tubuhnya.
Arnold masih asyik bergelung dengan Stella. Namun ekor matanya, menangkap kehadiran Ammara.
Dengan cepat, ia melepaskan tubuh Stella setelah membuat wanita itu merasakan pelepasannya. Kemudian ia meninggalkan Stella begitu saja dan menghampiri Ammara.
Stella tidak peduli dengan kepergian Arnold. Lagipula, ia sudah merasakan klimaksnya. Ia pun beranjak dari sana dan masuk ke dalam kamar mandi guna membersihkan tubuhnya lalu tanpa merasa bersalah kembali berkumpul dengan kelurga.
Sementara Ammara masih berdiri di tempatnya. Ia bahkan sampai tidak sadar jika kegiatan panas itu telah berakhir karena saking blanknya.
Plukkkk!!!
Barulah saat Arnold memeluknya dari belakang, Ammara mulai tersadar dari lamunannya.
"Apa kamu juga menginginkannya, Ra?" tanya Arnold, dengan suara serak yang kembali terselimuti gairah.