2 Chapter 1

Hana terdiam memandangi foto Loey di layar ponsel. Angin dingin masuk dari jendela yang sedikit terbuka. Entah yang ke berapa kali, Hana menghela napas sembari menggulirkan jarinya di layar ponsel. Wajah Loey tidak kunjung meninggalkan kepalanya. Lelaki dengan senyum termanis yang pernah Hana lihat terpatri di dalam benak. Hana memusatkan perhatian pada foto lain yang dilihatnya di Story-Gram untuk menghilangkan pikiran itu, tapi ternyata itu tidak mudah. Akhirnya, Hana kembali memikirkan wajah dan suara serak Loey yang familier.

"Apa Loey menyukai laki-laki? Yah, walau Loey menyukai perempuan, kesempatan pasti tidak akan mendatangiku."

Bagi Hana yang hanya seorang asisten desainer baru, Loey seakan hidup di dunia lain. Jika ada yang ia pelajari selama berada di Korea Selatan, pernikahan dilakukan oleh orang-orang yang satu level. Level atas dengan level atas, level rendah dengan level rendah. Bagi orang-orang Korea, Loey berada di level yang sangat spesial. Tempat yang tidak akan bisa dilihat dari kejauhan walau Hana mendongak sebisa mungkin untuk mencoba melihat.

"Apa mungkin Loey sudah berkencan? Dengan siapa ya kira-kira?" Hana menggeleng-geleng untuk mengusir pikiran tentang Loey. Namun, sekeras apa pun ia menggeleng, Loey tidak kunjung menghilang. Lelaki yang amat memesona, sampai membuat Hana kesal.

Mungkin ini perasaan yang sama seperti penggemar lainnya. Hasrat dan debaran terhadap seorang idola favorit. Benar. Meski ia pergi ke Korea Selatan dan bekerja di sini pun, kesempatan untuk dekat dengan Loey tidak pernah ada. Bahkan Hana gagal mendapatkan tiket VIP di konser E-X beberapa bulan lalu karena atasannya yang cerewet.

Hana menjatuhkan dirinya di tempat tidur. Hari baru dimulai, tapi ia sudah merasa lelah. Ia menyipit ketika cahaya lampu menyorot mata. Ketika melihat lampu downlight yang menyala, ia kembali teringat pada Loey dan E-X. Mereka sama seperti lampu ini. Begitu terang dan menyilaukan di tengah kamar. Hana berguling ke kanan. Pandangannya tertuju pada poster boygroup E-X di dinding putih apartemen. Hana mengulurkan tangan, seakan-akan mencoba meraih sembilan lelaki yang berdiri berjajar.

"Kalian terlalu jauh untukku …." Hana bergumam lagi.

"Berhentilah bertingkah seperti orang gila, Hana." Perempuan berambut panjang muncul dari dapur. Ia berjalan ke meja di pojok ruangan sambil membawa kopi panas lalu menyalakan laptop.

"Berkhayal sebelum pergi bekerja itu perlu tahu. Kau tidak tahu sebesar apa efeknya kan?"

"Dasar. Padahal peluangmu untuk bertemu mereka semakin besar, lho."

Hana menarik napas panjang. "Apanya? Ahjumma itu selalu membebaniku dengan pekerjaan. 'Hana, tolong antarkan pakaian itu ke toko A', atau sejenisnya. Benar-benar menyebalkan."

"Bersabarlah." Yoon tersenyum sambil menahan tawa melihat permainan ekspresi Hana yang lucu. "Suatu saat kau pasti bertemu langsung dengan mereka."

"Kuharap hari itu segera datang."

"Ngomong-ngomong, kau tidak berangkat?"

"Um, tentu saja aku harus berangkat. Walau tidak mau pun, aku harus berangkat." Hana merenggangkan tubuh sebelum bangkit.

Yoon benar. Sebentar lagi ia harus berangkat bekerja atau Nona Jung akan memarahinya habis-habisan jika terlambat. Ia telah susah payah mendapatkan pekerjaan ini. Bahkan harus menjatuhkan harga dirinya dan menjadi pesuruh selama beberapa bulan. Ah, tepatnya, ia tetap menjadi pesuruh tersamarkan hingga sekarang. Baginya yang dulu hidup di negara santai dengan tingkat tekanan pekerjaan lebih rendah dari Korea, bekerja di tempat ini seperti neraka. Dengan gerakan malas, Hana bangun lalu menyambar mantel yang tergantung di samping tempat tidur.

