19 Bab 18

"Hideo-san menelponku agar kau tidur di apartemenku malam ini. Nanti besok pagi dia akan menjemputmu bersama Daiki ketika kami akan ke Koto." Ruri menoleh Naoko ketika dia sedang membelokkan setirnya menuju arah apartemennya.

Naoko menoleh Ruri. "Apakah mereka akan selama itu di markas?"

Ruri mengangkat bahu. "Daiki mengatakan kemungkinan mereka akan tidur di sana. Mereka sedang meretas jaringan sebuah bank."

"Tidakkkah mereka sedang melakukan tindakan illegal. Meretas jaringan sebuah bank?"

"Kurasa tidak. Mereka memiliki ijin untuk itu. Mereka polisi di bagian cyber crime."

Naoko menatap pipi Ruri yang merona dan rambut panjang lembabnya. Tangannya terulur menyentuh helai rambut Ruri.

"Bagaimana Daiki?" Naoko tersenyum menggoda.

Ruri menekan rem tiba-tiba dan menoleh Naoko. Wajahnya merah padam. "Apa maksudmu?" ujarnya jengah sambil kembali menatap jalanan.

Naoko terkekeh. "Maksudku bagaimana rasanya. Pertama kali. Melakukannya dengan pria yang selama ini tumbuh besar bersamamu?"

Ruri menggigit bibirnya. Apartemennya semakin dekat. "Rasanya luar biasa." Ruri menoleh Naoko dengan senyum malu. "Saat aku dan dia berpelukan, aku tidak bisa lagi membayangkan apa pun. Aku seakan melayang ke langit ke tujuh. Yang dapat kukatakan, aku bahagia."

Naoko begitu terharu mendengar cara Ruri mengungkapkan perasaannya terhadap Daiki. Lalu dia teringat sesuatu ketika Ruri sudah memarkir mobilnya di basemen apartemen.

"Apakah Daiki menggunakan pelindung?" tanya Naoko.

Ruri mengangkat matanya dari mengunci setir. " Kurasa tidak."

Jawaban Ruri yang santai membuat Naoko menjerit dan mengguncang bahu wanita itu. "Demi Tuhan bagaimana jika kau hamil?"

Ruri tertawa seraya membuka pintu mobil. "Aku sedang tidak dalam masa subur." Ruri berjalan santai diikuti Naoko.

"Tapi tetap saja kalau.."

Ruri menatap Naoko. "Jika itu terjadi bukankah akhirnya aku tidak akan lagi menjadi RUNAWAY BRIDE." Dia tertawa melihat tampang pias Naoko.

Selagi mereka memasuki lift, ponsel Ruri berdering. Sebuah nomor tak dikenal terpampang di layar ponsel.

"Hallo?"

Sebuah suara wanita yang lembut terdengar di seberang. "Apakah saya berbicara dengan Ruri -sama?"

Pintu lift terbuka. Ruri dan Naoko berjalan lambat mendekati pintu apartemennya.

"Ya. Saya berbicara dengan siapa?" Ruri bertanya sambil menekan nomor kombinsi.

Ada jeda di seberang membuat Ruri mengerutkan keningnya. "Maaf?"

"Sayuri. Ini dengan Sayuri Fukuda."

****

Daiki dan Hideo berada di ruangan Divisi Cyber Crime bersama dua orang detektif dari Divisi Kriminal. Mereka menatap komputer masing-masing sementara dua orang detektif yang lain mempelajari rekaman CCTV yang mengalami rekaman dobel.

Baik Daiki dan Hideo masuk pada jaringan Bank of Tokyo. Keduanya mencoba menelusuri pembeli kedua gelang White Guardian Brecelet. Dalam pikiran Daiki dia tidak asing mendengar kata Guardian. Di mana aku pernah mendengar kata itu?

Ketika dia sedang mencoba mengingat, sebuah data pemilik rekening tersebut muncul di layar. Daiki cepat menekan tombol di keyboard dan men-print screen data yang muncul.

