webnovel

Bab 19

Koto.

Ruri membuka lebar kaca jendela mobil dan mengeluarkan kepalanya agar udara sore menerpa wajahnya. Dia meridukan Koto lebih dari Toshima yang hanya menyisakan kenangan pahit masa kecilnya.

Koto merupakan distrik yang berada di daerah metropolitan Tokyo . Memiliki pusat budaya yang menarik. Ini adalah kota yang hidup, bersih dan aman dengan jaringan transportasi yang sangat baik, yang membuatnya menjadi pilihan ideal untuk keluarga muda.

Daiki melihat kegembiraan yang terpancar di wajah Ruri ketika memasuki gerbang Koto-ku. Dia tersenyum seraya mengurangi kecepatan mobilnya memberikan Ruri kesempatan menikmati kota mereka.

"Berhati-hatilah dengan kepalamu," ujar Daiki.

Ruri memasukkan kembali kepalanya dan duduk bersandar disandaran kursi sambil merapikan rambutnya yang berantakan.

"Aku sudah tidak sabar ingin bertemu Takao Oji-san dan mengunjungi makam Sakura Oba-san*." Ruri menatap jalanan di depannya. Dia menoleh Daiki yang hanya menarik sedikit ujung bibirnya.

Ruri memajukan tubuhnya dan menyentuh ujung bibir itu dengan kuku runcingnya. "Nanti malam kita minum sake di warung biasa?"

"Apa kau sudah mengunjungi makam ibumu di Toshima?" Daiki membelokkan setirnya.

Ruri tersenyum dan melepas ujung kukunya dari sudut bibir pria itu dan merebahkan kepalanya di bahu lebar Daiki. "Setiap minggu aku mengunjunginya. Berbicara segala macam bersamanya."

Daiki kembali tersenyum. Dia memasukkan mobilnya pada halaman luas sebuah rumah khas Jepang. Dia memarkir mobil dan menoleh Ruri yang masih merebahkan kepalanya.

"Sudah sampai. Kalau begitu nanti malam kita minum sake."

Ruri menegakkan tubuhnya dan melihat rumah kokoh dari kayu khas Jepang di depan matanya. Dia meraih tasnya dan membuka pintu mobil. Dia melompat dengan lincahnya menuju pintu rumah yang terbuka.

Daiki dapat mendengar suara Ruri memanggil ayahnya. Dia menggelengkan kepalanya seraya mengunci setir dan keluar. Dia mengangkut semua tas mereka dan mendapati ayahnya berdiri di teras rumah.

Oba-san : panggilan bibi untuk orang lain

Tawa Daiki melebar dan dalam beberapa langkah lebar dia sudah berada di depan Takao dan merangkul pria tua itu.

Takao menepuk bahu putra kebanggaannya itu dan menariknya memasuki rumah. "Aku senang kalian datang di saat aku merasa kesepian mulai menggerogoti hatiku yang merindukan ibumu."

Daiki menatap rumah masa kecilnya yang tampak selalu rapi. Meski pun kini ibunya sudah tiada, ayahnya selalu membersihkan rumah dan meletakkan barang-barang masih seperti saat ibunya hidup. Takao tinggal sendirian dan menolak dibawa ke Tokyo bahkan tidak menginginkan orang lain menemaninya.

Takao melakukan hobi barunya yaitu menanam segala macam bunga di kebun belakang. Daiki menatap potret ibunya yang berada di atas bufet tinggi. Dia membungkuk hormat.

"Aku pulang, Okaa-san*."

Takao berdiri di samping Daiki. "Bagaimana perkembangan kasusmu?"

Daiki menunduk sambil membuka jaketnya. "Aku tak ingin membahasnya sekarang, Otou-san*. Mungkin nanti malam." Daiki menatap Takao yang tampak asyik memandang Sakura.

"Sakura-chan, Daiki-kun datang bersama Ruri-chan. Mereka tampak baik dan Ruri sekali lagi menjadi pengantin yang kabur." Takao tertawa pada Daiki. "Setiap hari aku berbicara dengan ibumu pada bagian Ruri yang selalu kabur dari altar."

