webnovel

Merasa Bersalah

Devan buru-buru menghindar dan menjauh dari tubuh Jeana. Ia mengklik tombol hijau untuk mengangkat telpon dari istrinya itu.

"Halo, Sayang ...," sapa Devan, dengan perasaan bersalahnya.

Baru saja ia tergoda dengan Jeana. Dan sekarang, ia malah memanggil sayang-sayangan dengan istrinya itu.

Jeana yang mendengar obrolan manis dari Devan yang begitu lembut berbicara pada Ammara membuatnya tersenyum penuh makna. Ia yang memang pandai menggoda, kali ini tidak lagi kesulitan untuk membuat Devan semakin merasa bersalah.

"Sayang, kamu belum pulang? Katanya kita akan ke rumah mama sama papa kamu kan, sore ini?" tanya Ammara, seraya sibuk membaca kembali naskahnya.

"I-iya Sayang. A-aku pulang bentar lagi," jawab Devan, dengan suara seperti orang yang sedang tersiksa.

Saat ini Jeana sedang memeluk Devan dari belakang. Tangan wanita itu sudah bergerak bebas pada tubuh bagian bawah Devan yang memang masih menegang sejak tadi.

"Sayang, kamu enggak apa-apa, kan? Suara kamu kok kayak orang lagi kesakitan gitu," tanya Ammara, khawatir.

Devan belum menjawab pertanyaan dari Ammara. Ia memberikan pelototan tajam pada Jeana. Sebab kali ini, wanita itu sudah berlutut di lantai. Mensejajarkan kepalanya di tubuh bagian bawah Devan.

"Aku enggak apa-apa kok, Sayang. Udah dulu ya, aku akan segera pulang sekarang," ujar Devan. Lalu tanpa mendengar jawaban dari Ammara, ia mematikan sambungan telpon tersebut. Dan mulai mendesah.

Jeana benar-benar keterlaluan. Wanita ini begitu pintar membuatnya merasakan kenikmatan yang tidak lagi ia rasakan saat bersama dengan istrinya.

'Oh, shit!!!'

Devan mengumpat dalam hati. Lalu sebelum ia benar-benar semakin terbuai oleh permainan Jeana. Ia menarik diri dan masuk ke dalam toilet. Kemudian mengunci pintu tersebut dari dalam.

"Devan! Kamu kenapa?" tanya Jeana, kesal. Ia bahkan tidak memanggil Devan secara formal. Karena kesal pada Devan yang malah berlari masuk ke dalam toilet padahal dalam keadaan hampir saja cairan pria itu meluber dalam mulut Jeana.

Devan diam membisu. Ia tidak menjawab pertanyaan dari Jeana. Ia sibuk membersihkan bagian inti tubuhnya dan merendamnya dengan air.

"Devan Jacob! Apa kamu tidak menginginkanku? Aku bisa memuaskanmu. Kamu tidak perlu melakukannya sendiri," ujar Jeana, mendesak. Sebab ia pun sudah tidak tahan di masuki oleh Devan.

Tubuh bagian bawah Devan begitu menantang. Dan hal itu membuat inti wanita itu berkedut, meminta untuk di masuki.

"Diam anda!!" sentak Devan dari dalam. Sesaat kemudian, ia keluar dari toilet dalam keadaan yang sudah rapih kembali.

Jeana menatap Devan dengan intens. Pria ini benar-benar membuat jiwa playgirl Jeana tertantang.

"Jangan pernah lakukan itu lagi!! Apa anda tidak malu melakukan hal tersebut pada pria yang bahkan baru anda temui dua kali?" tanya Devan, tidak habis pikir.

Jeana tersenyum dengan wajah yang menggoda. Lalu mendekat pada Devan, menyentuh dada pria itu dari belakang jasnya.

"Aku tidak pernah malu jika itu menyangkut tentangmu, Devan. Sejak pertama melihatmu, aku sudah jatuh cinta padamu," ucap Jeana dengan nada sensual.

Jeana mendekatkan wajahnya pada Devan dan hampir mencium bibir pria itu. Namun Devan mengalihkan wajahnya.

"Jangan bicara asal. Saya sudah memiliki istri," jawab Devan, dalam keadaan masih tetap memalingkan wajahnya dari Jeana.

Ia yakin jika wanita itu tidak akan berhenti menggodanya. Oleh karenanya, Devan memilih untuk beranjak dari sana.

Namun sebelum kaki Devan melangkah, Jeana kembali menghalangi langkahnya.

"Aku tidak peduli, Devan. Jika hari ini kita tidak bisa melakukannya. Maka aku masih akan tetap menunggumu untuk memasukiku," ucap Jeana, penuh penekanan.

