webnovel

Bab 20

Ruri terbangun saat terdengar suara cicit burung di jendela. Dia mengangangkat wajahnya dan mendapati dia berada dalam pelukan hangat Daiki. Wajahnya terletak di atas dada pria itu.

Ruri mengangkat sedikit tubuhnya dan menatap wajah yang terlelap itu. Wajah Daiki terlihat seperti anak kecil jika dia tidur dan itu adalah sesuatu yang sangat disukai Ruri sejak mereka kanak-kanak. Menatap wajah Daiki saat tidur merupakan kegemaran Ruri.

Merasa sudah pagi, Ruri bergerak pelan hendak turun dari ranjang. Dia meraih underwearnya yang berserakan di bawah ranjang ketika pinggangnya dipeluk sepasang lengan hangat.

"Daiki!" Ruri terkejut dan nyaris tersungkur dari ranjang.

"Mau...kemana..?"tanya Daiki serak masih dengan mata terpejam.

Ruri menoleh dan mendorong lembut tubuh Daiki. "Aku harus segera bangun. Aku ingin membuat sarapan untuk Oji-san lagipula aku tidak nyaman keluar dari kamarmu seperti ini."

Daiki menelentangkan tubuhnya dan tetap memejamkan matanya ketika menjawab kalimat Ruri. "Orang tua itu sudah tahu hubungan kita."

Ruri yang sedang memakai celana dalam dan bra menoleh Daiki dengan kaget. "Apa!"

Daiki menggerakkan jari telunjuknya sambil memeluk guling membelakangi Ruri. "Dia manusia tua yang lebih dulu hidup dari kita."

Wajah Ruri berubah merah membayangkan Takao mengetahui bahwa dia tidur bersama Daiki. Cepat dia mengenakan kaosnya dan celana pendek. Sambil mengikat rambutnya, Ruri berkata pada Daiki.

"Sehabis mandi nanti aku akan pergi ke pasar. Aku ingin belanja kekurangan bahan untuk lampuku." Tapi yang menyambutnya hanyalah dengkuran halus pria itu. Ruri maklum Daiki membutuhkan waktu tidur yang cukup di Koto karena ketika mereka kembali ke Tokyo, tugas pria itu sudah menanti.

Maka dengan pelan Ruri keluar dari kamar Daiki dan melangkah tanpa suara menyusuri lorong. Dia menuruni tangga dan mendengar suara-suara di dapur. Ruri mempercepat langkahnya dan mendapati Takao sedang memasak omellet untuk sarapan.

Ruri segera mendekati pria tua itu dan mengambil alih tugas. "Biar aku saja, Oji-san." Ruri tersenyum pada Takao yang menurut saja dan memilih mengeluarkan beberapa mangkuk dan piring. Ruri melirik bahan-bahan di atas meja dapur. "Kau ingin membuat sup jamur ya?"

Takao yang sedang mengatur mangkuk menjawab Ruri dengan nada ringan. "Apa tidurmu nyenyak?" Ada senyum tertahan di sana membuat Ruri yang sedang membalik omellet tersedak.

Dia menjawab tanpa menoleh Takao. Dia yakin pasti wajahnya sudah seperti udang rebus. "Tentu saja, Oji-san." Ruri meletakkan omellet yang sudah jadi di atas piring lebar yang disiapkan Takao.

Takao menatap punggung tegang anak asuhnya itu dengan senyum terkulum. "Aish...kau masih saja memanggilku Oji-san, Ruri-chan," Takao mengeluh seraya duduk di kursi makan.

Ruri yang sedang memasukkan semua bahan sup jamur ke dalam panci mau tak mau menoleh Takao. "Maksudnya..." Ruri tergagap.

Takao tersenyum penuh sayang. Dia tidak pernah menyangka bahwa dia dan Sakura berhasil membesarkan Ruri yang bahkan bukan anak kandungnya. Anak perempuan yang dulunya selalu mengurung dirinya di dalam dunianya sendiri kini menjelma menjadi kupu-kupu yang kuat dan cantik. Anak perempuan yang dulunya selalu memegang tangannya selain Daiki kini mampu berdiri tegak dengan kekuatannya sendiri.

