Tubuh Ammara menegang, lututnya terasa lemas. Ia tidak menyadari jika Arnold ternyata telah berpindah tempat dari pelukan Stella menuju pelukannya.
Dari hati yang paling dalam Ammara ingin merasakan tubuh Arnold memasuki dirinya. Tapi sungguh, otaknya masih berpikir dengan waras. Ia tidak ingin menyalahi batasnya sebagai istri Devan. Hanya untuk memenuhi hawa napsunya.
Ammara juga tidak habis pikir dengan dirinya sendiri. Entah setan apa yang merasukinya hingga berani menghubungi Arnold tadi sore dan meminta pria itu untuk memuaskan dirinya. Dan sekarang, setelah Arnold telah berada di belakangnya dan sedang memeluknya, ia mendamba sekaligus menyesal. Ia sangat bingung dengan apa yang sebenarnya ia inginkan.
Tanpa Arnold duga, Ammara meneteskan air matanya yang kini mengenai pergelangan tangan kekarnya yang sedang memeluk tubuh Ammara.
Merasakan air mata itu jatuh disana. Membuat Arnold seketika sadar bahwa ia telah melakukan kesalahan. Dengan segera, ia membalik tubuh Ammara lalu memeluknya dengan erat.
"Maafkan aku, Ra ...," bisik Arnold, lembut. Membuat tubuh Ammara berdesir dan merinding mendengarnya. Ia yakin ini hanyalah karena udaranya yang sejuk bukan karena ia jatuh hati pada Arnold. Ia sangat-sangat yakin dengan hal itu.
Lama keduanya saling berpelukan. Arnold mencoba mengalirkan kekuatan pada hati Ammara yang sedang ringkih itu. Setidaknya untuk saat ini, ia ingin melakukannya sebagai teman.
Sementara di sisi lain, Devan bangkit dari duduknya dan mencari Ammara ke segala penjuru rumah. Namun ia tidak menemukan wanita itu. Sebab memang saat ini, Ammara masih berpelukan dan berbagi kehangatan dengan Arnold di salah satu bagian taman yang cukup sepi dan jarang di kunjungi oleh anggota keluarga Devan. Itu juga sebabnya, Stella--sepupu Devan berani melakukan hubungan gelap itu dengan Arnold padahal mereka sedang berada di rumah keluarganya sendiri. Dimana masih ada suaminya disana.
Devan terus berjalan mencari Ammara. Ia bahkan berpapasan dengan Stella yang baru saja keluar dari kamar mandi dan berjalan menuju ruang keluarga.
"Stell!" panggil Devan, seraya mendekati saudara sepupunya itu.
Stella sedikit terkejut dengan kehadiran Devan. Tapi ia berusaha untuk memasang ekspresi santai agar sepupunya ini tidak curiga padanya. Dan menyampaikan hal itu pada Willy--suaminya, meski Stella yakin jika Devan tidak akan mengatakan apa-apa walau ia sudah tahu. Ia sangat mengenal sepupunya ini.
"Iya, Dev. Ada apa?" tanya Stella, ramah.
"Kamu lihat istri aku enggak?" Devan balik bertanya, sembari melihat ke sekeliling ruangan.
Stella menggeleng. Ia belum melihat dan bertemu dengan Ammara. Sebab ia memang baru saja menuntaskan hasratnya bersama Arnold. Jadi tidak menyadari kehadiran Devan dan Amamara sejak tadi.
"Enggak tuh, coba cari di halaman depan rumah. Mungkin saja ia sedang duduk disana," ujar Stella memberitahui.
"Baiklah, Stell. Terima kasih. Aku cari di sana dulu," ucap Devan, lalu meninggalkan Stella yang masih setia berdiri di tempatnya.
Stella melihat kepergian Devan yang setengah berlari itu. Seperti orang yang ketakutan kehilangan Ammara. Ia tertegun melihatnya dan mulai berandai.
"Andai aja Willy seperhatian itu padaku ... Mungkin aku tidak akan pernah berpaling darinya dan melakukan hubungan dengan Arnold," gumam Stella, kemudian melangkah menuju ruang keluarga. Dimana seluruh keluarga telah berkumpul disana.
Devan berjalan dan sedikit berlari kecil. Ia menuju halaman depan rumah. Mungkin saja istrinya memang ada disana. Tapi sayangnya, bukannya Ammara yang ia temui, tapi ia malah bertemu dengan wanita yang paling ingin ia hindari. Siapa lagi jika bukan Jeana--wanita yang telah berhasil membuat gairah Devan kembali tinggi.