"Apa? Kau berbicara tentang itu setiap hari?" Mau tak mau Daiki tertawa.

Takao mengangguk tertawa. Dia mendorong agar Daiki agar istirahat sejenak sebelum makan malam.

"Istirahatlah. Kalian melalui perjalanan cukup jauh. Ruri sudah kusuruh melihat kamarnya di atas."

Daiki menaiki tangga menuju kamarnya. Suara derit tangga mengingatkannya akan dunia kanak-kanaknya dulu. Daiki tertawa pelan. Tidak disadarinya sudah cukup lama dia tidak ke Koto. Selama ini dia berkomunikasi dengan ayahnya melalui ponsel dan kadang juga lewat email. Kesibukan membuat dia hampir tidak memiliki hari libur.

Daiki melewati kamar tidur Ruri dan menjenguk ke dalam melalui celah pintu yang terbuka. Terlihat Ruri sedang berdiri di tepi jendela. Daiki membuka pintu lebih lebar dan bersandar pada kusennya.

Oka-san : panggilan untuk ibu kandung

Otou-san : panggilan untuk ayah kandung

"Bagaimana kondisi kamarmu?"

Ruri membalikkan tubuhnya dan mendapati Daiki yang bersandar pada kusen pintu. Ruri mengedarkan pandang matanya.

"Takao Oji-san menjaga kamar ini seperti terakhir kali aku berada di sini. Tidak ada debu dan udara tetap bersih karena sepertinya tiap hari jendelanya dibuka." Ruri merasa suaranya bergetar. Dia tertawa seraya mengusap matanya yang mulai berair.

"Aku semakin merindukan Sakura Oba-san."

Daiki melangkah mendekat dan menepuk kepala Ruri. Ditariknya kepala yang cantik itu agar menyandar pada dadanya yang lebar. "Aku juga." Daiki meletakkan dagunya di puncak kepala Ruri.

Lama mereka seperti itu. Daiki menatap langit sore yang memerah di luar jendela. Seandainya tidak pernah ada pembunuhan itu, mungkin mereka bisa menikmati waktu dengan lebih baik.

Daiki melepas dekapannya dan mengecup lembut dahi Ruri. "Istirahatlah. Sepertinya Otou-san ingin kita menikmati makan malam yang sempurna."

Ruri menatap punggung Daiki yang berlalu dari kamarnya. Dia kembali menatap ke luar jendela. Dia memejamkan mata sejenak. Dia mengeluarkan sebuah kertas dari saku celananya. Sebuah kertas terlipat dan dia membukanya. Tampak sebuah design lampu sepasang pengantin di depan gereja. Pengantin pria tersebut berwajah seperti Daiki dan dia tersenyum menatap pengantin wanita yang masih tidak berwajah. Kini dia tahu wajah seperti apa yang akan digambarnya di sana.

****

Mereka makan malam di sebuah restoran Donburi* di Koto di mana dengan bangganya Takao mengatakan kedatangan kedua anak kesayangannya. Pria tua itu tampak sangat menikmati makanannya dan tersandar dengan puas di sofa ruang tengah.

"Betapa menyenangkannya bisa makan bersama keluarga." Dengan tatapannya yang tiba-tiba tajam, dia menatap Daiki yang terlihat tenang menonton televisi.

"Nah. Ceritakan apa yang terjadi dengan kasusmu?" Suara Takao tampak terdengar keren. Meski usia tua mulai menggerogoti tubuhnya, instingnya sebagai detektif tak pernah tumpul seiringnya usia tuanya.

Donburi : nasi yang di atasnya ada berbagai macam lauk pauk seperti ikan, dagingdan sayuran berkuah.

Dalam sekali melihat melalui televisi, dia tahu anaknya dan Hideo mengalami kesulitan dalam mencari bukti. Daiki menatap Takao. Dia tahu bahwa Ruri sudah kembali ke kamarnya. Daiki memajukan tubuhnya menatap Takao.