"Seharusnya kau memanggilku Shuuto* dan kali ini sepertinya tugas mengantarmu ke altar mesti digantikan Hideo saja karena aku mesti mendampingi Daiki."

Wajah Ruri bersemu merah dadu. Dia nyaris terduduk di lantai jika tidak segera memegang tepian meja dapur. "Oji-san..aku...aku...maaf!" Ruri berlari ke depan Takao dan membungkuk meminta maaf berkali-kali. "Aku sungguh tidak sopan.."

Takao tertawa dan menyentuh puncak kepala Ruri yang tertunduk. "Ruri, mengapa meminta maaf. Hal inilah yang selama ini kuharapkan bersama Sakura. Itulah sebabnya Sakura bersikeras tidak ingin mengangkatmu sebagai anak. Dia selalu mengharapkan kelak kau bersama Daiki."

Ruri melongo mendengar penjelasan Takao. Matanya berlinang dan dia terisak. Selama ini dia merasa sangat sedih Sakura tidak ingin mengangkatnya anak melainkan sebagai anak asuh/wali. Kini dia baru tahu alasan wanita tua itu.

"Selama ini aku mengira Oba-san tidak menginginkanku makanya dia menolak keras untuk mengangkatku sebagai anaknya."

Takao menepuk pelan kepala Ruri. "Anak bodoh! Jika kau menjadi anak angkat kami bagaimana bisa kau dan Daiki menikah. Sakura baru mengatakan alasannya di saat-saat terakhirnya.

Ruri terisak dan memeluk pria itu dengan hangat. "Arigatou...Otou-san." Ruri tersenyum disela airmatanya. "Aku boleh memanggilmu Otou-san sebelum mengubahnya menjadi Shutoo bukan? Aku dan Daiki belum menikah."

Takao tertawa dan setelah itu mereka sarapan bersama. Ruri meninggalkan beberapa makanan untuk Daiki sebelum dia pergi ke pusat kota untuk berbelanja.

****

Sebuah mobil sedan hitam tampak terparkir tak jauh dari beberapa rumah dari rumah Takao. Tampak kaca seluruh jendela mobil itu gelap namun orang bisa melihat dua orang pria duduk di dalam mobil itu dengan dilindungi kacamata hitam.

Kedua pria itu terlihat sangat tampan dengan setelah serba hitamnya. Salah satu yang tampak lebih muda mencengkram setir tampak tak lepas menatap rumah Takao. Sementara pria yang satunya lagi bersandar sambil mengunyah permen karet.

"Apa kau yakin bahwa memang itu rumah Detektif Takao Watanabe?" Junichi menoleh Mamoru yang terlihat diam saja dari tadi.

Mamoru menoleh dan menjawab cepat. "Iya. Inilah posisi terakhir pelacak itu berada sebelum keadaannya hilang begitu saja."

Junichi mengelus dagunya. Pikiran untuk mendatkan anak Kenji Fujita terlintas begitu saja sebelum didahului oleh Sayuri. Entah mengapa Junichi mencurigai gerak gerik Sayuri sejak menginjakkan kaki di Tokyo. Dia tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Seseorang di London telah melaporkan bahwa Kenji telah menyerah prihal Bank Asing Saitama. Junichi tertawa puas dan berencana akan mengubah Bank itu menjadi markas di Tokyo. Dia ingin membangun kembali kegagahan kelompok mafia yang dibentuk oleh ayahnya. Kepala kepolisian sudah digenggamannya dan hal itu akan memudahkannya menyalurkan semua bisnis gelapnya.

Tengah Junichi berpikir tentang rencananya, Mamoru memasukkan perseneling dan mulai menjalankan mobilnya perlahan. Junichi menegakkan punggungnya.

"Ada sesuatu?"tanya Junichi.

Mamoru menunjuk sebuah taksi di depan mobil mereka. Tampak taksi itu berjalan lambat. "Ruri-sama memasuki taksi tersebut."

Junichi terdengar menahan tawanya. "Sama? Kau memanggilnya begitu formal?" sindirnya.

Mamoru tersenyum tipis. "Aku adalah karyawannya di luar dari semua ini."

