webnovel

"Pertemuan"

Setelah sebelumnya berpamitan pada orang tua dan Kakak Adam terutama Adam sendiri, Raka dan Alanna sekarang sudah kembali berada di ruang tengah rumah.

"Alanna," panggil Raka pada Alanna yang tengah sibuk berkutat dengan pena dan secarik kertas di bawahnya.

"Iya."

"Menurut lo, apa yang dibilang sama Adam itu fakta atau nggak?"

"Entahlah, ada dua kemungkinan. Dia keliru atau apa yang dia bilang apa adanya."

"Jadi menurut lo si Adam juga nggak bohong?"

Alanna menggeleng pelan.

"Lagi nulis apaan sih lo?" Tanya Raka dengan tatapan bingung karena Alanna tampak serius.

"Surat ucapan terakhir. Gue takut misi kita gak berjalan dengan baik, dan kalo gue mati, setidaknya gue udah ninggalin surat ini buat Bokap dan Nyokap gue."

"Mati? Emang lo udah siap kayak gitu?"

Alanna menggeleng, "Mau bagaimana lagi, gue salah satu target utamanya, sama kayak lo, jadi gue harus berpikir akan kemungkinan terburuk yang bisa aja terjadi sama gue."

"Lo tau bakalan ada hal apa yang terjadi setelah ini?"

"Udah gue bilang sebelumnya kalo sekarang itu alur baru, gue gak punya kemampuan liat masa depan, jadi gue gak tau apa hal yang akan terjadi setelah ini. Gue cuman bisa ingat hal yang udah terjadi, dan ini sama sekali gak pernah terjadi di waktu sebelumnya."

Sejujurnya Raka merasa sedikit iba, tapi tidak ia tunjukkan di balik wajah dengan ekspresi datarnya.

"Lo, berarti gak percaya sama omongan gue pas di rumah sakit tadi."

"Gue percaya! Gue percaya sama lo dan omongan lo, tapi -" Alanna tak kuasa menahan isak tangisnya sendiri. "Tapi lo hanya akan ada di rumah gue selama satu bulan sedangkan jarak kematian kita masih tersisa lima bulan lagi. Gimana gue harus tenang? Lo bahkan punya rencana buat balik ke rumah Papah lo, Ka."

"Maksud lo kalo gue gak ada di dekat lo, maka gue gak akan bisa menjaga lo juga gitu?"

"Iya! Emangnya lo pikir lo itu hantu yang bisa langsung nongol dan pergi kapan aja sesuai kemauan lo gitu? Gimana gue bisa yakin gue bakalan baik-baik aja kalo gue gak tau langkah apa yang harus gue ambil setelah lo gak ada di rumah ini lagi."

Raka terdiam, jadi apakah ia harus memperpanjang masa menginapnya di rumah itu? Atau mengurungkan niatnya untuk tidak tinggal di rumah Frederick sampai waktu kematian mereka terlewati?

"Cuman, gue juga gak akan egois dengan memaksa lo buat tinggal di rumah ini atau di rumah lo. Gue benar-benar pasrah sama takdir baru gue nanti. Semua keputusan ada di tangan lo."

"..."

"Tapi setidaknya gue merasa lega karena salah satu dari kita bisa hidup."

"Lo ngomong apasih? Gue gak ngerti sumpah."

Alanna mengusap air matanya dengan kasar. "Ya udah jangan ganggu gue! Gue mau lanjutin nulis ini dulu nyampe beres!"

Alih-alih menuruti ucapan cewek di hadapannya ini, Raka justru menarik secarik kertas itu dan merobeknya hingga menjadi potongan-potongan kecil.

"Raka! Gue kan -"

"Gue bilang gue gak akan biarin lo mati! Lo dengar omongan gue tadi gak?!"

Alanna terkejut saat mendapat bentakan Raka yang lebih parah dari bentakan sebelumnya.

"Gue akan pastiin lo tetap aman. Itu janji gue, kenapa susah banget buat lo percaya kalo perkataan gue bukan omong kosong?"

"Lo gak bisa ngejamin itu."

"Gue bisa."

"Dengan cara apa?"

Raka menghela nafasnya. "Apapun cara yang harus gue tempuh, bakal gue ambil, asalkan kita selamat."