Lalu dengan terlebih dahulu, ia keluar dari ruangan tersebut. Meninggalkan Devan dengan pikirannya yang mulai bercabang dan gusar.

Sementara di sisi lain, Ammara masih kepikiran dengan suara Devan yang terdengar aneh.

Satu hal yang menjadi kesimpulan Ammara saat ini adalah, suaminya sedang melakukan sesuatu yang sedang membutuhkan banyak energi.

"Apa dia sedang sakit? Tapi perasaan pagi tadi dia baik-baik aja deh," gumam Ammara.

Ammara tidak tahu saja jika tadi Devan sedang berusaha menekan syahwatnya agar tidak membiarkan miliknya memasuki tubuh wanita lain kecuali istrinya.

"Ah, sudahlah. Lagipula sebentar lagi Devan akan pulang. Aku bisa langsung melihat kondisinya, kan ...," putus Ammara. Kemudian memilih untuk meninggalkan ruang kerjanya untuk masuk ke dalam kamar mandi--membersihkan tubuhnya.

***

Beberapa saat kemudian, Devan telah tiba di depan rumahnya. Sebelum keluar dari mobil, ia merapikan jasnya, mengendus aroma parfum pada tubuhnya--berharap jika tidak ada parfum Jeana yang menempel pada tubuhnya.

Setelah semuanya di rasa telah aman. Devan pun masuk dengan wajah yang ceria. Ia tidak mau jika Ammara merasa curiga dengan apa yang telah terjadi padanya.

Sayangnya, dugaan Devan salah. Ammara malah semakin curiga dengan sikap Devan. Karena baru saja ia mendengar suara Devan yang seperti sedang kesakitan, namun setelah sampai di rumah, Devan terlihat baik-baik saja. Bahkan lebih fresh dari biasanya.

"Sayang, aku pulang ...," seru Devan sembari berjalan masuk ke dalam kamarnya.

Cklek~

Ammara baru saja keluar dari kamar mandi yang bersamaan dengan Devan yang memasuki kamar mereka.

Melihat tubuh Ammara, seketika membuat perasaan pria itu merasa bersalah.

Ia pun mendekat pada Ammara dan mendekap erat istrinya. Demi menyamarkan rasa bersalah karena telah membandingkan tubuh Ammara dengan Jeana. Bahkan bersama dengan Jeana barusan membuat Devan begitu tergoda.

Devan lalu menarik tangan Ammara dan menjatuhkanya ke atas ranjang. Ia membuka pakaian atas yang telah membungkus tubuh Ammara lalu mengungkung istrinya itu.

Ammara mengerutkan alisnya, bingung. Ia tidak pernah melihat Devan semenggairahkan ini kecuali satu tahun yang lalu.

"Kamu kenapa, Dev? Tadi suara kamu kedengaran sakit. Tapi kenapa sekarang agresif gini?" tanya Ammara, seraya tersenyum lebar.

Ia melihat mata Devan berkabut gairah. Sepertinya biasanya, namun tidak semembara ini.

"Aku rindu sama kamu ...," sahut Devan, lalu mulai menciumi satu persatu tubuh istrinya.

Ammara tersenyum senang. Ia berharap, jika kali ini ia dan Devan akan mendapatkan pelepasan bersama.

Namun sayangnya, hampir satu jam lamanya mereka bercinta. Belum ada kenikmatan sama sekali.

Devan mulai mendesah frustasi. Kemudian tanpa memikirkan lagi tanggapan dari Ammara, ia bangkit dari tubuh istrinya dan masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.

'Sial!' umpat Devan dalam hati. Kepalanya begitu pening sebab hasrat yang tidak tuntas.

'Kenapa bisa seperti ini, sih?' keluh Devan lagi. Berdiri di bawah shower untuk mendinginkan tubuhnya.

Sedangkan dari luar toilet, Ammara mulai meneteskan air matanya. Ia tidak menyangka jika ia dan Devan masih belum bisa merasakan kenikmatan itu lagi.

Bulir kristal di mata Ammara semakin mengucur deras. Ia bahkan sesenggukan sekarang. Menangis sepuasnya sebelum Devan keluar dari dalam kamar mandi.

Di saat kejatuhan seperti itu, Ammara malah mengingat ucapan Arnold. Yang meminta dirinya untuk menghubungi pria itu kapan saja jika ia membutuhkannya.

Dengan langkah yang tertatih, Ammara bangkit dari ranjang dan meraih ponsel yang ada di atas nakas. Lalu ia keluar dan mendial nomor Arnold yang dulu.

"Halo, Ra ...," sapa Arnold dari seberang telpon. Saat dering pertama telpon masuk dari Ammara.

Ammara menahan tangisnya, kemudian mengatakan sesuatu yang ia inginkan selama ini, kepuasan.