Walau semuanya sebenarnya sudah diprediksi, tetapi kesedihan tetap saja menimpa dan menindas kami tanpa rasa ampun.
Rasanya seluruh kekuatan kami hilang saat itu, dan benar saja perasaan Jurai sama seperti saat mendengar mama mati.
Lagi-lagi sama denganku, dia bersyukur atas kematian papa yang sebenarnya tidak ingin kuingin anggap papa karena dosanya langsung mendatangkan balasan karma secara langsung.
Yang kusesalkan hanya satu, kenapa keluarga ini harus dipenuhi oleh noda darah sedangkan aku harus bertahan sendiri hanya dengan Jurai.
"Haih, kalau saja mayat mama masih ada. Namun mana mungkin mayat bisa bertahan selama delapan belas tahun?"
"Setidaknya, aku ingin membuat kuburan untuk mama sebagai kenangan, meskipun sekedar mayat atau abunya saja sudah tidak ada."
"Mendengar ucapan kalian begitu rasanya aku ingin melakukan hal yang sama. Dulu aku tidak memiliki keluarga lain, jadi tak ada yang menguburkan kedua orang tuaku."
Kesalahan apa yang dimiliki kami atau orang tua kami sampai kesialan sebegini menimpanya kepada kami bertiga?
Namun aku bersyukur atas satu hal, yaitu kami bertiga dikumpulkan bersama agar saling bisa topang-menopang satu sama lain berjalan menuju masa depan.
Rasanya kalau sudah begini aku jadi trauma dengan membentuk sebuah keluarga. Dengan noda darah di mana-mana, rasanya ada kematian tidak pantas lagi dalam keluarga selanjutnya.
Untuk sementara aku akan menahan diri, tetapi semoga saja aku bisa mengubah pemikiranku selama nafasku terus ada bersamaku.
"Kalau begitu kenapa kita tidak tempatkan mamaku dan Sin juga kedua orang tuamu berdekatan Shin? Siapa tahu mereka bisa jadi teman di alam baka."
"Bukan ide buruk sama sekali Jurai."
Jika semisal saja orang tua kami dikuburkan, penyesalan mereka setidaknya turun ke kubur jadi tidak ada lagi yang tertinggal.
Kubur untuk papa? Kalian bercanda denganku? Penghancur keluargaku dan masa lalu, sekarang bahkan masa depan tentu tidak punya hak untuk hal itu.
Jujur aku sudah sadar bahwa jalan ke depannya aku melangkah akan penuh jerih parah bahkan keringat darah, tetapi kurasa itu bahkan masih kurang.
"Kira-kira orang tua kita sedang apa ya di alam baka? Jujur, aku tidak ingin mereka melihat ke arah kita dan penuh mata rasa bersalah."
"Pemikiran kita selalu cocok, ini kenapa aku selalu menyatu dengan kalian. Sama, semisal saja papa dan mamaku merasa bersalah karena harus meninggalkanku sendirian, maka…."
"Sudah, tidak perlu dipikirkan apalagi dibayangkan. Kujamin kehidupan mereka akan tenang di sana walau di kehidupan yang lalu banyak menghadapi masalah."
Ujung-ujungnya sedikit banyak kami berbicara tentang masa lalu kami, mengulas apa yang dulu pernah kami bahas, tetapi sedikit lebih detail.
Walau dengan kemampuan kami bisa saja pergi keluar dari sekolah dan langsung mengurus penguburan orang tua kami, kurasa itu bisa dilakukan nanti.
Memang mengubur orang tua kami itu penting, tetapi setelah sekolah juga bisa. Kalau Shin sih tak masalah, tetapi buatku dan Jurai yang identitasnya masih tersembunyi, itu masalah.
Ah iya, sebelumnya aku mengatakan bahwa perusahaan Shin didanai oleh perusahaanku. Dan Shin mendonasi sekolah bernama Tensai ini juga panti asuhan.
Yang berarti sebenarnya pembangunan sekolah yang seharusnya sebatas normal bahkan di bawahnya menjadi cukup terkenal seperti ini, itu berkat diriku.