"Apa yang bisa Otou-san beri tahu aku tentang sindikat mafia yang diketuai oleh pria bernama Shinobu Kimura?" Daiki membuka percakapan.

Daiki dapat melihat bahwa sinar mata ayahnya berkilat ketika dia menyebut nama sang mafia. "Mengapa kau membawa nama Shinobu ke dalam penyelidikanmu?"

Daiki mengepalkan kedua tangannya di lutut. "Mungkin Otou-san sudah tahu bahwa pembunuh Direktur Bank Asing Saitama adalah orang yang sama dengan pembunuh Akemi Kondoo 19 tahun lalu. Selang 48 jam pembunuh itu terbunuh di selnya dengan tembakan jarak dekat. Pembunuhan itu hanya dapat kami siarkan melalui media tidak sepenuhnya. Intinya ada beberapa bukti rancu yang belum kami ungkap ke masyarakat seperti dugaan sang pembunuh yang mengenakan sebuah gelang langka dengan harga selangit dan kenyataan bahwa ternyata Jiro Miura adalah salah satu anggota mafia di bawah pimpinan Kimura dan juga sampai sekarang masih dibawah naungan kelompok itu yang kini telah berganti nama dan pemimpin yaitu anak sang mafia. Yang ingin kutemukan adalah apakah Shinobu Kimura terlibat dalam pembunuhan 19 tahun lalu dan pembunuhan Bank Asing Saitama karena gelang yang dikenakan sang pembunuh Jiro Miura adalah gelang yang sama yang dibeli oleh Shinobu 19 tahun lalu. Sehingga kami merasa yakin bahwa pembunuhan atas diri Jiro adalah untuk mengaburkan dalang dari kedua pembunuhan itu."

Takao bangkit dari duduknya dan mengajak Daiki memasuki sebuah ruangan yang beberapa tahun ini sudah dikuncinya. Dia membuka ruangan gelap itu dan menghidupkan saklar dan Daiki tercengang menatap seluruh isi ruangan luas itu.

Beberapa perangkat komputer lengkap untuk seorang hacker terdapat di dalam ruangan luas itu. Takao menatap Daiki dengan wajah puas. Dia membuang tatapannya pada semua alat canggih itu dan melemparkan serenceng kunci kepada Daiki.

"Kau bisa gunakan ruangan ini selama 2 hari penuh untuk menemukan bukti keterlibatan Shinobu atas kasus yang sedang kau selidiki. Kunci-kunci itu untuk beberapa referensi tentang kasus Toshima 19 tahun silam. Dari awal aku dan Yoshio sudah mencurigai Shinobu..."

"Atas dasar...?"

"Kau bisa menemukannya di dalam semua laci yang terdapat kuncinya di tanganmu itu. Tapi kalau aku menjadi dirimu aku akan mendatangi tempat kejadian dan rumah pribadi Shinobu di Azabu. Karena untuk mengusut sebuah kasus kita harus kembali ke tempat kejadian, yaitu apartemen Direktur yang terbunuh. Kalau untuk rumah Ruri di Toshima, kau hanya perlu membuka semua berkasku dulu. Di sana cukup lengkap."

"Bagaimana dengan rumah Shinobu?" tanya Daiki berdebar.

Takao memandang keyboard komputernya dan kembali pada Daiki. "Aku baru menyadari bahwa rekaman CCTV yang aku ambil bersama Yoshio sudah mengalami perubahan. Itu bukan rekaman asli tentang isi rumah tersebut."

****

Daiki melangkah naik ke atas dan melewati pintu kamar Ruri yang tertutup. Dia membuka pintu itu dan mendapati kamar yang terang benderang itu kosong. Alis Daiki berkerut dan perhatiannya tertarik pada sebuah bangunan kayu berukuran sedang yang berada di halaman belakang rumah ayahnya. Bangunan yang sengaja dibangun oleh Takao khusus untuk tempat kerja Ruri membuat lampu yang disebut bengkel itu tampak terang.