"Pembelian 3 tahun lalu melalui rekening Bank of Tokyo atas nama Sayuri Fukuda. 26 tahun jika dihitung usia sekarang. Lahir dan besar di Amerika dan menjadi warga negara di sana. Tapi dia berdarah Jepang tulen." Daiki membaca data yang berhasil ditembusnya dari data kependudukan di New York. Dia membandingkanya dengan data konsumen di etalase H&M dan Rekening Bank of Tokyo. Dia mendorong kursinya dan meletakkan ke dua kakinya di atas meja. "Tapi pembelian itu bukan dia yang melakukannya. Di sini tertera bahwa yang membelinya adalah seorang pria. Aish...kasus ini membuatku ingin muntah!" Daiki mengacak rambutnya. "Andrew...Kimura?" Daiki membelalakkan matanya untuk membaca nama sang pembeli.

"Apa kalian tahu bahwa pembeli gelang 20 tahun lalu itu adalah orang yang pernah dicurigai oleh ayah kalian 19 tahun lalu sebagai dalang pembunuhan Akemi Kondoo?"

Ichiro Nakano yang mengontrol anak buahnya mencetuskan kalimat itu ketika selintas dia melongok ke komputer Hideo.

Daiki dan Hideo memutar kursi mereka untuk menatap Ichiro dengan terkejut. Hideo menepuk dahinya. "Mengapa aku lupa? Bukankah ayah pernah bilang bahwa karena dia dan Takao Oji-san bersikeras ingin mengusut pria bernama Shinobu Kimura itu akhirnya mereka dibebas tugas sebagai polisi." Hideo bertukar pandang dengan Daiki yang mengurut pelipisnya.

"Kurasa begitu," ujar Daiki.

Ichiro menjatuhkan tubuhnya di kursi samping Daiki. Dia menatap layar komputer Daiki yang menampilkan data pemilik rekening Bank of Tokyo. "Shinobu Kimura merupakan mafia besar Jepang atau Yakuza pada jamannya. Aku sebagai junior dari kedua ayah kalian selalu berusaha untuk mendapatkan pria licin itu bersama. Tapi dia selalu lolos." Ichiro menatap Daiki. "Mengapa kau mengusut pembelian gelang 3 tahun lalu?"

Daiki menatap layar komputernya. Lama dia merenungi benda itu. "Sebenarnya aku mencurigai pembelian gelang yang pertama. Lalu aku lebih fokus pada pembelian 3 tahun lalu karena kejanggalan akan rekening yang dikeluarkan untuk membeli gelang tersebut. Jika pria ini.." Daiki menunjuk data konsumen. "Ingin menghadiahkan sebuah gelang pada seorang wanita, mengapa dia membelinya melalui kartu kredit wanita itu sendiri atau wanita lain? Dengan kata lain pria itu sebenarnya sedang menutup jejaknya. Tapi sayangnya di toko yang menjual barang semahal ini membutuhkan identitas konsumen saat transaksi berlangsung. Aku tidak tahu bahwa pria ini sengaja melakukannya atau justru dia terjebak oleh permainannya sendiri. Yang jelas...ini mencurigakan."

Mereka terdiam. Pintu ruangan terbuka dan muncul seorang detektif lain yang membawa sebuah map. Dia menghormat Ichiro dan langsung melapor apa yang ditemukannya.

"Berdasarkan data yang kami usut, tersangka Jiro Miura tergabung di bawah sebuah organisasi Mafia yang dipimpin oleh Shinobu Kimura ketika pembunuhan Akemi Kondoo 19 tahun lalu. Kemudian untuk pembunuhan Bank Asing Saitama, Jiro masih tercatat sebagai anggota tersebut yang kini sudah berganti nama menjadi Lucifer di bawah pimpinan putra Shinobu sendiri."

Ichiro menegakkan tubuhnya. "Apa kau memilki namanya?"

Detektif itu menjawab lirih. "Maafkan saya Kepala Nakano. Kami lupa memanggil Detektif Watanabe. Ketika nama tersebut hampir berhasil kami dapatkan, seorang hacker yang memiliki alias Guardian berhasil merebut data tersebut dan membuat komputer kami mati total karena virus jahat.."

"Brengsek!" Suara umpatan tersebut dikeluarkan oleh Daiki.

****

Junichi menatap komputernya dengan tangan bertopang dagu. Di sana titik alat pelacak tetap pada tempatnya di area Yoyogi*. Anak perempuan Kenji Fujita tinggal di sana. Junichi mendapatkan pesan email dari Mamoru bahwa wanita itu akan ke Koto menemui ayah angkatnya.