"Lo, gak ada romantisnya! Asal gue selamat kek," umpat Alanna dengan mengerucutkan bibirnya.

"Oh, jadi lo senang kalo gue gak selamat?"

Hening.

"Ya nggak gitu juga! Lo benar, gue pengen kita berdua juga selamat dari tragedi itu."

~¤~

Interaksi mereka yang terakhir membuat Alanna dan Raka canggung satu sama lain. Terlebih Alanna, ia seperti enggan untuk berada di dekat Raka tanpa alasan.

"Gue selesai."

"Diem dulu disini."

Alanna menoleh dengan menaikkan sebelah alisnya. "Ada apa?"

"Ada yang mau gue omongin."

Akhirnya ia menurut dan kembali duduk berhadapan dengan Raka.

"Sebetulnya, semua kecemasan kita itu masih panjang. Mungkin Papah gue akan memberikan semua aset perusahaan dan bangunan serta hal lainnya setelah gue selesai kuliah."

"Terus?"

"Gue punya rencana buat nyembunyiin lo dari situasi gue sekarang. Terlebih ini alur baru yang lo sendiri pun gak tau gimana lanjutannya kan?"

Alanna terdiam beberapa saat. "Sembunyiin gue? Dimana? Bagaimana dengan kedua orang tua gue? Lo yakin mereka akan menyetujui rencana lo yang ini?"

"Kita akan menikah."

"Hah?! Lo gila?! Kita masih usia belasan! Usia gue masih enam belas dan lo tujuh belas tahun. Gimana ceritanya kita bisa menikah di usia ilegal?"

"Bisa. Semuanya gak ada yang gak bisa. Dan ini satu-satunya cara biar alur baru sekarang gak berimbas buruk untuk orang-orang di sekitar kita juga."

"Bukannya kita akan dikeluarkan dari sekolah juga kalo kayak gitu?"

"Semuanya bisa diatur, masalahnya, lo setuju gak?"

"G-gue setuju, tapi kan tetap aja emang semuanya bisa diurus?"

"Gue gak terlalu yakin soal ini, tapi saat gue pikir-pikir dengan matang, satu-satunya cara buat bikin lo tetap aman disekitar gue, artinya gue juga harus nikahin lo."

Alanna tidak menjawab, ia hanya menundukkan kepalanya.

Bi Ida yang sedari tadi mendengar obrolan absurd yang dibicarakan Raka dan Alanna hanya bisa kebingungan dan menebak-nebak walaupun hal itu tidak masuk akal.

"Siap-siap, nanti malam Papah ngundang kita buat makan malam di rumah."

"Jam?"

"Tujuh udah ada disana."

~¤~

"Raka, Alanna. Selamat datang, ayo duduk dulu."

Sambutan dari Frederick selalu membuat Alanna menjadi tidak enak hati, pria tersebut memperlakukannya sangat baik.

"Ada acara apa Papah mengundang kita untuk makan malam?"

Frederick tersenyum, selagi mereka menunggu semua menu makanan disajikan, rasanya sangat bagus untuk membicarakan hal ringan.

"Begini, karena cabang perusahaan di LA harus segera dijalankan. Maka Hans akan segera pergi kesana. Maksud Papah mengadakan acara makan malam bersama ini, karena mungkin saja kamu akan jadi jarang bisa bertemu dengan saudaramu."

Raka terdiam. "Mau bertemu atau gak bertemu, sama sekali bukan urusan Raka, dan Raka juga gak mau, Papah tau itu."

"Iya benar, tapi tetap saja Raka, hidup kalian berdua kini berdampingan. Kamu pasti memahami perkataan Papah dengan baik, bukan begitu?"

"Iya Raka mengerti. Ngomong-ngomong dimana Heln?"

Fredrick menunjuk ke arah dapur dimana tempat istrinya berada. "Dia sedang mempersiapkan semuanya untuk makan malam kita disini."

"Hans? Bukannya kita mengadakan acara makan malam sebagai bentuk pelepasan untuknya?"

"Ah, Hans sedang melakukannya lebih dulu di luar bersama teman-temannya, tapi dia akan datang tepat jika kita akan mulai makan malamnya. Dia sudah berjanji sama Papah."