Ruri sedang membentuk sebuah patung-patung kecil dengan bahan kaca kusam yang masih ada tersisa di bengkelnya ketika Daiki mendorong pintu kayu itu.

Pria itu bersandar pada tepi pintu dan memperhatikan Ruri yang tampak asyik dengan pekerjaannya. Rambut panjang wanita itu digelung berbentuk cepol tinggi dengan untaian helai rambut di sekitar pelipis dan tengkuknya yang mulus. Ruri memakai kaos longgar lengan pendek dengan kerah longgar dipadu dengan celana pendek ketat sebatas paha. Wajah cantik itu tampak merona dan sinar matanya makin tambah berbinar saat mengerjakan sesuatu yang dicintainya.

Ketika Ruri sedang mengerjakan lampu dari hasil imajinasinya, dia bisa melupakan segalanya. Dia tenggelam di dunianya sehingga kehadiran Daiki pun tidak disadarinya.

Daiki berdehem untuk menarik perhatian Ruri. Tampak kepala yang cantik itu terangkat dan menoleh ke arahnya. Senyum manis itu menyambut Daiki.

"Kau tampak serius? Ada pelanggan yang memesan?" tanya Daiki sambil mendekat. Dia menggulung lengan panjang kaosnya dan berdiri tepat di samping Ruri untuk melihat kerjaan wanita itu.

Ruri tersenyum sambil kembali menunduk. "Tidak..aku membuat ini untuk diriku sendiri."

Mata Daiki melihat gambar yang dibuat Ruri. Kertas design itu terbentang lebar di atas meja itu tepat di depan mata mereka. Dia melihat sketsa sebuah gereja mungil dengan sebatang pohon besar berbentuk kubah melengkung yang akan menjadi tempat bola lampu. Ada sepasang pengantin berdiri di bawah pohon itu. Daiki mendekatkan wajahnya untuk melihat lebih jelas pada gambar sepasang kekasih itu. Pengantin prianya diwarnai setelan jas abu-abu dan memiliki wajah seperti...

Daiki menoleh Ruri yang memang tengah menatapnya. Dia menunjuk gambar itu dan bersuara tidak yakin. "Wajah pengantin pria itu seperti wajahku atau hanya perasaanku saja?"

Ruri tersenyum sambil jarinya meraba sketsanya. "Iya. Itu wajahmu." Ruri menatap Daiki yang terkejut. Pria itu mengedip-edipkan matanya dan wajahnya memerah. "Apa aku tidak boleh berharap lebih dengan hubungan ini?"

Jantung Daiki berdebar kencang ketika mendengar ucapan Ruri. Kini saat matanya kembali pada sketsa tersebut, terlihat jelas bahwa sepasang pengantin itu itu berwajah persis dirinya dan Ruri.

Daiki meraih tubuh Ruri dan mendudukkannya di atas meja. Mata Ruri terbelalak ketika sepasang tangan Daiki berada di pinggangnya dan mendongak menatapnya.

"Mengapa bertanya? Aku juga berharap lebih atas hubungan ini, Ruri.." bisik Daiki. Sebelah tangannya meraih tengkuk Ruri dan menariknya turun mendekati wajahnya.

Mereka berciuman dengan lembut dan mesra.

****

Daiki mencium dahi Ruri yang terlelap di dalam pelukannya dan dengan hati-hati turun dari ranjang. Dia menyelimuti tubuh wanita itu sebelum dia memakai celana panjangnya dan T-shirt. Ruri tertidur sangat nyenyak dalam pelukannya beberapa saat lalu. Setelah yakin bahwa wanita itu tidak akan terbangun karena dia meninggalkan ranjang, Daiki cepat keluar kamar dan menuju ruang komputer milik ayahnya.

Seluruh ruangan di rumah itu sudah gelap dan dengan menekan sebuah tombol, seluruh peralatan teknologi itu hidup.

"Wooow..." Daiki berseru kagum ketika dia duduk di depan semua alat pelacak itu. Ada sekitar 5 buah layar di dinding yang terhubung pada dua buah PC di sana.