Junichi mengepalkan tinjunya dan bersandar pada sandaran kursinya. Setelah 19 tahun berlalu kasus kematian isteri Kenji Fujita kembali dibuka setelah ayahnya mengancam Kepala Kepolisian Saburo Nakajima beserta beberapa bawahannya termasuk Soji Hasegawa akan membuka kerja sama mereka dalam memperdagangkan narkoba dan senjata gelap. Selama ini kelompok yang dipimpin ayahnya selalu lolos dari kejaran polisi dalam pengedaran narkoba tidak lain karena campur tangan Saburo Nakajima.

Tapi hanya dua orang detektif saja bersikeras mengejar ayahnya. Yaitu Detektif Takao Watanabe dan Detektif Yoshio Kotoo. Seandainya tidak ada kejadian perselingkuhan ibunya dan perampokan harta yang dilakukan Kenji Fujita yang mengakibatkan terbunuhnya Akemi Kondoo, mungkin ayahnya tidak perlu meninggalkan Jepang seperti ini. Yang membuat ayahnya bersikeras mendapatkan Kenji adalah bahwa pria itu membawa lari benda paling penting milik ayahnya yaitu white guarding bracelet. Bukan masalah gelang saja tapi rahasia yang terdapat di dalam gelang tersebut. Ada kode rahasia yang menghubungkan sebuah penyimpanan di Bank of Tokyo.

Lagipula jika kasus ini digali makin dalam akan terbongkar pula bahwa ibunya tidak meninggal karena gantung diri! Dan sekarang yang semakin membuat Junichi geram adalah Sayuri mengunjungi toko lampu milik Ruri Fujita. Bukan itu rencananya!

Dia meraih ponsel dan menelpon Mamoru yang ketika itu sedang di apartemennya. Pria itu tengah memblok data kelompok mafia mereka di kepolisian ketika telepon Junichi masuk.

"Junichi-sama?"

"Atur pertemuanku dengan Ruri Fujita dalam waktu dekat ini. Aku tidak mau akhirnya Sayuri bertemu dengan wanita itu di luar rencanaku!"

Mamoru menatap layar laptopnya yang berkedip-kedip. Alisnya berkerut karena sebuah pesan asing menerobos jaringannya. Sebuah alias muncul di atas kotak pesan. Lady bird. Mamoru membuka pesan tersebut dan sebuah suara muncul di laptopnya.

AKU AKAN MENEMUKANMU, GUARDIAN!

"Ya aku akan memikirkan cara bagaimana kalian bertemu," Mamoru segera mematikan ponsel dan jarinya hampir menekan keyboard ketika sebuah gambar muncul di layarnya. Sebuah foto pria tua dalam setelan jas hitam dengan tongkat kuningannya yang kokoh. Foto Shinobu Kimura!

Mamoru segera menekan beberapa tombol untuk menghentikan laju masuknya data berbahaya itu karena ketika foto itu masuk, laptopnya berbunyi WARNING karena puluhan virus jahat masuk ke data laptopnya melalui foto Shinobu Kimura. Sebelum virus-virus itu memakan datanya, Mamoru menangkap data Lady Bird bertepatan layarnya menggelap. Mamoru cepat mencabut flashdisk dari laptopnya dan mengamankannya di laci meja kerjanya. Dia tersandar di sandaran kursinya dan mengumpat pelan. Ternyata kepolisian memiliki hacker yang luar biasa tangguh dan Mamoru yakin bahwa itu adalah hacker yang sama waktu mereka saling berebut data kepolisian beberapa waktu lalu.

Sementara itu Hideo memandang Daiki dengan kaget. "Kau sengaja membuka aliasmu pada hacker gila itu? Dia bisa saja melacak keberadaanmu, Daiki." Hideo menepuk meja.

Daiki mengangkat alisnya. "Menghadapi orang sebejat kelas mereka kita perlu melakukan spekulasi. Aku akan memancing dengan diriku karena aku yakin dia bisa dengan mudah masuk ke akses kepolisian kita tentu ada diantara isi kepolisian ini bekerja sama dengan kelompok mereka!"

****

Ruri bangun lebih awal karena rencana mereka akan ke Koto. Dia memandang Naoko yang masih tidur dengan nyenyak dan dengan pelan dia turun dari ranjang. Dia menyeret kakinya menuju keluar dan membasuh muka dan gosok gigi di wastafel.

