webnovel

Sebuah Pengakuan

Pagi ini Raissa bangun dengan perasaan optimis. Ya, dia akan berterus terang mengenai perasaannya sukanya pada Aditya ke Liza. Raissa berharap Liza mengerti dan menanggapi dengan positif. Raissa berangkat keluar bersama Asya walaupun tujuan mereka berbeda. Peni akan keluar agak siangan sehingga pagi ini ia yang kebagian tugas membersihkan rumah. "Besok kamu jaga malam kan Sa? lusanya kencaaannn!" kata Asya dengan semangat. " Haduuhh aku deg-degan nih."kata Raissa sambil nyengir. "Pak Aditya bilang kamu mau diajak kemana?" tanya Asya. "Nah itu dia, tidak bilang! cuma bilang pakai celana panjang dan jaket. kemana coba? puncak?" tanya Raissa. "Iya ya, kemana ya?" kata Asya ikutan berpikir. "Aku menyerah, nanti ceritakan ya kamu diajak kemana, pasti seru!" kata Asya. Raissa mengangguk lalu menaiki ojek online yang sudah dia pesan untuk membawanya ke RS. Sesampainya di RS, Raissa merasa puas melihat keamanan yang diperketat. Sekuriti RS kini lebih serius dalam memeriksa pengunjung dengan metal detektor. Raissa menuju ruang tunggu ICCU. Seperti biasa ada Ayah Liza disana, kali ini ditemani adik perempuan Liza, Laila yang masih duduk di kelas 3 SMA, karena ini adalah hari Minggu, gadis itu libur dan menggunakan kesempatan ini untuk bergantian menjaga kakaknya. "Selamat Pagi Om, Laila, Tante lagi di dalam ya?" sapa Raissa. "Eh nak Raissa sudah datang, iya barusan gantian dengan Laila." kata Ayah Liza. "Sudah sejam yang lalu kok kak. "kata Laila. "Oh ya? Ayah tidak berasa." kata Ayah Liza. "Benar Yah, tadi Laila keluar dari ruangan kak Liza dan melihat sinetron ini baru mulai, sekarang sinetronnya sudah habis. " kata Laila sambil menunjuk TV yang tergantung di langit-langit RS. "Oh begitu ya, ayah tidak lihat, Nak Raissa kalau begitu ke dalam saja,lumayan istri saya bisa istirahat sebentar." kata Ayah Liza. Raissa pun permisi dan pergi ke ruang ICCU untuk gantian jaga dengan Ibu Liza. seorang polisi wanita yang belum pernah dilihat Raissa berjaga di depan pintu ruangan tempat Liza ditempatkan. Ia meminta kartu identitas Raissa dan memastikan Ibu Liza dan Liza mengenalnya. Setelah itu Raissa dapat masuk dan Ibu Liza bisa keluar dari ruangan itu sebentar. "Hai Liz, bagaimana pagi ini?" tanya Raissa. "Luka masih sakit tentu saja, tapi semakin membaik kurasa. Nafasku juga sudah lebih lega daripada kemarin. Hanya saja kupikir aku stress mendengar kedatangan si topi biru semalam, aku tidak bisa tidur." kata Liza yang matanya terlihat membengkak. "Jangan khawatir, pihak RS sudah mengetatkan pengamanan, lalu ada polisi wanita yang selalu menjagamu. kau aman Liz." kata Raissa. "Aku tahu, hanya saja aku selalu ketakutan, tidurku tidak nyenyak." kata Liza. "dr. Alex menyarankan kau dikonsultasikan ke psikiater untuk menyembuhkan traumamu." balas Raissa. "Ya, kupikir juga harus seperti itu. Aku ketakutan sekali Sa. Apalagi kalau sudah mulai gelap, aku semakin panik, kalau lihat matahari aku lebih tenang." kata Liza. Raissa menepuk-nepuk tangan Liza untuk menenangkannya. "Kau kesini sendirian?" tanya Liza. "Iya, Asya jadwal pagi, jadi ia akan kemari bersama Alex sore nanti. Peni jadwalnya malam, tapi siang ini harus ke kantor polisi untuk memberi pernyataan tentang kejadian semalam. Lalu Peni akan kemari sebelum lanjut bekerja. Yah maklumlah, sahabat-sahabat mu ini, jadwalnya berbeda-beda." kata Raissa. "Tentu saja aku mengerti. Lalu bagaimana suasana di klinik? apakah semua orang heboh?" tanya Liza. "Heboh dan kebanyakan ketakutan. Ngomong-ngomong mungkin mereka akan kemari juga hari ini. hari Minggu kan hanya operasional yang buka, kantor tutup." kata Raissa. "Apakah ..apakah.. dia mengunjungiku juga?" tanya Liza malu-malu. Jantung Raissa seperti jatuh ke kaki. "Maksudmu, Pak Aditya? hmm..setahuku pak Aditya sudah dua kali kemari. Saat kau dibawa