Daiki mulai masuk dengan kode sandi miliknya dan dengan kecepatan luar biasa, komputer milik ayahnya mampu menembus beberapa jaringan rahasia sekaligus. Dia mulai membuka folder kasus Akemi Kondoo di data milik ayahnya. Di sana terdapat semua data kasus tersebut dan beberapa rekaman CCTV. Daiki memutar rekaman pertama dan dia terpaku menonton rekaman itu, persis yang dilakukan ayahnya 19 tahun lalu. Itu adalah rekaman paling murahan yang dilihat Daiki. Dua orang yang bercinta dengan begitu bernafsu dan sedikit diselingi pukulan namun anehnya membuat dua orang itu semakin bernafsu.

Jika dulu Takao mempercepat seluruh adegan di rekaman itu, ada pun Daiki tetap menonton hingga selesai. Dan di situlah letak kelengahan Takao. Ketika Takao mengalihkan matanya, dia kehilangan momen paling penting yaitu di mana ketika wanita itu dikunjungi sang mafia dan ketahuan akan perselingkuhan itu dan diberi waktu untuk pergi dari rumah, wanita yang terlihat terpuruk itu tampak sangat putus asa dan meraih kain pengikat pinggang pada gaun. Saat itulah sebuah pintu dari sebelah dalam kamar itu terbuka. Sepasang kaki kecil mendekati wanita itu dan ketika wanita itu menyadari siapa yang datang, dia memeluk anak lelakinya. Di tangannya masih memegang kain pengikat pinggang itu.

Waktunya begitu cepat, sebuah tangan kecil dan kurus itu merampas kain panjang itu dan langsung membelit leher wanita itu hingga tak bernapas. Daiki duduk mendekati layar komputer dan terpaku menatap semua adegan mengerikan itu.

Wanita malang itu jatuh merosot ke lantai dengan mata terbuka dan airmata yang mengalir lambat. Wanita itu mati di tangan anak lelaki itu. Secara tiba-tiba anak lelaki itu menatap ke arah Daiki dengan sorot mata bengisnya dan melempar sesuatu ke arah layar kamera hingga yang ada adalah layar gelap di komputer.

Daiki tersandar dengan perasaan gamang dan baru teringat untuk bernapas. Dia mengusap wajahnya yang berkeringat dingin yang telah menyaksikan pembunuhan sadis. Dengan berusaha tenang, Daiki membuka berkas kasus Akemi Kondoo. Ternyata ayahnya memcatat kematiannya selang 45 menit dari laporan bunuh diri isteri sang mafia. Daiki melihat nama Kenji Fujita digaris bawahi dengan tebal oleh ayahnya dan ditulisi besar bahwa pria itulah teman selingkuh isteri sang mafia serta orang yang merampok brankas milik Shinobu Kimura. Pria yang membiarkan isterinya meninggal begitu saja di depan matanya serta anak perempuannya di dalam lemari pakaian. Dan setelah 19 tahun berlalu, salah satu Direktur Bank Asing di bawah kekuasaan Bank Asing London terbunuh. Di mana pemilik Bank Asing sesungguhnya adalah pria bernama Kenji! Atau tepatnya Kenji Fujita, umpat Daiki ketika dia melihat rekaman CCTV di mana pria itu merampok brankas Shinobu. Wajah itulah yang sempat dilihatnya sewaktu dia menembus data di komputer Jiro Miura.

Daiki menekan pelipisnya yang berdenyut. Kini dia mulai menemukan titik terang kedua kasus itu. Ternyata memang berhubungan dan hanya satu kecurigaan Daiki, mengapa pihak kepolisian menutup kasus Akemi Kondoo? Dan mengapa si pengantar pizza itu begitu mudahnya menembus kepolisian untuk membunuh Jiro serta mengganti kamera CCTV? Ada permainan kotor di sini!

Daiki memutuskan besok akan menelpon Hideo dan bersiap akan mematikan komputer ketika matanya terpaku pada sebuah layar di dinding. Sebuah alat pelacak terdeteksi di rumahnya!