"Hwaiting!" Yoon berseru sambil mengepalkan tangan.

Yoon telah menjadi lebih dari teman dekat bagi Hana. Empat tahun lalu, Hana berhasil berangkat ke Korea Selatan setelah merengek pada ibunya. Ia seperti orang kebingungan yang tidak tahu kejamnya kehidupan Seoul. Namun, beruntunglah Hana karena bertemu dengan Yoon. Ia menyelamatkan Yoon yang hampir dilecehkan saat mabuk berat di jalan raya.

Berkat tindakannya itu, Hana mulai dekat dengan Yoon. Bahkan sahabat pertamanya itu membantunya banyak hal dari awal. Jika tanpa Yoon, mungkin ia tetap perempuan cengeng yang tidak bisa apa-apa. Yoon rela berbagi apartemen mewah pemberian ayahnya. Awalnya apartemen seluas 50 pyeong itu terlihat berantakan, padahal isinya hanya sofa di ruang tamu yang cukup luas, dapur yang hanya diisi kulkas, dan tempat tidur kecil. Namun, sejak kedatangan Hana, apartemen itu menjadi ramai dengan segala poster E-X maupun personil favorit Hana. Merchandise kecil-kecilan mulai menghiasi nakas dan meja kecil yang dibeli Hana. Gara-gara itu juga, Yoon mulai menyukai musik negaranya sendiri.

"Nanti malam mereka live, lho."

"Tampil terakhir?" Hana menebak.

"Yap. Kau tidak akan melewatkannya kan?"

"Tentu saja!" Hana berseru semangat. "Mana mungkin melewatkan live yang berharga."

Sayangnya, dering ponsel Hana membuyarkan ekspetasinya. Ia bergegas meraih ponsel di atas tempat tidur, lalu membaca pesan singkat yang dikirim atasannya.

"Aku harus pergi," ujar Hana. "Aku tidak ingin ahjumma itu mengomel dan membuat kepalaku sakit."

Sudah empat tahun, tapi Hana masih merasa aneh tiap melihat cahaya pagi di Seoul. Tidak seperti di tempat tinggalnya, Seoul sangat padat. Gedung-gedung tinggi dan lautan manusia telah menjadi sarapan setiap pagi tanpa memandang usia. Mereka hanya dibedakan oleh status dan jabatan. Ia menarik napas, lalu menuruni tangga menuju lantai dasar.

Beruntunglah Hana karena mendapatkan tempat tinggal di dekat stasiun. Lautan manusia sudah memenuhi kereta pagi menuju Gangnam. Saking sesaknya, Hana harus mendongak agar bisa bernapas. Saat turun di Statsiun Gangnam, jam sudah menunjukkan pukul 07.50 pagi. Setidaknya, ia punya waktu empat puluh menit sebelum jam masuk kerja.

Saat menerobos lautan manusia yang dimuntahkan kereta, tubuh Hana terdorong maju. Ia berusaha mempertahankan keseimbangan, tapi gagal. Hampir saja ia menjadi pijakan manusia andaikan seorang lelaki tidak meraih lengannya. Sebelum Hana sempat mengucap sepatah kata, lelaki itu menariknya menjauh.

Hana berusaha mengatur napasnya yang terengah-engah, begitu pula dengan sosok penyelamatnya. Ia menoleh ke samping, tempat lautan manusia itu masih berlanjut. Benar-benar mengerikan.

"Kau tidak apa-apa?" Suara serak lelaki itu menyapa telinga.

Perbedaan tinggi mereka yang cukup jauh membuat Hana mendongak. Lelaki itu memakai topi dan masker, sehingga Hana tidak bisa melihat wajah. Tapi, tatapan lembut dari mata bulat itu membuat Hana yakin lelaki ini bukan orang jahat. Segera, Hana membungkuk.

"Iya, tidak apa-apa. Terima kasih."

Mata lelaki itu menyipit, seperti sedang tersenyum. "Kalau begitu, aku pergi dulu. Jaga dirimu baik-baik, banyak orang mesum di stasiun."

Tanpa mengucapkan apa-apa, lelaki itu berlalu meninggalkan Hana yang membeku di tempat. Kenapa rasanya Hana familier dengan sosok itu? Apakah mereka pernah bertemu sebelumnya?

Hana menggeleng lalu menepuk wajah dengan kedua tangan. Ia benar-benar bodoh. Harusnya ia membalas kebaikannya atau sekadar menanyakan nama orang itu.

avataravatar
Next chapter