kesini dan semalam." jawab Raissa sambil berdebat dalam hati untuk mengaku sekarang mumpung topiknya sedang membicarakan Aditya. Wajah Liza memerah dan ia tersipu-sipu. "Oh ya? entahlah, apakah aku akan tetap trauma kalau beliau masuk, atau tidak?" tanya Liza, Raissa tidak dapat menjawab, ia hanya menggeleng sambil mengangkat bahunya. Lalu Raissa memberanikan diri dan membulatkan tekad. Pokoknya Liza harus tahu! Apapun yang terjadi Raissa tidak ingin merahasiakan perasaannya pada Aditya dari Liza. " Liza, ada yang ingin kuutarakan. Tapi aku takut kamu marah, sedangkan saat ini kondisimu belum pulih." kata Raissa ragu. "Ada apa Sa? kenapa takut? Biasanya kamu ceplas-ceplos?" tanya Liza heran. "Nah itu dia, untuk yang satu ini tiba-tiba aku jadi lupa caranya ngomong heheheh" kata Raissa memberi alasan. "Kenapa memangnya? kamu mengambil sesuatu dariku? merusak barangku? atau apa? atau jangan-jangan.. kamu suka dengan pak Aditya juga ya?!?!? hahahaha!!!" Liza tertawa dengan leluconnya sendiri lalu mengernyit menahan sakit di dadanya. "Ahhhh...hati-hati Liz.." kata Raissa lemah. Liza memperhatikan wajah Raissa yang terlihat bersalah. "Hah? kamu juga suka pak Aditya Sa? Beneran?" tanya Liza kaget. Raissa yang pada dasarnya tidak dapat berbohong hanya mengangguk pelan. "Aku juga baru sadar kok Liz.. sebelumnya perasaanku biasa saja?" kata Raissa. "Lalu kapan kamu menyadarinya?" tanya Liza agak ketus. "ah.. itu..mmm.." Raissa menggaruk kepalnya yang tidak gatal. "Mmm.. jadi begini Liz, Pak Aditya mengajakku jalan atau mungkin makan malam, atau mungkin aku saja yang terlalu jauh mengartikannya tetapi saat aku bilang iya, aku langsung menyesalinya. Maksudnya bukan menyesal karena kesal dengannya atau bagaimana, ah bagaimana ya menggambarkannya.. pokoknya aku jadi berpikir dan sampai pada kesimpulan kalau aku ternyata punya perasaan pada Pak Aditya. Begitu Liz." kata Raissa lalu menghembuskan nafas lega sudah mengutarakan perasaanya. "Pak Aditya yang mengajakmu?" tanya Liza yang dibalas anggukan Raissa. Liza menghembuskan nafas. "Jujur aku cemburu, selama ini aku tahu aku tidak mempunyai peluang apapun terhadap pak Aditya, perhatian yang ia berikan juga tidak lebih seperti karyawan lainnya. Tetapi sejak aku bersahabat denganmu, Pak Aditya mulai melihatku, bukan dalam artian yang kumau, tetapi sebagai sahabatmu. Aku tahu beliau tertarik padamu, tapi kupikir aku aman karena sepertinya kamu tidak membalas perasaannya. Kau seperti tidak menyadari perhatiannya. Ternyata semua itu masuk juga ke hatimu ya Sa, kamu luluh juga oleh pesonanya." kata Liza. "Maaf Za." kata Raissa pelan. "Tidak.. tidak usah minta maaf. Perasaan itu tidak dapat ditolak kan? kalau kamu suka ya sudah, mau dilawan pun tetap saja suka malah akan semakin menjadi-jadi rasanya. Sebenarnya aku tidak rela Sa. Tapi bagaimana lagi, kondisiku begini. Kondisiku sehatpun aku tidak dapat bersaing Sa."kata Liza, air matanya bergulir ke pipinya yang masih dihiasi lebam. Raissa mengambilkan tissue dan menghapus airmata Liza. "Jangan menangis Sa, baiklah, aku tidak akan mengejar pak Aditya. Akan kulawan perasaanku!" janji Raissa. "Jangan Sa, ayolah kita bukan anak SMA lagi! Aku sudah kalah sebelum bertanding, dari dulu Pak Aditya tidak pernah tertarik padaku. Hanya satu yang kuminta, jauhi aku Sa. Kita jangan bersahabat lagi yaa.. kita bersikap profesional saja di klinik."Kata Liza. "Hah? kok begitu Liza?!masak gara-gara pak Aditya kita tidak berteman lagi, aku sudah bilang.."omongan Raissa langsung dipotong oleh Liza, "Aku tidak bisa terus bersahabat denganmu karena pak Aditya pasti akan melihatku tidak lebih dari itu, sebagai sahabatmu! coba jawab Sa, waktu pak Aditya kemari, selalu ada kamu disini? iya kan? "tanya Liza. Raissa mengangguk lemah. "Jadi biarkan aku sendiri Sa, aku ingin dilihat sebagai seorang wanita