Cepat Daiki menekan beberapa tombol di keyboard hingga visualnya menampilkan area keberadaan alat pelacak asing itu. Daiki menekan meja komputernya saat menemukan benda itu ternyata berada di kamar Ruri.

Dia bergegas ke kamar itu dan mulai membongkar isi kamar bahkan isi dari tas milik Ruri. Semua nihil dan Daiki menatap dompet mungil pemberiaannya ketika Ruri berulang tahun. Diraihnya benda itu dan dia mulai memeriksanya. Jarinya menyentuh sesuatu di dasar dompet. Dengan menjepit melalui ibu jari dan telunjuk, Daiki mengeluarkan benda kecil dari dasar dompet dan rasa amarah Daiki menggelegak di dadanya.

Sebuah alat pelacak canggih berada di dalam dompet Ruri yang dapat dipastikannya telah diletakkan seseorang tanpa sepengetahuan wanita itu. Dengan geram Daiki menekan tombol mati secara manual di dasar alat itu dan dia bergerak keluar dari kamar itu.

****

Titik pelacak yang terus diperhatikan oleh Mamoru tiba-tiba menghilang. Dia yang sedang membetulkan komputernya yang diserang virus beberapa hari lalu oleh hacker kepolisian, mengangkat kepalanya dan berjalan mendekati laptopnya.

Dia mengetik sana sini pada keyboardnya untuk mendapatkan kembali keberadaan alat itu namun hasilnya sia-sia. Mamoru mengusap rambutnya. Belum berjalan satu hari di Koto, alat itu sudah ketahuan!, dengus Mamoru.

Dengan jengkel Mamoru berhenti mengotak-atik komputernya dan duduk di sofa tunggal di dekat jendela. Mamoru bersandar memandang langit malam yang pekat. Dia memejamkan matanya. Wajah cantik Sayuri bermain di pelupuk matanya. Suara lirih yang keluar dari bibir wanita itu membuat hati Mamoru menghangat. Kedua tangannya seolah masih terasa mendekap tubuh ramping itu bahkan bibirnya seakan masih merasakan tekstur lembut bibir dan kulit tubuh Sayuri. Kemudian wajah cantik Sayuri berganti dengan wajah milik Ruri yang tak berdosa.

Mamoru membuka kedua matanya. Dia duduk tegak. Sayuri. Ruri. Apakah memang hanya untuk membicarakan lampu hari itu Sayuri muncul di toko Ruri? Mamoru menekan sikunya di lutut dengan telapak tangan menutup wajahnya. Dia menggeram kesal.

"Pertemukan aku dengan anak perempuan Kenji dalam waktu dekat! Sekarang namamu Mamoru yang artinya Guardian atau penjaga. Tugasmu adalah menjadi pelindungku. Apa pun yang kuminta darimu kau harus melakukannya. Hozy Mori sudah mati di bawah meja komputer itu! Bunuh jika seseorang mengganggu langkahku. Bunuh Jiro Miura sekarang juga. Bereskan dia sebelum mulutnya membuka banyak hal. Menyusuplah ke dalam kehidupan Ruri Fujita! Kirimi aku foto tentang wanita itu. Dapatkan data web tentang pekerjaannya. Hancurkan Kenji Fujita. Jatuhkan semua sahamnya di bursa efek. Rebut semua aset miliknya...."

"Aaarghhhh!!!" Mamoru berteriak marah dari dasar dadanya yang sempit. Dia melempari semua yang ada di meja pendek ruang tengah itu. Semua ucapan Junichi menggema di benaknya. Dia menatap kedua tangannya. Dikepalnya kedua tangannya. Seandainya Sayuri tahu sudah berapa banyak kejahatan yang dilakukan kedua tangannya ini? Akankah wanita itu masih mempercayainya? Mamoru menghempaskan tubuhnya di lantai dan menatap langit-langit apartemennya.

Suara pesan email masuk pada ponselnya. Mamoru meraih benda itu dan membaca email yang masuk.

Besok bawa aku ke Koto-ku - email Junichi Kimura.

Next chapter