Junichi menatap luar jendela sambil meletakkan sikunya di sisi jendela. Tanpa memandang Mamoru, dia bergumam seakan untuk dirinya sendiri namun cukup jelas tersampaikan ke telinga pria muda itu.

"Apa tujuan Sayuri mendatangi toko wanita itu? Dan apa yang dilakukan Sayuri selama berjam-jam yang tidak bisa kuhubungi?"

Mamoru mengetatkan pegangan pada setirnya dan bersikap acuh tidak acuh atas gumaman Junichi. Dia tetap fokus pada taksi di depannya meskipun hatinya berdebar keras.

Ruri yang sama sekali tidak menyadari dirinya diikuti oleh dua pria itu, turun dari taksi di dekat Stasiun Subway Koto di mana terletak pusat perbelanjaan di kota itu. Dia berjalan di tiap blok tanpa punya keinginan menuju mall terbesar di kota itu.

Melihat Ruri berjalan santai, Junichi membuka pintu mobil dan tersenyum pada Mamoru. "Lebih baik tunggu disini. Dia akan mengenalimu jika kau bersamaku." Tanpa menunggu jawaban Mamoru, Junichi sudah keluar dari mobil dengan kacamata hitam tetap terpakai. Dia berjalan tenang di antara keramaian menuju Ruri.

Mamoru menghembuskan napasnya dan bersandar di sandaran kursi mobilnya. Dia menatap punggung tegap Junichi yang semakin menjauh untuk mendekati Ruri. Dia berusaha menyelami isi hati Junichi untuk mendapatkan Ruri sebagai aksi balas dendam pria itu atas perbuatan ayah wanita itu. Namun sampai hari ini, Mamoru tidak menemukan alasan yang tepat. Jika Junichi membenci Kenji hingga ke sum-sum tulangnya, mengapa Ruri harus ikut menanggungnya?

Tapi terlepas dari semua pertanyaan itu, Mamoru secara otomatis menutup mata dan telinganya. Dia sudah terikat pada Junichi. Bagi dirinya lebih baik dia membuang pikiran jernihnya dan melakukan apa yang seharusnya dia lakukan.

Saat di mana Ruri sama sekali tidak tahu bahwa bahaya terbesar dalam hidupnya berada demikian dekat dengan dirinya, Daiki justru baru terbangun dari tidurnya dan sehabis mandi langsung turun ke bawah. Masih hanya dengan celana jeans dan bertelanjang dada, dia menemukan keadaan rumah yang sepi. Dia melihat melalui jendela ruang televisi di mana ayahnya sedang berada di kebun belakang rumah.

Daiki memasuki dapur dan tidak menemukan Ruri di sana melainkan tulisannya di atas selembar kertas di bawah mangkuk sup jamur. Daiki menarik kertas itu dengan cepat dan membacanya. Setelah membaca tulisan itu dia melempar kertas itu dan berlari menuju kebun.

"Otou-san! Di mana Ruri?" Daiki bertanya dengan jantung memburu. Dia mulai bimbang akibat penemuan alat pelacak di dompet Ruri semalam. Dalam hati Daiki mengumpat dirinya sendiri. Seharusnya saat itu juga aku memberitahunya tentang benda sialan itu!

Takao menaikkan ujung topi kebunnya dan memandang anaknya yang begitu terburu-buru. Dia tertawa seraya berdiri. "Aish, Daiki. Ruri baru saja meninggalkanmu seperti ini kau sudah demikian resah."

"Otou-san! Bukan begitu...aku harus tahu Ruri pergi ke mana?" Melihat ayahnya hendak menggodanya lagi, Daiki cepat berkata. "Aku menemukan alat pelacak di dasar dompetnya! Siapa pun yang meletakkan benda itu di sana bermaksud untuk mengetahui keberadaan Ruri."

SenyumTakao lenyap. Ingatan akan tebing di pulau Odaiba serta lautannya yang hampir menewaskan Ruri dan Daiki berkelebat di benaknya. "Mengapa kau tidak segera memberi tahuku atau Ruri!" tegur Takao keras.

"Maafkan aku. Semalam aku benar-benar sangat lelah." Daiki menyentuh lengan ayahnya. "Ruri pasti memberitahumukan ke mana dia hendak pergi?"