"Jeana ...." Devan menggumam. Ia tidak mengerti kenapa Jeana bisa berada di rumah keluarganya sekarang. Darimana wanita ini mengetahui tentang alamat rumah ini? Siapa yang ingin wanita ini temui? Segala pertanyaan tentang maksud kedatangan Jeana berputar bagai kaset rusak di dalam pikiran Devan.
"Hai Devan!" sapa Jeana, dengan nada menggoda dan sensual tentunya. Nada yang bisa membuat pria manapun langsung menegang karenanya.
"Kenapa anda bisa ada disini?" Bukannya menjawab pertanyaan dari Jeana, Devan malah balik bertanya. Ia khawatir jika Ammara akan melihatnya dengan Jeana saat ini. Wanita ini terlalu gila untuk di ajak kerjasama.
Jeana menanggapi pertanyaan dari Devan dengan senyuman manisnya. Kemudian ia mendekat pada Devan dan langsung mengecup bibir pria itu.
Devan membulatkan matanya atas aksi impulsif dari Jeana. Kemudian tanpa berpikir panjang, ia mendorong pelan tubuh Jeana agar melepaskan pagutan bibir keduanya.
"Anda gila ya!" sentak Devan, emosi yang berkalung gairah. Baru di cium bibir oleh Jeana saja, ia sudah bereaksi. Bagaimana jika Jeana melakukan lagi apa yang pernah wanita itu lakukan padanya terakhir bertemu tadi sore.
Jeana cukup terkejut karena sentakan serta dorongan dari Devan. Ia tidak menyangka jika Devan masih saja bersikap munafik dan menolak dirinya. Padahal Jeana tahu jika pria itu sudah sangat bergairah hanya karena telah di cium olehnya.
"Aku tidak gila Devan! Aku hanya ingin berusaha untuk~"
"Cukup!" potong Devan dengan cepat. Ia tidak ingin mendengar apapun lagi dari Jeana. Khawatir jika ia berdebat dengan Jeana disini maka akan mengundang tanya dari keluarga besarnya, terutama Ammara--istrinya.
Jeana terdiam dan mengatupkan bibirnya. Tapi tangannya mengepal dengan erat. Ia tidak pernah di tolak seperti ini oleh laki-laki. Jadi ketika Devan menolaknya, bukannya ia mundur tapi ia malah makin merasa tertantang.
"Aku datang untuk bertemu Ammara. Dimana dia?" tanya Jeana, mengalihkan pembicaraan. Menurutnya, biar saja ia mundur untuk saat ini. Seperti kata kebanyakan orang 'mundur selangkah untuk mengambil langkah panjang sehingga bisa melompat lebih jauh.'
'Ah, iya! Dimana Ammara sebenarnya?' batin Devan, baru menyadari jika ia sebenarnya sedang mencari istrinya.
***
"Maaf Ar, aku sudah sangat lancang menangis di pelukanmu," ucap Ammara, merasa bersalah.
Kini keduanya sedang duduk di kursi panjang yang ada di taman belakang tersebut. Duduk seperti seorang teman yang sedang curhat pada temannya. Tidak ada kontak fisik lagi, tidak ada pelukan atau bahkan ciuman. Mereka nyata duduk tanpa melakukan apapun.
Arnold tahu, jika Ammara adalah wanita baik-baik. Butuh waktu lama untuk wanita itu berpaling dan mengkhianati cintanya pada Devan. Jadi biarkan ia bersabar dulu untuk saat ini. Tapi satu hal yang selalu ia tekadkan dalam hati. Ia tidak akan pernah berpaling dari Ammara. Akan selalu ada kapanpun wanita itu memanggil dirinya.
"Aku tidak apa-apa. Bukankah kita adalah teman?" sahut Arnold, lembut.
Ammara tersenyum. Arnold memang pria yang baik. Sayangnya, ia tidak pernah menaruh rasa pada pria sebaik Arnold.
Sementara Arnold, ia ingin sekali mengangkat tangannya untuk membelai lembut rambut bagian belakang Ammara untuk menenangkan wanita itu. Tapi tangannya terhenti tatkala mendengar suara langkah kaki yang mendekat ke arah tempat mereka berada.
Jantung Ammara berpacu dengan cepat. Ia takut jika siapapun yang datang itu akan melihatnya yang sedang duduk hanya berduaan dengan Arnold. Pasti orang yang melihat itu akan curiga meski apapun alasannya.
"Sayang, ternyata kamu disini?" suara Devan, membuat Ammara membeku di tempatnya.