Ruri menangguhkan niatnya untuk mandi dengan membuat secangkir teh hangat pagi itu dan duduk diam menikmtinya di balkon apartemen sambil menatap bola merah perlahan muncul di ufuk timur. Angin pagi musim semi bersemilir menggoda helai rambut Ruri.

Yoyogi : daerah perumahan yang relatif tenang yang memiliki (tidak begitu tenang) taman besar. Berada di antara dua lingkungan tersibuk di Jepang: Shinjuku dan Shibuya.

Ruri memegang cangkir tehnya sambil mengingat percakapan teleponnya dengan wanita bernama Sayuri Fukuda.

"Sayuri. Saya Sayuri Fukuda"

"Ya. Ada yang bisa saya bantu?"

"Saya ingin bertemu anda. Kapan anda memiliki waktu?"

"Apa anda ingin mengorder lampu?"

"...salah satunya. Tapi saya ingin bertemu dengan anda"

"Dalam 2 hari ini saya akan bepergian. Bagaimana jika hari minggu? Sekitar 3 hari lagi?"

"Baiklah. Saya akan menunggu anda. Di mana anda ingin kita bertemu?"

"Di toko saya..."

"Saya mengharapkan pertemuan kita di luar saja."

"Bagaimana kalau kita bertemu di Sarutahiko Café* di Shibuya, pukul 10"

"Baiklah..saya akan mengingatnya. Sampai jumpa"

Ruri tidak mengerti maksud wanita itu ingin bertemu dengannya seperti itu. Ruri merasa dari nada bicaranya, wanita itu seolah ingin membirakan sesuatu yang sama sekali tidak berhubungan dengan lampu. Dia menggosok ujung hidungnya dan mendengar suara bel pintu apartemenya berbunyi.

Ruri beranjak dari duduknya dan berjalan membuka pintu dan ternyata adalah Daiki dan Hideo. Kedua pria itu sudah mandi meski pun tampang ke duanya tampak kurang tidur.

Hideo menerobos masuk dan langsung menuju sofa panjang milik Ruri untuk merebahkan tubuhnya yang lelah. Dia menutup matanya sejenak dan berbicara pelan. "Apa Naoko sudah bangun?"

"Belum. Dia masih di dalam selimut. Kau bisa tidur sejenak karena kami masih lama berangkat ke Koto. Iya kan?" Ruri menatap Daiki yang melangkah masuk.

"Kita berangkat pukul 11 saja. Aku perlu tidur barang 1 jam. Mata ini sudah tidak sanggup lagi." Daiki menuju sofa satunya lagi yang berdekatan dengan Hideo yang telah terlelap.

Tapi sebelum Daiki membaringkan tubuhnya di sana, sinar matanya berkilat menatap penampilan Ruri.

Wanita itu mengenakan kemeja gombrongnya bersama underwear saja seolah lupa bahwa sekarang sedang ada Hideo. Daiki tahu kebiasaan tidur Ruri yang berantakan dan saat itu pun sedang dilakukannya.

Sarutahiko café : kedai kopi yang terdapat di 1-6-6 Ebisu di Distrik Shibuya

Ruri sedikit mundur melihat sorot mata marah Daiki yang ditujukan padanya dan dia baru tersadar akan apa yang dikenakannya. Dia melirik Hideo yang sudah mendengkur di sofa dan mencoba tertawa.

"Hideo-san sudah tidur..." tiba-tiba tubuhnya telah tertarik ke arah Daiki dan berada di atas pangkuan pria itu.

Dengan menggeram, Daiki menunduk dan menciumnya dengan kemarahan terpendamnya. "Jangan memakai seperti ini lagi jika bukan di depanku," desis Daiki pada telinga Ruri.

Ruri terengah. "Aku tidak tahu kalian datang secepat ini."

Daiki menghentikan siksaaannya pada Ruri dan mengecup ringan bibir Ruri dan merasakan aroma teh camomile di sana. Dikancingnya kemeja Ruri dengan sempurna dan dia tersenyum di lekuk bibir sempurna itu.

"Aku tidur sebentar dan setelah itu kita berangkat," ucap Daiki lembut.