Takao mengusap wajahnya. "Dia berkata akan ke pusat belanja di pusat kota. Mencari aksesoris untuk keperluan lampunya..."

Daiki segera membalikkan tubuhnya dan berlari memasuki rumah. Dengan sembarangan dia meraih jaketnya dan menutupnya begitu saja. Dia tidak memikirkan dada telanjangnya yang tersembunyi di balik jaket kulit dan mengambil kunci mobil yang bergantung di tiang kayu di dekat televisi.

Seperti kesetanan, Daiki mengeluarkan mobil dan mengebut keluar dari pekarangan rumah. Takao menatap Daiki yang pergi dengan cepat membuatnya terduduk di tanah berumput. Dia memejamkan matanya. "Semoga tidak terjadi apa pun."

Ruri sedang memilih rumput palsu ketika sebuah suara menegurnya dengan ramah. "Harga di setiap kios sangat murah dibanding berbelanja di Shibuya atau Harajuku."

Ruri menoleh kiri kanan dan hanya mendapati dirinya saja yang berada di kios itu sementara sang penjaga kios sedang mengumpulkan barang-barang dagangannya dari sebuah pick up di belakang kios. Ruri mengangkat matanya dan melihat seorang pria bertubuh tinggi dan atletis berdiri di sebelahnya. Pria itu sedang memegang sebuah bola kecil berwarna-warni dari bahan kaca.

Ruri melihat pria itu membuka kacamata hitamnya dan menatapnya lekat melalui sepasang mata tajam di naungi alis tebal dan hitam. Wajahnya tampan dengan rambut yang tersisir rapi ke belakang. Ada senyum ramah di bibir yang berlekuk itu. Ruri bisa melihat dada yang bagus bentuknya tercetak jelas dibalik kemeja gelap pas badan itu.

Junichi menatap Ruri dengan penuh perhatian dan sedikit tergetar melihat wajah cantik itu hampir menyerupai tunangannya, Sayuri. Tapi ada sedikit perbedaan yang terletak di mata mereka. Jika pancaran mata Sayuri terlihat dingin dan datar ada pun wanita yang berdiri di depannya ini memiliki pancaran mata yang berbinar dan penuh sensualitas alami. Junichi seakan melihat kembali wanita yang terbunuh di depan matanya 19 tahun lalu. Wanita ini memiliki raut wajah serupa.

Dengan menggantungkan tangkai kacamatanya di saku kemejanya, Junichi membungkuk sedikit agar dapat menatap wajah Ruri lebih jelas. "Sepertinya anda menyukai aksesoris?" Tatapan mata Junichi jatuh pada isi kantong belanjaan Ruri yang penuh dengan aksesoris untuk lampu. Bahkan dia juga melihat ada beberapa lampu warna warni di sana.

Ruri melihat tatapan pria itu dan tersenyum. "Oh iya...ini untuk keperluan pekerjaanku."

"Dengan lampu-lampu itu?" tunjuk Junichi dengan lagak heran.

Ruri mengangguk pendek. "Ya. Aku seorang designer lampu."

Kembali senyum Junichi mengembang dan dia mengulurkan tangannya. "Junichi. Junichi Kimura."

Ruri sedikit ragu untuk menyambut uluran tangan itu namun sikap Junichi begitu bersahabat dan sopan. Ruri menyambut uluran itu dan menjabat tangan itu. "Ruri. Anda bisa memanggilku Ruri. Ya..Ruri saja." Dalam rasa kagumnya melihat kesopanan pria asing di depannya itu, Ruri masih ingat untuk tidak menyebut nama marganya.

Sekilas sinar mata Junichi berkilat. Dia menjabat tangan halus itu dan berkata halus. "Senang berkenalan dengan anda. Kapan-kapan bisa saya mengunjungi tempat anda mendesign lampu?"

Ruri segera melepas jabatannya dan menjawab anteng. "Anda bisa mengunjunginya di Shibuya."

****

Daiki memarkir mobilnya di antara mobil-mobil lainnya di lapangan parkir di dekat stasiun busway Koto. Mobilnya terparkir tepat di seberang mobil milik Junichi yang terdapat Mamoru didalamnya. Karena Mamoru menunggu sambil menatap lalu lalang, matanya langsung terfokus pada sebuah audy hitam yang terparkir kasar tepat di seberangnya. Perhatiannya semakin besar ketika dia melihat pengemudi yang keluar dari audy itu dengan terburu-buru.

