webnovel

CH.6 Lebih Lagi

Hancurnya hidupku ini. Beberapa orang, tidak, semua orang biasanya menemukan tujuan hidupnya ketika mulai beranjak jadi remaja atau dewasa.

Namun sebelum itu orang biasanya akan menemukan jati dirinya dengan bantuan orang tua sebagai perantara dan batasan secara alami.

Ya, seharusnya begitu. Hanya saja aku malah tidak bisa mencapai titik itu karena syarat yang tidak terpenuhi. Sial sekali bukan?

Lebih lagi, aku bisa mencukupi hidupku sampai berpuluh-puluh tahun ke depan dengan jumlah kekayaan yang kumiliki sekarang ini.

Ya aku tidak tahu kenapa aku masih bisa bertahan sampai sejauh ini, tetapi aku sudah cukup berusaha memenuhi tujuan semu… yang sudah terpecahkan beberapa waktu lalu.

Dan lihat aku sekarang… tanpa tujuan yang jelas aku masih bertahan untuk beberapa saat, tetapi aku serasa diikat oleh rantai bernama kenyataan.

"Lihat saja betapa menyedihkan diriku ini. Kalian pun tahu, hidup tanpa tujuan berarti kematian bukan?"

"Sejujurnya bukan hanya dirimu, tetapi aku juga terfokus oleh pencarian orang tua kita. Sekarang jadi tak tersisa apa pun bagi kita untuk ditangani lagi."

"Jurai… ya… benar, memang sekarang aku membayangkan diriku sedang disekap oleh kabut hitam kelam, lalu menyadari bahwa aku tidak bisa melarikan diri."

Hitam legam adalah warna yang menjelaskan kondisi hati kami ini. Sepercik cahaya pun tak akan bisa kau temukan di dalam diri kami.

Seolah-olah nyawa kami direnggut dari dalam daging dan dirobek-robek sampai tak bersisa apa pun untuk diperbaiki.

Aish… sudahlah, berpikir terlalu dalam seperti ini malah aneh, tidak seperti diriku saja lama-lama. Normalnya aku pasti sudah lupakan dan biarkan berlalu saja.

Ya, benar… biarkan semuanya berlalu agar aku bisa melakukan hal lain lagi. Siapa tahu dalam keseharianku yang… cukup membosankan aku bisa menemukan tujuan baru.

Tidak ada yang pernah menebak sesuatu bukan? Lagipula walau aku tidak suka konsep takdir itu akan tetap ada bagaimana pun caranya, tak bisa diubah sekehendak hati.

"Aku sebenarnya juga tidak menginginkan semua ini terjadi. Namun apa pun yang terjadi sudah tidak bisa diubah lagi bukan? Kita hanya bisa terus maju dan menjalani hidup kita."

"Right… kelihatannya memang tidak ada pilihan yang tersisa untuk kita selain begitu."

Kenangan yang tidak pernah ada tidak akan kulupakan. Walau aku dipisahkan sejak lahir dari mama, ikatan batin kita tidak akan pernah terputus.

Mungkin saja, mungkin, suatu saat nanti aku bisa bertemu dengan mama lagi, entah di mana. Hanya itu yang bisa kuharapkan, tiada yang lain.

Mending aku meninggalkan tempat ini dulu. Semakin lama aku berada di dekat kuburan mama, maka aku akan makin terikat dan tidak bisa melepaskan.

Sejenak saja kubiarkan ini berlalu, tetapi memori ini akan selalu ada di hati. Sampai kapan pun masanya, sepercik hal ini akan tetap kuingat dalam kenangan.

"Mari kita kembali ke sekolah. Walau kita memang tidak harus mengikuti pelajaran, tetapi setidaknya tak perlu kita membuat yang lain khawatir."

"Benar… seharusnya kita pergi sendiri-sendiri. Tapi, maukah kalian ikut denganku? Setidaknya asistenku bisa mengantarkan kita kembali."

"Tidak ada alasan untuk kami menolak, jadi, baiklah."

Tadi aku pun juga datang ke sini karena berangkat bersama Shin juga Jurai dengan mobil milik Shin. Jaraknya antara mansion Shin dan sekolah tidak jauh, tetapi cukup melelahkan kalau berjalan kaki menuju sekolah.