Ruri berdiri dengan wajah merona. Dia berkata parau. "Aku juga harus mandi." Dia berlari menuju kamar mandi di kamarnya dan mendengar dengkuran Daiki bersahutan dengan dengkur Hideo.

Selama Ruri mandi, Naoko terbangun karena suara dengkuran menembus dinding kamar Ruri. Dia menggosok matanya dan bangkit duduk.

"Ruri-chan!" panggilnya.

Pintu kamar mandi di bagian kanan kamar terbuka dan Ruri berjalan keluar dengan handuk melilit tubuh dan kepalanya.

"Kenapa? Menjerit seperti itu", tawa Ruri. Dia membuka lemarinya dan mengeluarkan setelan blus longgar dan celana jeans skinny serta sebuah koper mungil.

"Suara apa itu?" tunjuk Naoko ke arah pintu.

Ruri memakai underwear dan menarik celana jean skinnynya sambil menjawab Naoko. "Itu dengkuran Hideo-san feat dengkur Daiki. Persis suara beruang ya."

Naoko menyibak selimut dan berjalan menuju keluar. Ruri menoleh sekilas dan berkata. "Jangan bangunkan mereka. Mereka butuh tidur. Lebih baik kau masak sarapan saja."

"Oke!" sahut Naoko.

Ruri tertawa dan menyelesaikan dandanannya dan menyeret koper mungilnya. Dia meraih dompet kecilnya dan memasukkannya ke dalam tas bahunya, sama sekali tidak menyadari bahwa alat pelacak berada di dasar dompet.

****

London, Inggris Raya. Pukul 8 p.m.

"Mister. Seluruh saham kita anjlok di bursa efek beberapa hari ini. Bahkan beberapa aset yang kita miliki hampir hilang. Kita harus segera mengambil keputusan tentang nasib saham dan aset Bank Asing Saitama yang kini telah berganti kepemilikan. Apa kita harus melepasnya pada orang itu?"

Seorang pria barat datang kepada seorang pria setengah tua yang berdiri di jendela kaca ruang kantornya yang selebar dinding menatap keindahan kota London dan Big Bennya. Pria itu bertubuh tegap dan jangkung dengan tangan di dalam saku celananya. Dia menoleh sekilas pada wakilnya barusan.

"Kondisi cabang lainnya?"

"Sama saja. Saham kita merosot drastis. Separuh nasabah kita menarik semua tabungan mereka dan bahkan ada yang membatalkan deposito melalui hukum. Para pemegang saham sudah mulai mengeluh."

Pria itu menghela napas berat. Sebelah tangannya keluar dari celananya yang licin. Dia menatap sebuah benda berkilau di telapak tangannya. Sebuah gelang berlapis emas putih dengan ukiran di seputar lingkarnya. White Guardian Brecelet yang langka. Dia menggenggam benda itu dengan erat. Rahangnya yang kokoh tampak mengetat.

"Lepaskan Bank Asing Saitama pada orang itu. Lebih baik kita mempertahankan apa yang masih bisa pertahankan, Joshua." Pria itu membalikkan tubuhnya menghadap pria barat itu.

Joshua McLarry mengangguk dan menjawab pelan. "Baiklah Mr. Fujita. Saya akan segera menghubungi Asisten orang itu." Joshua siap berlalu ketika terdengar lagi suara pria itu.

"Bagaimana perkembangan kasus pembunuhan Peter di Tokyo? "

"Kepolisian masih menyelidikinya. Sayangnya saat penyelidikan berlangsung, kurang dari 48 jam pembunuh Peter terbunuh di selnya. Menurut laporan di Tokyo mereka mengulang lagi dari awal. Namun kali ini mereka melakukan bersamaan dengan kasus 19 tahun lalu yang terjadi di Toshima. Kasus Akemi Kondoo yang diduga memiliki motif yang sama."

Pria itu agak limbung ketika mendengar penjelasan itu. Joshua kaget dan hendak mendekat namun ditolak dengan tegas oleh sang Direktur.

"Aku baik-baik saja. Pergilah."

Kenji Fujita memandang wakilnya keluar dari ruangannya. Dia terduduk di kursi kebanggaannya dan menutup matanya sejenak. Dari celah bibirnya dia mengucapkan dua buah nama yang selama ini dikuburnya sepanjang 19 tahun. "Akemi...Ruri"

avataravatar
Next chapter