webnovel

"Dia Orangnya"

Semua pasang mata di ruang makan itu menatap ke arah Alanna bingung.

"Ayo kita pulang," ajak Raka cepat karena hanya ia yang paham akan situasi yang terjadi pada cewek di sampingnya.

Alanna mengangguk lemas, bahkan untuk jalan saja ia harus berpegangan pada Raka agar tubuhnya tidak oleng dan tetap berdiri tegak.

"Terimakasih untuk acara makan malamnya. Terutama Hans, selamat menjadi direktur muda di cabang perusahaan Papah, semoga betah disana sampai enggan pulang. Kami pamit."

Raka membawa Alanna pergi, dan ia tidak melihat bagaimana ekspresi Heln yang menahan amarah sementara Hans tampak terus tersenyum seolah ia merencanakan sesuatu.

"Ayo, kita lanjutkan acara makan kita. Jangan sampai tertunda hanya karena Raka dan pacarnya pergi," ajak Heln.

Tidak ada pilihan lain, akhirnya acara makan malam di ruang makan rumah Frederick tersebut kembali dilanjutkan.

Sementara saat ini Alanna yang sudah kembali berada di dalam mobil mewah milik Raka, masih mencoba untuk menetralkan kembali situasinya sendiri.

Mereka sudah pergi meninggalkan rumah Frederick.

Di perjalanan, Raka tidak serta merta langsung membuka obrolan, seolah ia memberi waktu agar Alanna bisa sedikit menetralkan situasinya sendiri.

"Kita berhenti di restoran depan."

"Nggak di rumah aja Ka?"

Raka menggeleng. "Ada yang pengen gue omongin."

"Oke deh, gue ikut lo aja."

Dengan segera Raka memilih tempat parkir untuk mobilnya sementara ia menyuruh Alanna untuk masuk lebih dulu.

Mereka kini sudah berada di meja ujung kanan, tempat dimana tidak ada orang di sisi kiri dan sisi depannya.

"Udah pesan makannya?"

"Udah, gue samain pesanan gue sama pesanan lo. Gak apa-apa?"

"Gak apa-apa."

"Syukurlah."

"Alanna."

"Iya?"

"Hans adalah orang yang lo maksud?"

Alanna mengangguk cepat. "Iya, dia orangnya. Dia bawa pistol, dan dia yang nembak gue."

"Tapi lo gak ingat yang nembak gue siapa?"

"Dia yang pegang pistolnya udah pasti dia pelaku pembunuh lo juga Ka!" seru Alanna berapi-api. Lalu kemudian ia tersadar situasi dimana mereka berada sekarang dan kembali menyandarkan tubuhnya di kursi makan.

Desahan nafas Raka terdengar lelah. "Sayang sekali untuk satu orang lainnya lo masih gak inget dia siapa ya?"

"Tapi gue masih punya satu clue. Pin yang dipake sama cowok di sebelah Sodara tiri lo itu, gue masih bisa ingat dengan jelas."

"Di samping itu, gue juga masih gak nyangka kalo orang kayak si Hans yang pengecut gitu bisa jadi biangkerok kematian kita,"

"Atas motif apa dia bunuh gue ya?" gumam Raka yang lebih ia tujukan untuk dirinya sendiri.

"Entahlah."

"Gue gak nanya sama lo. Gue lagi berpikir. Bahkan di situasi kayak gini, dia udah dikasih cabang perusahaan di LA sama Bokap gue seharusnya itu udah lebih dari cukup buat parasit kayak dia."

"Mungkin ada hal lain yang bakal terjadi dan kita gak tau apa itu."

"Lo benar, pasti ada alasan kenapa dia sampai berbuat nekat kayak gitu."

"Raka, lo masih ingat dengan hal yang terjadi sama Kak Adam itu? Dia ada tanda luka sembilan dan huruf f di punggungnya."

"Iya, gue ingat."

