webnovel

Pemakaman

Kabar duka menyebar secepat api melalap apartemen tempat Dewi dan Tatiek terbunuh. Ucapan belasungkawa tak henti-henti mengalir ke ponsel Aditya dan Karina. Keluarga Bhagaskara berkumpul membahas pemakaman, Arganta pun hadir disana tanpa memperlihatkan rasa bersalah.

Tak banyak yang tahu kalau kematian Dewi dan Tatiek bukan karena terjebak api, melainkan karena rongrongan peluru yang menembus tubuh mereka lebih dari sekali. Hanya Aditya, Raissa, Karina, Stefan, Alex, Asya, Aleisha dan Satya yang mengetahui penyebab sebenarnya. Tetapi siapa yang menembakkan pistol tersebut tidak diketahui. Menurut Briptu Shinta, Pistol dan selongsong peluru tidak ditemukan di TKP. Entah semua terbakar habis atau sudah dibawa pergi sebelum dibakar. Aditya meminta agar hal ini dirahasiakan, bahkan dari keluarga besarnya. Aditya curiga kalau Arganta dalangnya. Tetapi sekali lagi ia tidak mempunyai bukti. Bahkan Arganta lagi-lagi memiliki alibi. Aditya sendiri tidak terlalu bersedih kehilangan ibunya, buat Aditya, sosok Dewi hanyalah sebagai pelengkap saja dalam keluarga. Berbeda dengan Karina, ia agak terpukul. Aditya mengerti kakaknya selalu mencari sedikit kasih sayang dari ibunya, dan dalam hati kecil Karina selalu berharap Ibunya menyayanginya. Tetapi hingga nafas terakhir kata-kata penuh kasih sayang hanya berada dalam mimpi Karina saja. Tidak seperti Aditya yang dekat dengan Bu Ade, Karina tidak memiliki sosok pengganti ibu. Karena itu air mata Karina selalu berderai. Paman dan bibi bergantian menghibur Karina juga sepupu mereka. Kadang Karina tenang, kadang ia menangis kembali.

Rumah Aditya menjadi rumah duka. Bendera kuning ditancapkan di depan pagar rumah. Para pelayat baik dari tetangga maupun perwakilan perusahaan silih berganti memasuki rumah duka dan memberikan penghormatan terakhir. Raissa selaku tunangan Aditya, berdiri disamping kiri Aditya. Sedangkan di kanan Aditya ada Karina dan Stefan. Seluruh karyawan Bhagaskara Medika juga hadir secara bergantian. Semuanya menyampaikan rasa belasungkawa mereka. "Pak Aditya tegar banget ya, Bu Karina dari tadi sesenggukan terus." kata Lira. "Mar, liat tuh Si Raissa, kok udah berdiri disana sih? bukannya statusnya masih pacaran?" bisik Dian pada Marisa dengan nyinyir. "Ssst.. liat tuh cincin berlian di jarinya, kamu bakal ikut gak berdiri disana kalau pacaran doang? emang kalo status pacaran doang bakal dapet cincin gituan?!" kata Marisa dengan sebal. Dian melotot memerhatikan cincin tersebut. "Waduuhh, si Raissa ketuban rezeki nomplok! bagus amat sih nasibnya? aku juga pengen!!" bisik Dian lagi. "Yaelaahh Dian! ngimpi melulu ahh..." kata Marisa sambil mengeluh dalam hati, "ya samalah lah Diaan.. aku juga pengen!!"

Marisa hanya bisa mengeluh dalam hati, awalnya ia masih agak berani karena merasa masih ada Dewi yang bisa membantunya tetapi sekarang Dewi sudah tiada, tidak ada lagi yang bisa membantunya. Sebaiknya ia bersikap manis mulai sekarang, atau bisa-bisa ia bisa dipecat dengan tidak hormat. Sebenci-bencinya ia dengan Raissa, lebih baik di telan sajalah. Ia pun tidak mau berlama-lama di rumah duka, tidak seperti karyawan lainnya yang memanfaatkan kesempatan ini untuk istirahat sejenak dari pekerjaan, ia langsung kembali ke kantor dengan alasan ada kerjaan yang tidak bisa ditinggal. Untungnya Marisa membawa mobil sendiri sehingga mobilitasnya tidak terganggu. Dian tetap memilih tinggal, kapan lagi bisa bolos kerja dengan halal, bisa makan kue-kue enak pula. Rugi bandar kalau langsung kembali ke klinik, pikirnya.

Paman dan bibi Aditya bergantian mengucapkan belasungkawa padanya. Walaupun mereka tahu sebenarnya hubungan ibu dan anak tidak terlalu baik, apalagi sejak rapat dewan terakhir, tapi tradisi dan demi citra keluarga dimasyarakat mengharuskan mereka untuk mengucapkan belasungkawa dan itulah yang mereka lakukan. Walaupun Aditya merasa lucu dengan segala ucapan untuk tetap tabah dan tegar, karena Aditya tidak merasa kehilangan sehingga ia tidak perlu repot-repot tegar atau tabah. Hanya Bibi Lydia yang tidak datang. Ia hanya menelepon Aditya, "Aditya, maafkan aku tidak datang, aku tidak merasa perlu menghormati wanita yang kebetulan ibumu, jangan mengartikan kalau ini artinya aku tidak menghormatimu. Kau akan jadi pemimpin yang baik. Maafkan aku kalau selama ini tidak bisa menjadi bibi yang baik dan sibuk dengan urusanku sendiri. Ketahuilah bahwa pintuku selalu terbuka untukmu dan kakakmu."

