webnovel

Restu Papah Mamah

"pssst Mamah! siniihh... lihat niihhh!!!" kata Raissa sambil menunjukkan jari manisnya pada Mamah yang sedang membuatkan minuman untuk mereka di dapur.

Pemakaman sudah usai, kehidupan berlanjut, sementara tampak tidak terjadi serangan pada Raissa, karena itu Aditya memutuskan untuk menjemput orang tua Raissa kembali ke rumah mereka, tentu saja hal ini disambut baik Papah dan Mamah. Saat ini mereka baru saja sampai di rumah, Mamah langsung menuju dapur untuk menyediakan minuman dan kudapan ringan. Saat itulah Raissa memakai cincin pemberian Aditya yang sebelumnya dilepas sementara saat menjemput Papah dan Mamah.

"Waaahhh.. naon eta teh neng? waaahh!!" kata Mamah dengan mata terbelalak melihat cincin berlian di jadi Raissa. "ssstttt!! jangan keras-keras Mah!" bisik Raissa. "ih bagus banget Sa!! itu cincin lamaran? kamu dilamar? bener Neng?" tanya Mamah tidak percaya. "Iya Mah, makanya Aditya minta waktu untuk bicara berdua sama Papah. Kita disini dulu sebentar ya Mah!" kata Raissa. "Lama juga gak apa-apa, mana-mana.. Mamah mau lihat cincinnya!! aduuhh meuni silau ieu cincin! Hhh.." kata Mamah dengan mupeng. Sambil tertawa Raissa menyodorkan jarinya, "Ini Mah, puas-puasin deh lihatnya.."

"waahh liat berapa kali pun Mamah selalu kagum, cincinnya bagus banget, Mamah juga terharu! anak Mamah dilamar orang, orang kaya lagi! keinginan Mamah terkabul! tapi, ternyata keinginan Mamah itu ada harganya juga Sa, nyawa kamu jadi terancam..." perkataan Mamah terhenti, bibirnya mulai gemetar dan air mata terlihat mulai menggenang di sudut matanya. "Mamaaah..." bisik Raissa sambil memeluk Mamahnya. "Maafin Mamah ya Sa, semoga kamu menerima Aditya bukan karena cita-cita Mamah punya menantu kaya. Kamu benar-benar harus mencintai Aditya. Selamanya kamu harus setia. Apapun keadaan Aditya kamu harus mendampinginya dan mendukungnya. Gak ada itu istilah kawin cerai. Pernikahan itu sesuatu yang sakral dan bukan untuk main-main. Sekali seumur hidup. Mungkin selama ini Mamah terkesan tidak serius. Itu karena Mamah tidak menyangka kamu akan secepat ini dilamar orang Sa. Tapi harusnya Mamah gak kaget sih.. anak Mamah kan cantik. Pasti cepat lakunya!" kata Mamah. "Apa sih Mah! udah seriusan ngedengerin ujungnya gitu!" kata Raissa. "Emang kok! Mamah kan gak buta! dan Mamah gak ge-er. Emang kenyataan! Sudahlah! pokoknya ingat pesan Mamah tadi! dukung Aditya apapun yang terjadi." kata Mamah. "Iya Mamah, makasih wejangannya loh!! Sebenarnya kami gak rencana langsung nikah juga sih, mungkin satu atau dua tahun lagi." kata Raissa. "Wah lebih bagus lagi, berarti kita masih punya waktu untuk mengurus pernikahannya. Gak gampang loh, apalagi dengan lingkungan pergaulan sosial sekelas Aditya. Jangan-jangan presiden juga diundang." kata Mamah. "Eh, iya juga ya Mah! Hmm, nanti aku tanya Asya juga deh Mah, setahun belakangan ini Asya sibuk sekali antara bekerja dan membagi waktu mengurus pernikahannya." kata Raissa. "Nah iya, coba tanya-tanya dulu. Trus kalian mau buat dimana? Bandung a Jakarta?" tanya Mamah. "Duh Mah, gak kepikiran sih Mah, belum diomongin. Baru sebatas Janji sama Mas Aditya, kalau Raissa pasti akan menikahinya. Nikah dimana dan kapannya masih belum jelas hehehe.. kalau maunya Mas Aditya sih secepatnya." kata Raissa. " Minimal setahun dari sekarang Sa, itu aja udah mepet. Kalau bisa dua tahun sih lebih bagus Sa." kata Mamah sambil berpikir keras. "Jadi Mamah merestui nih kalau aku nikah sama Mas Aditya." tanya Raissa. "Tentu dong!!" kata Mamah lalu sibuk menyiapkan minuman dan makanan sambil mengerutkan dahi. Raissa tahu Mamah lebih baik tidak diganggu, soalnya kalau sudah begini Mamah pasti lagi merencanakan sesuatu. Raissa hanya menunggu saja, sekalian menunggu Aditya atau Papah memanggilnya. Raissa hanya berdoa semoga Mamah tidak merencanakan pesta pernikahan besar mewah gila-gilaan ala artis-artis sinetron.