"Kita liat apa yang akan terjadi kalo kita bisa ngelewati hal itu, apa kita akan punya tanda kayak Kak Adam juga atau justru hal itu hanya kebetulan."

Raka menggeleng. "Gue gak mau."

"Kenapa?"

"Itu berarti kita harus tetap celaka. Gue gak mau lo celaka, kalo gue sih gak apa-apa."

Alanna tercekat. Ia tidak menyangka akan mendengar jawaban Raka yang demikian.

"R-Raka -"

"Makanya jangan berpikir buat dapat tanda kayak si Adam juga. Sebisa mungkin kita bisa ngelewatin waktu 'itu' dan gak mendapat kecelakaan apapun."

"Semoga."

Tepat setelah Alanna menjawab pesanan mereka sudah datang.

"Makan dulu aja sekarang, nanti kita lanjut di rumah," ujar Raka yang sukses membuat pelayan yang mengantar makanannya itu tersenyum tipis.

"Wah, pengantin barunya. Silahkan dimakan, apa ada menu tambahan lagi?"

Blush.

Alanna hanya menggeleng.

"Gak ada Mba, makasih ya."

"Kalo begitu selamat menikmati, permisi."

~¤~

"Lo punya rencana apa selanjutnya?"

"Entahlah gue belum bisa berpikir buat hal baru untuk saat ini."

"Kenapa? Apa ada yang jadi beban pikiran lo sekarang?" tanya Alanna bingung.

Raka mengangguk pelan. "Gue belum bisa ngambil langkah apa-apa karena Adam bilang motor Rendy itu sama dengan motor yang ngejar dia. Gue harus pastiin dulu hal itu benar adanya sebelum kita bikin rencana baru."

"Benar juga. Karena dua-duanya teman dekat lo, jadi pasti lo ikut terlibat ngurus urusan mereka mau gak mau."

"Tapi, kalo memang Rendy adalah salah satu pelakunya, gue juga gak terlalu yakin akan hal itu."

"Kak Adam tipe orang yang suka bohong gak?"

Raka menggeleng. "Itu masalahnya, gue gak tau siapa yang harus gue percaya sekarang. Di satu sisi si Adam gak pernah bohong, dan satu sisi lainnya gue juga gak terlalu yakin kalo si Rendy setega itu."

"Coba aja buat nyari tau dulu, kalo memang omongan Kak Adam berbukti, baru lo bisa ngambil langkah."

Raka menghela nafasnya, lalu ia berdiri dari kasur Alanna. "Gue pergi tidur dulu, besok kita masih harus ke sekolah."

"Iya."

Setelah menghilang di balik pintu kamarnya, Alanna pun ikut mencari jawaban atas hal yang terjadi pada Adam.

Memikirkan sesuatu yang tidak ada ujungnya membuat Alanna perlahan mulai terlelap.

Tiba-tiba saja Alanna merasa ia tengah berada di sebuah ruang rapat perusahaan. Tempat yang asing, ini bukan perusahaan Tirto, dan Alanna pun tidak tahu dimana tepatnya ia berada.

"Jadi, kalo Raka mati, perusahaan Wenation bisa jadi punya gue?"

Mendengar nama disebut-sebut, Alanna lantas semakin mendekat ke arah satu pintu rahasia di sampingnya.

"Benar sekali. Bukannya lo juga ingin punya harta kekayaan kayak Bokap tiri lo sekarang?"

Cowok yang ditanya itu menganggukan kepalanya.

"Sangat kebetulan! Gue bisa ngasih lo sebuah penawaran."

"Apa itu?"

"Gue bakal bantu lo buat ngabisin si Raka, tapi dengan satu syarat."

"Apa syaratnya?"

"Gue butuh lima puluh miliar buat pembangunan usaha gue yang baru. Gue gak akan minta imbalan dalam waktu dekat ini tapi, saat lo nanti udah bisa menjadi direktur utama perusahaan Wenation gue tagih janji lo sebagai kesepakatan kita."

"Lima puluh miliar ya.."