"Tentu Bibi Lydia, saya mengerti, terimakasih atas tawaran bibi, semoga bibi bisa lebih bahagia daripada waktu bersama paman Arganta." balas Aditya. Setelah mengobrol sebentar, Aditya kembali ke sebelah Raissa. "Mas tidak istirahat dulu?Mbak Karina sedang istirahat dulu sejam ini, ia lelah." kata Raissa. "Tidak, aku kuat kok! Biarkan Karina istirahat dulu, kamu juga istirahatlah dulu. Rangga mana?" tanya Aditya. "Bersama ibunya. Mas, sepertinya paman Arganta ingin bicara denganmu. Ia terus melihatmu dengan pandangan yang tidak bisa kuartikan." kata Raissa. Aditya melirik pamannya. "Biar kutangani, kau pergilah dengan Asya dan Karina, istirahat dulu ya. Bawa Bu Ade juga, sibuk terus dia." kata Aditya. "Baiklah, aku cuma butuh setengah jam saja. Setelah itu aku akan menemanimu kembali." kata Raissa lalu meninggalkan Aditya. Setelah Raissa meninggalkan Aditya, dengan cepat Arganta menggantikan posisi Raissa. "Bergerak cepat rupanya. Ternyata anaknya manis juga, pantas kau tergila-gila." ujar paman Arganta lalu ia melanjutkan, " dengan membawa anak itu kemari, menunjukkan padaku kalau sebenarnya kau tidak bersedih, kalau Dewi masih hidup, dia pasti menganggapnya sebagai tamparan di pipinya."

"Ah ya, kematian ibu saya memang mendadak, dan asal paman tahu, saya sudah melamar Raissa jauh-jauh hari sebelum beliau menutup mata. Dan mengenai rasa sedih, saya rasa saya yang harus mengucapkan belasungkawa pada paman..Atau Paman juga tidak bersedih?" jawab Aditya. "Kita sebagai Bhagaskara, tidak pernah menunjukkan perasaan kita pada siapapun. Tapi anak-anak sekarang mulai lembek, dan sangat tidak menghormati orangtua." kata Arganta. "Kenapa Aku harus menghormati ibuku? dia tidak pernah mengajariku apa-apa, pada akhir hidupnya pun dia bukannya bertobat malah berbuat kejahatan. Aku lihat berita setiap hari paman, dan aku kenal ibuku, aku tahu pasti dialah yang menyamar sebagai pemilik kontrakan dimana bom meledak dan telah merenggut nyawa seorang polisi. Mereka saja yang belum mendapatkan bukti pasti mengenai keterlibatan ibuku, kalau tidak sudah pasti nama keluarga besar kita akan tercoreng." kata Aditya. "Hah, kalau begitu untung juga terjadi kebakaran ini, korsleting kabel listrik katanya? hahahaha.. Mungkin keadilan sedang berpihak pada kita." kata Arganta sambil tertawa. Dalam hati Aditya geram. Aditya tahu pamannya bersekongkol dengan ibunya. Arganta hanya mengetes sejauh mana Aditya mengetahui megenai kematian ibunya. Aditya memutuskan untuk mengikuti sandiwara Arganta. "Ya korsleting, apakah paman percaya? gedung sebagus itu? Apakah paman merasa tidak aneh?" tanya Aditya memancing Arganta. "Aneh? tidak Sama sekali, apapun bisa terjadi." jawabnya. "Paman, apakah paman menyembunyikan sesuatu? sebaiknya paman segera beritahu aku, aku tidak ingin ada kejutan yang akan merugikan keluarga kita." kata Aditya. "Tidak, tidak ada. Aku hanya pria kesepian yang ditinggalkan istri dan anaknya, sekarang selingkuhanku juga ikutan pergi. Apa yang bisa kulakukan?" kata Arganta mengangkat bahu dan ngeloyor pergi dari sana. Aditya semakin yakin Arganta tahu sesuatu. "paman Arganta!!" panggil Aditya. Arganta berbalik dan mendekati Aditya. "Paman, siapa pembunuh bayaran yang disewa ibu untuk membunuh Raissa?" tanya Aditya. "Kau pikir aku tahu? Ibumu kalau sudah dendam memang gila. Tapi kau seharusnya tidak khawatir lagi, ibumu sudah tiada, siapa yang akan membayar siapa pun suruhan ibumu itu? tenanglah, Raissa akan aman." kata Arganta sambil tertawa dalam hati. Aditya juga tak sedikitpun mempercayai Arganta, ia membiarkan Arganta pergi berbaur dengan para pelayat. Tak lama Raissa kembali. "Ayo Mas istirahat dulu, mumpung agak sepi. Ini aku bawakan roti dan air. Makan dulu." perintah Raissa. "Siap sayangku." Aditya pun duduk dan mulai makan. "Sa, sepertinya aku belum bisa melonggarkan penjagaanmu." kata Aditya, lalu ia menceritakan percakapan dengan Arganta. "Hmmm bukan berita yang menyenangkan, tetapi aku mengerti. Jangan khawatir, sudah banyak yang harus mas urus, apalah arti satu atau dua orang body guard menjagaku." kata Raissa. "Terimakasih sudah mau mengerti." kata Aditya. "Tidak masalah, lagipula Peni pasti senang masih boleh tinggal di apartemen mas yang bagus itu." kata Raissa sambil tersenyum. Aditya hanya tertawa.