dimatanya, bukan karyawannya, bukan sebagai sahabatmu! mengertilah Sa? tidak usah menjenguk aku lagi! Sudahlah, aku lelah, aku mau istirahat, tolong panggilkan ibuku atau adikku untuk menemaniku disini. Selamat tinggal Raissa. Jangan khawatirkan aku, masih ada Peni dan Asya yang bisa menemaniku. Semoga kamu berbahagia!" kata Liza lalu memejamkan mata pura-pura tidur. Raissa ingin terus bicara tetapi Liza malah mengeluarkan suara dengkur pelan, entah sengaja atau memang sudah tidur betulan. Akhirnya Raissa keluar dari ruangan. Ia mencari ibu Liza, tetapi karena sedang ke toilet akhirnya Laila yang menggantikannya. Lalu Raissa pamit untuk bekerja. Biasanya Raissa memilih ojek sebagai alat transportasinya di Jakarta, karena motor adalah alat transportasi yang tepat untuk menembus kemacetan ibukota. Tetapi waktu baru menunjukan pukul sembilan, pembicaraan yang sepertinya memakan waktu berjam-jam ternyata hanya memakan waktu 30 menit saja. Akhirnya Raissa memilih naik taksi, karena ia merasa ingin menangis dan masih ada waktu dua jam sebelum ia mulai bekerja. Selama setengah jam berikutnya Raissa menangis sejadi-jadinya didalam taksi ditengah hiruk pikuk kemacetan pagi ibukota. Hatinya bingung dan bimbang. Jalan apapun yang ditempuhnya Liza tidak mau bersahabat lagi dengannya. Hanya gara-gara seorang Aditya. "Non.. non tidak apa-apa? ini ada tissue non!" kata si supir taksi. "Terimakasih pak, saya hanya ingin menangis saja, kalau sudah menangis, nanti saya akan menjadi lebih lega. Numpang nangis ya pak..."kata Raissa asal sambil menerima tissue yang ditawarkan si supir taksi dan kembali mencucurkan airmatanya. Si supir taksi yang bingung akhirnya hanya berkata, "Iya non, nanti kalau sudah dekat saya beritahu, supaya non bisa siap-siap sebelum turun". Raissa hanya mengangguk lalu meneruskan tangisnya, sekali-kali membersihkan hidungnya. Benar saja, kira-kira 500 meter sebelum sampai, si supir taksi memberikan peringatan. Raissa buru-buru merapikan dirinya. ketika sampai, Raissa sangat berterima kasih pada si supir taksi sehingga ia memberikan tip yang lumayan besar. Si supir taksi merasa senang dan kembali berterimakasih pada Raissa. Sampai di klinik, Raissa bingung. Jadwal kerjanya baru mulai sejam lagi. Mau bicara dengan Asya pasti orangnya sedang sibuk saat ini. Akhirnya ia pergi ke toilet untuk mencuci muka dan malah bertemu Asya yang saat itu hendak keluar dari toilet. "Raissa, kamu habis menangis? kenapa?!" tanya Asya. "Asya.. huhuhuhuhu..." Raissa menghambur ke pelukan Asya. Secara singkat Raissa berusaha menjelaskan pada Asya apa yang terjadi pada dirinya dan Liza saat di RS tadi. Raissa sadar kalau Asya tidak punya banyak waktu untuk curhat. "Apa? Kenapa lagi si Liza ini aduuhh!! nanti aku coba bicara padanya. Sudah kamu jangan khawatir! cuci muka sana, pakai make up supaya tidak terlihat bekas menangisnya. Aku harus kembali bekerja. Jangan menangis lagi ya Sa!" kata Asya lalu segera keluar dari toilet. Raissa kembali sendirian. Ia mengambil nafas dalam-dalam, mengeluarkannya lalu mencuci muka dan menaruh riasan yang agak lebih tebal dari biasanya pada wajahnya. Lalu berjalan ke klinik seperti tidak ada apa-apa, siap untuk bekerja walaupun waktu kerjanya belum mulai. Raissa bertemu dengan kak Mira yang sedang memperkenalkan 2 perawat baru. "Loh Raissa sudah datang? habis jenguk Liza ya? kebetulan nih.. aku sedang ada rapat yang tidak bisa kutinggalkan. Boleh tolong ajak mereka untuk keliling dan melakukan perkenalan? masih ada 30 menit lagi sebelum mulai kerja kan?" kata kak Mira. Raissa mengangguk dan mengajak dua orang perawat itu berkeliling seperti dirinya dulu. Dan seperti dirinya dulu Aditya juga sedang tidak ada di kantor saat ini. Raissa merasa lega tidak harus bertemu pagi ini. Bisa-bisa ia tidak dapat menahan tangisnya. Tentu akan sangat memalukan!