"Ck. Seperti yang punya teman saja. Ben sudah menceritakan semuanya sama Raka. Jadi besar kemungkinan dia hanya beralasan," Raka menyunggingkan senyum sinis. "Lagi pula, asal Papah tau, Hans berencana buat membunuh Raka."

"Benarkah? Apa maksudmu Raka?"

"Raka rasa apa yang Raka katakan ini udah sangat jelas dan bisa Papah simpulkan. Hubungan kami gak pernah jadi baik-baik aja bahkan sejak saat pertemuan pertama."

Alanna tidak menyangka jika cowok di sebelahnya ini sampai berani untuk berterus terang meskipun Raka tidak melibatkan Alanna dalam percakapannya.

"Hans berencana membunuh kamu, tapi apa alasannya?"

"Entahlah. Bukan hanya Raka, tapi juga Alanna dan Adam, teman sekolah Raka."

"Padahal dia udah Papah kasih cabang perusahaan disana. Meskipun gak sebanding dengan perusahaan Kakek dan perusahaan yang Papah pegang, tapi tetap saja, dia seharusnya udah merasa sangat cukup."

"Oh iya Pah, ada satu hal lagi yang ingin Raka katakan sama Papah."

"Apa itu?"

"Raka ingin menikahi Alanna."

Alanna menatap Raka tidak percaya. Ia ingin mengatakan sesuatu tapi kemudian diurungkan niatnya saat Raka terlihat tidak memberikan waktu untuk Alanna berbicara.

"Menikah? Kamu pikir pernikahan itu sesuatu yang bisa dilakukan dengan mudah?" tanya Frederick dengan menatap Raka bingung, bagaimana putera tunggalnya ini bisa berpikir demikian?

"Benar, pernikahan ini adalah satu-satunya cara agar Raka bisa menyelamatkan Alanna dari kemungkinan terburuk. Raka ingin menyimpan dia di tempat yang aman dimana hanya Raka yang mengetahuinya."

"Jika memang harus menyelamatkan Alanna dengan cara itu satu-satunya, kamu bisa melakukan itu tanpa harus menikah di usia kalian yang masih muda ini bukan? Pernikahan bukan sesuatu yang dihabiskan sehari, seminggu, sebulan, atau setahun Raka. Tapi seumur hidupmu."

"Nggak Pah, Raka sudah mantap untuk mengambil rencana ini. Karena Raka juga gak mau harus menanggung resiko apabila Raka terlalu lama membawa Alanna dari rumahnya."

"Memangnya kamu sekarang membawa Alanna untuk tinggal dimana? Di rumahmu itu?"

"Bukan, tapi Raka yang tinggal di rumahnya. Karena rumah kami hanya bersebrangan, dan orang tuanya yang sedang di luar kota untuk perjalanan bisnis selama satu bulan, jadi kita hanya bisa bersama-sama sampai beberapa hari ke depan aja, nggak terlalu lama."

"Baiklah, Papah akan mengurusnya."

"Hidangan sudah siap!" Ucap Heln senang.

Ada terdapat banyak menu yang disajikan ke meja makan berukuran besar dan luas ini. Bahkan Alanna sampai menelan ludahnya susah payah karena mencium bau yang lezat dari makanan di depannya.

"Ah, baru akan mulai ya? Syukurlah aku nggak terlambat," ucap seseorang yang baru saja datang ke ruang makan.

Hans yang baru datang, segera mencium punggung tangan Frederick dan bersalaman dengan Raka meskipun Raka terlihat sangat enggan, sebelum beralih pada Alanna yang diam mematung.

Deg.

"Halo. Pacarnya Abang Raka," orang tersebut tersenyum ke arah Alanna tapi Alanna tidak membalasnya. Keringat dingin muncul dari berbagai area terutama pelipisnya. Hans menggerakan tangannya ke depan wajah Alanna yang masih tidak bergeming.

Karena tidak ada jawaban Raka ikut menolehkan kepalanya ke samping.

"A-Alanna?" Raka mencoba menyadarkan Alanna yang tubuhnya bergetar, ia menatap Hans dengan tatapan takut dan shock. Bahkan ia menangis dalam diam tanpa bisa ditahannya.

"G-gue, gue mau pulang Ka. G-gue gak bisa ada disini lebih lama," pinta Alanna dengan menatap Raka panik.

●●●