"Pastinya itu gak sebanding sama harta kekayaan Wenation. Coba lo bayangkan, kalo perusahaan besar yang banyak orang mengidam-idamkan bekerja disitu, ternyata lo adalah penerusnya, bagaimana perasaan lo?"

"Bahagia."

"Nah iya. Bahagia. Di dunia ini kita harus mengesampingkan emosional untuk mendapat hasil yang maksimal. Apapun cara akan menjadi halal selama itu menguntungkan."

"Tapi, apa gak berlebihan kalo membunuh Raka juga?"

"Tentu saja nggak sama sekali. Raka cuman pengganggu buat lo sekarang. Jadi, gue bakal ngasih lo bantuan buat ngabisin dia, dan dalam beberapa tahun ke depan perusahaan Bokap tiri lo itu bakalan lo ambil alih, dan setelah itu lo jadi si nomor satu di tongkrongan kita."

"Menarik."

"Bukannya lo ingin mengganti posisi Raka si nomor satu di tongkrongan anak konglomerat?"

"Iya."

"Ini saatnya gue bantu mewujudkan kemauan lo. Malam ini, gue dan anak-anak suruhan gue, bakalan nunggu lo di perempatan. Dan kita lakukan pembunuhan itu tepat pada saat sore maju malam dimana orang-orang udah malas buat keluar rumah."

"Oke, gue tunggu lo datang. Kita habisi dia malam ini juga."

"Aaaaaaa!"

Alanna berteriak dengan kencang dan hal itu membuat Raka maupun Bi Ida buru-buru mendatangi kamarnya karena ikut panik.

Mereka melihat Alanna yang terbangun dengan keringat membanjiri area wajahnya.

"Jam berapa sekarang?" tanya Alanna pada Raka yang kini sudah berada di sampingnya.

"Enam."

"Non Alanna, Non Alanna nggak apa-apa?" tanya Bi Ida cemas.

"Nggak apa-apa Bi, makasih udah khawatirin aku."

"Apanya yang makasih Non? Non Alanna itu tanggung jawab Bi Ida juga apalagi saat Ibu sama Bapak gak ada di rumah."

Alanna tersenyum tipis. "Nggak apa-apa kok Bi Ida. Oh iya, kalo boleh, Alanna ingin ditinggalkan berdua aja sama Raka. Soalnya ada yang mau aku bicarakan sama dia."

Bi Ida mengangguk mengerti. "Ya udah, Nak Raka tolong jaga Non Alanna baik-baik ya?"

"Iya Bi Ida."

"Bi Ida ke bawah lagi."

"Makasih Bi," gumam Alanna.

Cklek.

Pintu kembali tertutup dan Alanna menatap Raka serius.

"Gue mimpi sesuatu yang penting, gue rasa gue baru tertidur tapi ternyata ini udah jam enam pagi."

"Mimpi soal apa sekarang?" tanya Raka memastikan.

"Gue mimpi, akan alasan lo dibunuh sama si Hans itu karena apa."

"Lo udah tau alasannya sekarang?"

Alanna mengangguk.

"Apa?"

"Hans disuruh seseorang buat bikin kesepakatan dan bunuh lo agar aset perusahaan Bokap lo bisa jatuh ke tangan dia," terang Alanna. "Gue sangat amat yakin kalo orang yang ngomong itu adalah pembunuh satunya."

"Wajahnya?"

"Gue gak masuk ke dalam karena takut ketauan!"

"Tapi itu cuman mimpi harusnya lo masuk, kalo lo tertembak lo bahkan masih bisa bangun kan?"

Alanna terdiam. "Apa gue harus mengulang mimpinya?"

"Gak perlu. Sekarang kita siap-siap aja ke sekolah."

"Oke."

"Gue jadi makin curiga sama si Rendy soal dia terlibat juga."

"Lo dapat petunjuk?"

Raka menggeleng. "Antara Bian dan Rendy, tapi Rendy juga dicurigai sama si Adam, itu artinya memang dia yang bermasalah."

●●●