Berangkat bersama, pulang juga bersama. Sebenarnya aku kembali ke sekolah pun tidak ada mood sama sekali karena sedang dalam kondisi berkabung.

Namun biarkanlah saja karena tidak ada orang yang mengetahui kondisi ini dan walau bukan teman sejati, aku tidak mau membiarkan mereka yang di sekitarku jadi galau karena diriku.

Untuk sekarang biarkan aku kembali ke kelas dan merenungkan beberapa hal. Siapa tahu aku mendapat pencerahan entah dari mana dan menemukan tujuan baru dalam hidupku.

"Sampai ketemu nanti atau kapan-kapan lagi. Aku duluan."

"Tentu, kabari aku saja kalau kalian ingin ke mansionku untuk mengunjungi kuburan."

Sekedar mengingatkan saja, kami bertiga di kelas yang berbeda-beda walau masih seumuran. Jadinya arah kami menuju kelas pun terpencar.

Selain itu, Shin juga harus mengurus beberapa hal mengenai asistennya dan mobil yang dibawanya. Jadi aku dan Jurai jalan duluan saja.

Seharusnya aku melapor dulu sebelum masuk karena terlambat, tetapi ada saatnya di mana semua orang tidak memedulikan aku, atau lebih tepatnya kami bertiga.

Kepala sekolah mengetahui hampir segalanya daripada kami bertiga. Namun guru-guru juga mengetahui walau tanpa alasan karena dipaksa kepala sekolah.

"Sin… masuklah, duduk saja."

"Terima kasih pak."

Tentu, karena aku datang baru saja walau matahari sudah mulai bersinar dari atas, teman sekelasku yang dalam notabene tidak tahu apa-apa mulai melihatku dan berbisik-bisik.

Bahkan Jeanne dan Chris pun juga diam melongo karena tidak tahu apa yang harus dikatakan kepada diriku. Yang pastinya, itu sudah kutebak.

Biarkan saja, toh aku tidak ingin diganggu dan tidak ingin mengurusi mereka. Yang aku inginkan sekarang hanyalah merenung sambil memikirkan tujuan hidupku yang baru.

Jujur saja secara nyata, orang bekerja untuk mencukupi kebutuhan dirinya, juga keluarganya. Namun sekarang, siapa yang bisa kuanggap keluarga selain anak-anak panti?

"Dari mana dia? Kok pak Keiji membiarkannya masuk begitu saja?"

"Aku dengar dari kelas sebelah, selain dia, orang yang dengan nama keluarga yang sama dengan dia Guirusia Jurai, juga donator sekolah juga tidak ada sejak pagi."

"Benarkah? Apa mereka bertiga pergi bersama?"

Walau aku duduk diam saja di sini, dan dibiarkan guru yang sedang mengajar, tetapi tentu murid kelas ini ribut karena kehadiranku yang tiba-tiba ada.

Siapa yang akan mengira bahwa aku akan muncul di tengah pelajaran yang bisa dikatakan sudah jam 11 siang? Tidak ada. Normalnya mereka akan berpikir aku sakit atau sebagainya.

Namun kemunculanku malah menolak semua alasan itu seolah aku mengingininya. Ya apa pun itu aku sudah tidak peduli, otakku sudah penuh dengan masalah mama.

Sekarang aku jadi berpikir, bagaimana aku mengontak orang bernama Blake itu lagi. Setidaknya aku ingin bertemu dengan kakak perempuanku dan menanyakan beberapa pertanyaan ekstra.

Baru saja aku masuk lima menit di kelas ini, nada dering familiar berasal dari ponselku memecahkan keributan kecil.

"Aku izin sebentar. Ya, halo?"

"Tuan, aku mendapati beberapa masalah. Barusan sistem pertahanan perusahaan dijebol dan beberapa data tercuri."

"Apa!? Bagaimana bisa!? Tunggu sebentar."

Mendengar kabar itu, aku langsung dengan panik menarik laptop dari loker kelas pribadiku. Setelah membuka laptop itu, langsung saja aku memeriksa apa yang tadi dilaporkan.

Benar saja… semenit yang lalu ada akun asing yang masuk dan mengambil data-data penting perusahaanku yang lagi bersifat sangat rahasia.

Setelah keluargaku direbut dariku, sekarang perusahaanku? Yang benar saja, tentu saja aku tidak akan membiarkan ini terjadi.