Mamoru melepas kacamatanya ketika dia mengenali sosok pria berjaket hitam dengan rambut cokelat berantakan itu. Itu adalah pria yang seharian bersama Ruri di apartement dan juga yang datang ke toko. Pria detektif kepolisian, putra dari Detektif Senior Takao Watanabe. Apa yang dilakukannya di sini dengan berlari seperti itu menuju pusat belanja?

Otak Mamoru yang sama jeniusnya itu langsung menduga bahwa pria itu menyusul Ruri di area belanja. Dengan sigap Mamoru membuka pintu mobil dan berlari mengikuti Daiki yang ternyata memang menuju area kios-kios penjual di pusat pembelanjaan itu.

Daiki menyeruak di antara para pengunjung berusaha mencari keberadaan Ruri. Entah mengapa jantungnya berdebar kencang. Lewat matanya yang awas, Daiki bisa melihat dari kejauhan sosok Ruri yang berjalan santai bersama seorang pria. Wanita itu terlihat bercakap-cakap dan tertawa pada pria bertubuh jangkung itu.

"Ruri!" Suara Daiki menembus kerumunan dan menghentikan langkah Ruri.

Daiki menghentikan laju larinya tepat Mamoru juga berhenti di samping Junichi.

Ruri tertawa melihat Daiki yang terlihat mengatur napasnya. Dia mendekati pria itu dan menyentuh lengan Daiki. Tapi tatapan Daiki jatuh pada sosok pria jangkung dan pria yang berdiri di samping pria itu. Alis Daiki berkerut ketika dia mengenali wajah pria yang berdiri di samping pria jangkung itu.

"Bukankah anda Mamoru? Kebetulan sekali kita bertemu," senyum Daiki seraya melirik Junichi yang terlihat mengeraskan rahangnya.

Ruri terlihat terkejut saat melihat Mamoru berada di sana dan berdiri di samping pria yang baru saja dikenalinya. "Mamoru?" Tatapan Ruri bergantian menatap Junichi dan Mamoru.

Junichi berdehem dan tersenyum pada Ruri dan Daiki. "Anda kenal dengan adikku ini, Nona?"

Ruri membelalakkan matanya seraya menatap Mamoru. "Aku tidak tahu jika kau memiliki saudara. Apakah dia yang kemarin kau jemput di Narita?" Dengan polosnya Ruri bertanya pada Mamoru membuat air wajah Mamoru berubah.

Tatapan tajam Junichi dan Daiki tertuju pada Mamoru meski pun kedua tatapan itu memiliki arti yang berbeda. Sudah tidak bisa lagi mengelak, Mamoru tertawa. "Ya, Ruri-sama."

Khawatir tujuan mereka muncul di Koto akan ketahuan, Junichi menarik bahu Mamoru. "Baiklah. Aku dan adikku ini akan melanjutkan perjalanan kami menjelajahi Koto. Senang berkenalan denganmu Nona. Aku akan menyempatkan waktuku untuk mengunjungi tokomu di Shibuya." Junichi tersenyum pada Daiki dan mengajak Mamoru berlalu.

Ketika Junichi menarik bahu Mamoru secara kebetulan Daiki melihat sebuah cahaya berkilau tertimpa sinar matahari yang berasal dari pergelangan tangan Mamoru ketika ke dua pria itu melewatinya.

Secara otomatis tatapan Daiki tertuju pada asal cahaya berkilau itu. Dia terpaku di tempatnya ketika secara samar dia melihat sebuah gelang berukir berlapis emas putih menerpa penglihatannya. Gelang yang sialannya sangat mirip dengan White Guardian Brecelet.

Daiki memutar tubuhnya untuk melihat perginya kedua pria itu. Tatapannya tak lepas dari keduanya meskipun kini telah tenggelam oleh kerumunan para pejalan kaki.

Ruri yang masih heran dengan kemunculan Daiki serta Mamoru saat itu akhirnya menyentuh lengan jaket Daiki.

"Daiki?"

Next chapter