Sementara itu di ruang tamu, Aditya sedang berbicara serius dengan Papah. Aditya baru saja memberitahukan maksud kedatangannya selain menjemput Papah dan Mamah kembali ke rumah. Papah terdiam dan belum menjawab. Aditya merasa sangat tegang. Keringat dingin mulai membanjiri punggungnya. "Bisa gawat kalau orangtua Raissa tidak merestui hubungan kami!" pikir Aditya. Papah berdeham. "Awalnya.. Papah ingin membuat ujian untuk siapapun yang akan menjadi menantu Papah nantinya. Tapi mengingat apa yang baru saja dilalui kalian, dan kalian tetap bersama, Papah rasa itupun sudah menjadi ujian tersendiri untuk kalian. Jujur saja ya Nak Aditya, siapa sih yang tidak mau punya menantu seperti kamu nak? ganteng, pintar, kaya raya. Papah yakin kalau Mamah pasti sudah bilang Ya bahkan sebelum kamu melamar Raissa," Papah tertawa. Aditya masih tegang, ia mendeteksi kata tapi pada kalimat Papah Raissa. "Tapi..untuk bersanding denganmu, Raissa harus banyak berkorban, kalau nyawa mungkin nak Aditya bisa usahakan, Papah senang kamu selalu mendahulukan keselamatan Raissa, keselamatan kami. Kami sangat berterimakasih. Kalau Papah boleh memilih, Papah lebih senang Raissa bersanding dengan orang biasa saja, mungkin seperti Briptu Agus kemarin, walaupun pekerjaannya juga membahayakan dan bisa membuat Raissa menjadi janda muda. Tapi sekali lagi, ini bukan pilihan Papah. Raissa lah yang memilihmu nak. Papah membesarkan dia untuk menjadi wanita yang bertanggung jawab, tahu konsekuensi dari perbuatannya dan bisa berjuang untuk mendapatkan kemauannya. Jadi kalau Raissa sudah memilih nak Aditya,..Selamat datang di keluarga kami Nak Aditya, mulai sekarang panggil kami Papah dan Mamah juga. Kami juga orangtuamu." kata Papah sambil tersenyum. Hembusan nafas lega keluar dari hidung Aditya. "Terimakasih Papah, restu Papah dan Mamah sangat berarti bagi kami. Sekuat tenaga Aditya akan selalu membahagiakan dan melindungi Raissa. Papah jangan khawatir. Secara logika, hidup Raissa tak akan penuh komplikasi jika bersanding dengan orang seperti Briptu Agus, tetapi saya yakin, cuma saya yang bisa membuat Raissa benar-benar bahagia. Bukan hanya karena harta semata ya Pah." kata Aditya. Papah mengangguk. "Buktikan ya nak Aditya! Buktikan saja kalau begitu.. ingat tidak ada kamus kawin cerai di mata Papah. Pernikahan bukan untuk mainan, pernikahan hanya sekali seumur hidup. Setialah! dan berbahagialah kalian!" kata Papah. "Terimakasih Pah!" jawab Aditya dengan terharu.

Tak lama kemudian Raissa dan Mamah muncul dari dapur sambil membawa baki yang berisi minuman dan kudapan ringan. Raissa mengangkat alis pada Aditya. Aditya mengacungkan jempolnya. Raissa akhirnya menghembuskan nafas lega.

"Sini duduk kalian. ayo diminum dan dimakan ya! Pah, cincin Raissa bagus banget loh" kata Mamah. "Kenapa Mamah juga mau?" tanya Papah. "Ah, emangnya Papah mau beliin mamah cincin lagi?" balas Mamah. "Ya nggak, kan yang lama juga belum habis." kata Papah tenang, Mamah pengen gigit sendal karena kesal dengan Papah. "Ngomong-ngomong, kalian sudah menentukan tanggal belum?" tanya Papah. Kedua anak tersebut menggeleng. "Tahun depan saja. Atau dua tahun lagi, yang jelas jangan tahun ini ya." kata Papah. "Kenapa gitu Pah?" tanya Mamah penasaran, karena tidak mungkin suaminya itu tahu ribetnya mengurus pernikahan. "Kan orangtuanya Aditya baru saja meninggal, tidak baik itu kalau langsung menikah. Kecuali kalau Raissa hamil di luar nikah, lain lagi urusannya. Kamu tidak hamil kan Sa?" selidik Papah. "Papah!! ih bikin malu aja deh!! ya nggak lah.. Ini perut Raissa agak menonjol karena diisi makanan aja Pah!" kata Raissa. "Oh gitu, makanya olahraga.. oke kembali ke laptop, pokoknya tahun depan paling cepat, jangan tahun ini."Kata Papah. "Baik Pah!" ucap Aditya dan Raissa berbarengan.

Di suatu tempat dekat dengan gedung tempat klinik Bhagaskara Medika beroperasi, Si topi biru yang memakai Hoodie hitam dan jins hitam berjalan mengitari gedung. Mencari cara supaya bisa masuk dan mengintip kedalam. Ia penasaran kemana Raisa pergi. Sudah beberapa Minggu ini Raissa tidak terlihat. Apakah sudah pindah pekerjaan? tetapi harusnya tidak. Si topi biru tidak bisa mengawasi dari dekat lagi, karena tanah kosong di sebelah gedung sudah ada yang beli dan menggusur tempat tinggal sementara nya. Ia merindukan Raissa. "Raissa dimanakah kamu?"