"Hiruga, bantu aku melacak hacker itu, serta apakah kau sudah memberi tahu Jurai?"

"Sudah tuan, katanya tuan Jurai akan segera ke perusahaan untuk mengecek kerusakan yang terjadi mengenal dia tidak mengetahui program yang tuan buat."

"Baguslah, setidaknya kita tidak melakukan dua hal yang sama dan menjadi sia-sia."

Hacker yang tidak dikenal ini berhasil menerobos sistem perusahaanku… yang terbilang hampir mustahil karena bahkan bahasa program yang kupakai adalah bahasa program yang kubuat.

Dalam kata lain, mustahil orang mengetahuinya karena aku tidak pernah mempublikasikannya. Entah bagaimana secara kebetulan orang ini berhasil menebak jalan masuknya.

Sekarang gantian aku balik melacak dirinya dengan jejak digital yang ditinggalkannya dalam bentuk logs data, IP address.

Sebuah alamat internet yang memungkinkan suatu browser mencari halaman pribadi pengguna internet atau peralatan elektronik lainnya.

Mungkin ini agak membutuhkan waktu karena hacker ini cukup cerdik dengan mengganti IP address setiap beberapa saat membuat keberadaannya disamarkan.

Namun tiada yang mustahil ketika kau berhadapan denganku sang jenius dalam hal perhitungan dan pemrograman.

"Dapat! Kena tidak kau. Hiruga, siapkan 'itu' untukku."

"Sudah disiapkan tuan, siap diluncurkan."

"Bagus, lemparkan itu ke dia."

Hal yang kumaksud adalah EMP dalam bentuk data kapsul yang kukirimkan lewat pemancar terdekat di wilayahnya.

Dengan itu data-data yang dicurinya akan hancur ketika menyentuh gelombang EMP itu. Oh ya kalau tidak tahu apa itu EMP, itu adalah Electronic Magnetic Pulse.

Dalam kata lain gelombang magnetik elektrik yang merusak segala perabotan elektrik dalam jangkauan. Itu untuk tingkat ekstrim, normalnya hanya mengacaukan.

Hanya saja karena aku tidak ingin datanya tercuri dan disalahgunakan, makanya kuhancurkan sekalian. Toh, aku selalu membuat cadangan data tersebut.

Semua itu disimpan dalam salah satu kreasiku yang berbentuk pendulum. Pendulum itu sebuah kalung, tetapi buatku agak kubuat simpel dalam bentuk jam. Namanya adalah Pentarundum.

"Data sudah dihancurkan tuan. Apakah saya perlu melancarkan penyergapan dan menginterogasi orang tersebut."

"Lakukan, kalau bisa dengan cepat sebelum orang itu kabur terlalu jauh."

Apes apes, sial sekali diriku. Baru saja aku menenangkan diriku dari kejadian beberapa waktu lalu di kuburan, sekarang harus menghadapi perusahaanku dijebol seseorang.

Setelah keluargaku direnggut dariku, sekarang apa yang tersisa padaku yaitu perusahaanku juga ingin dihancurkan? Sadis sekali dunia ini padaku.

Benci sekali aku harus menghadapi semuanya ini seolah hidupku itu sarang masalah dan tempat di mana semua yang buruk dibuang.

Tidak ada pilihan lain buatku untuk menghadapi semua ini, tetapi malahan pilihan ini dipaksa untuk aku harus mengambilnya.

Kejam bukan lagi kata yang pas bagiku untuk menjelaskan seluruh isi hidupku. Kalau ditanya apa, maka jawabannya adalah kegelapan.

"Hah… apa sih sebenarnya yang direbut dariku padahal hanya remah-remah yang tersisa?"

Heran aku tentang hidup ini. Namun aku terlebih heran kenapa ini terjadi hanya padaku. Seperti bisa dibilang, tidak ada orang selain diriku untuk harus menerima segala perlakuan ini.

Aish, aku malas memikirkannya lagi. Juga belakangan ini aku berpikir terlalu keras seperti bukan diriku sendiri. Padahal boleh dikatakan aku orang yang paling simpel.

Oh ya… benar juga. Bagaimana sekarang aku harus menghadapi reaksi tema—bukan, murid kelas ini yang mengetahui kebenaranku walau masih bingung?