Mendonasi secara langsung? Oh tentu bisa, kenapa tidak? Namun aku juga Jurai, ah tidak, setidaknya aku bukan orang yang suka mencari perhatian, itu menjengkelkan.
Pikirkan saja, ketika dirimu ditatap banyak orang sekaligus, maka risih rasanya untuk tetap berada di situ. Betul kalau pasti aku disegani, tetapi itu hanya menjauhkanku dari teman-temanku.
Tunggu, apa sebenarnya aku pernah memedulikan teman-temanku? Jujur, sebenarnya apa tujuan hidupku setelah mengetahui keberadaan orang tuaku khususnya mama?
Sekarang aku menjadi merasa lost in the wild tanpa ada petunjuk ke arah mana. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan selain kehidupan datar yang sama sekali tak menyenangkan.
"Hoo Sin, tumben kau datang agak awal? Sedang kerasukan apa kau?"
"Enak saja kalau kau bicara Chris. Tadi aku ada keperluan di sekolah, jadi datang lebih awal. Bahkan aku sudah ada sejak 20 menit yang lalu kira-kira lah."
"Ooohh, benar-benar tumben. Apa kerjaan panti asuhan sudah selesai sampai bisa berangkat sepagi itu?"
"Pertanyaan aneh, tentu saja."
Emosiku telah mati. Ketika kau melihat diriku tersenyum atau tertawa, bahkan bahagia, pastikanlah itu topengku bukan diriku yang asli.
Aihh, gimana ini, kapan aku bisa mengubah diriku kalau nasibku selalu seburuk ini. Bahkan aku belum pernah bisa tertawa lepas.
Apa ya harus mati terlebih dahulu sebelum semuanya menjadi berubah untukku. Tidak ada hal positif lagi yang bisa kupikirkan.
"Ya sudah, yang penting kau aman. Namun kenapa raut mukamu gelap seperti itu? Apa ada yang terjadi?"
"Ah tidak ada kok, aku baik-baik saja."
"Yakin? Aku rasa ada yang terjadi barusan—"
"Guru sudah datang, jadi nanti saja oke?"
Masalahku kusimpan untuk diriku sendiri, tidak ada yang boleh masuk ranah pribadiku tanpa seizinku walau itu temanku.
Itu kenapa bahkan aku tidak pernah menganggap seorang teman benar-benar teman. Semuanya adalah rekayasa belaka.
Hidup nggak ada yang pernah benar. Namun aku tidak pernah menarik diri dari pertarungan, tidak ada kata menyerah.
Justru karena tidak ada yang benar, aku menantang diri untuk menghadapi masalah itu lalu menciptakan peluang yang baik.
Akhirnya hari itu aku tidak bisa fokus dengan apa yang diajarkan para guru. Namun seperti biasa, kekurangan itu dapat kututupi dengan belajar sendiri karena aku cukup pintar.
Aku tidak berani bilang jenius selagi memiliki dua teman jenius lainnya, tetapi aku 'cukup' saja karena kepintaranku sudah di atas rata-rata.
"Apakah kalian sudah memikirkan lokasi di mana yang tepat rasanya untuk menguburkan orang tua kita?"
"Belum kepikiran yang versi final, tapi aku punya pemikiran yaitu di bukit yang tidak jauh dari sini."
"Oh, bukannya itu tempat di mana salah satu rumahmu berada Shin?"
"Tepat sasaran, ada lahan luas sisa setelah mansionku, jadi bisa dipakai."
Boleh kukatakan itu bukan ide yang buruk sama sekali. Jujur aku tidak tahu bisa sering-sering berkunjung atau tidak, tetapi kalau ada di bawah Shin itu melegakan.
Memang tidak ada abu yang tersisa yang bisa dikuburkan, tetapi rasanya itu sebagai simbol sebuah perasaan yang terkait kepada mama dan tak akan kulupakan keberadaan mama.
Menyedihkan sekali ya… hidupku ini. Rasanya, seluruh nasib hidupku itu selalu sial. Beruntung? Itu hanya akal-akalan semata yang tak akan pernah terjadi.
Apanya CEO? Apanya pengubah teknologi dunia? Semua itu tidak ada nilainya di mataku. Bahkan orang lain kalau mau berusaha juga berani menantang diri, pasti bisa seperti diriku.
Namun hal yang tidak bisa dilupakan oleh siapa pun adalah kasih sayang orang tua. Sampai kapan pun, kau akan terus terikat oleh hal itu mau tidak mau.
Perlu diingat, kasih sayang ada berbagai macam bentuknya, bisa saja perhatian yang lembut, atau sebuah peringatan yang tegas.
Terkadang banyaknya peringatan tersebut dapat membuat seseorang menjadi lelah dan menanggap itu hanya sebuah amukan semata.
Tapi percayalah, itu tanda sebuah perhatian juga kasih sayang orang tua kepada anak tercintanya. Sungguh, aku mengingininya dalam hidupku.
"Tidak ada penolakan tentang hal itu, tapi apa tidak apa-apa wilayah mansionmu menjadi tempat peristirahatan orang tua kita?"
"Itu akan menjadi tanda selalu agar kita tidak lupa keberadaan mereka. Mungkin aku bisa merasakan kasih sayang mereka sedikit walau hanya empat tahun, tetapi itu tidak terjadi kepada kalian. Jadi rasanya sayang kalau tidak begitu."
"Melupakan mereka ya… kurasa memang masuk akal, bukankah begitu Sin?"
"… tentu, aku serahkan semuanya kepada kalian saja."
Lesu, rasanya tenaga seluruh badan ini dicuri dari padaku. Seperti rasanya separuh nyawaku melayang keluar dari padaku.
Apanya diriku bisa disebut tegar? Malahan hanya diriku yang pengecut dan lemah yang tidak bisa menerima situasi ini walau sudah memprediksinya.
Ketika pikiranku sudah sampai di masa depan, jiwa juga ragaku serta hatiku masih terkait dengan masa lalu kelam itu semua.
Tanpa kusadari, mereka melakukan itu dalam waktu dua hari dengan bantuanku yang nihil. Tak ada campur tanganku tentang penguburan orang tua kami, sesuai kata-kataku.
Aneh bisa kubilang, tetapi mereka bahkan tak mengomentari kalimatku juga memprotes kenapa mereka sendiri yang melakukannya tanpa diriku.
Dalam dua hari ini, fokusku selalu melayang entah ke mana rasanya. Bahkan orang terkadang harus menggerakkan bahuku baru aku bisa kembali sadar.
Sekarang, aku berdiri di hadapan batu nisan mamaku dan juga kedua orang tua Shin. Sesuai adat Jepang, aku menyatukan telapak tanganku dan berdoa untuk mereka.
"Sin…."
"Jurai, kita biarkan dia sendiri dulu."
"… baiklah."
Berapa lama aku berdiam diri di sini bahkan tak bergerak semilimeter pun? Rasanya dengan menutup mataku sambil berdoa begini, waktu yang berjalan terasa sangat lambat.
Mungkin kalian lupa menyadarinya, tetapi bahkan nama mama saja tidak aku dan yang lainnya ketahui. Jadi batu nisan ini hanya tertulis dalam bahasa Inggris, 'Dear Heavenly Mother'.
Lebih parah daripada nama, bahkan mukanya pun aku tidak tahu. Menyedihkan… betapa menyedihkan. This is sadness and sorrow, my grief.
A… ah… tujuan hidupku sudah tidak ada lagi, guna apa aku masih ada di sini, hidup dan bernafas, melanjutkan kehidupanku yang suram ini?
Dearest mother, why thy leave thee alone? Take thee with thou, so thee sootheth this sorrowness, and will be freeth.
"This is the end huh…? Is this a mirage, or I really see the end of my life line?"
"Hi… dup… lah…."
Seketika itu, suatu denyut nadi asing berdegup dan membuatku dapat mendengar sepatah kata yang mencerahkanku. Namun berbeda dari nadi itu, suara itu familiar di telingaku.
Suara yang samar-samar diterbangkan oleh angin kelepasan itu rasanya membelaiku begitu lembut sampai seluruh tubuhku bergetar begitu kencangnya.
Ya… tidak salah lagi, itu adalah suara mama yang memberiku kasih sayang juga semangat….
"UAAAAAAAAAAAAA!!!!! GOD YOU ARE CRUEL TO ME!!"