webnovel

Rahim Untuk Anakku

Embun, terpaksa harus menerima kerja sama sewa rahim karena ia membutuhkan uang untuk melunasi hutang almarhum ayahnya. Selain itu, ia ingin merasakan menjadi seorang wanita seutuhnya dengan menjadi seorang ibu, tanpa harus menikah karena traumanya terhadap laki-laki. Lady, istri mandul yang berusaha untuk menutupi rahasianya dari sang suami, nekat berselingkuh dengan dokter yang membantu proses sewa rahim agar mau membantunya. Dokter itu menggunakan sel telur Embun dalam prosesnya. Bencana terjadi ketika perselingkuhan itu mulai terbongkar. Cerita ini penuh intrik, tetapi tetap dibalut dengan romantisme.

Freddy_San · Urban
Not enough ratings
31 Chs

Istana Dosa

Apakah diriku kau anggap senja?

Yang datang hanya sekejap tanpa boleh menetap

Menjadi pemisah antara siang dan malam

Kau nikmati tanpa perlu kau miliki

*****

Setidaknya, masalah dokter sudah beres, batin Lady.

Dia segera mengarahkan laju mobil ke arah bandara. Ada sebuah apartemen di daerah itu yang terbilang baru dan kelas menengah. Lady sengaja memilih tempat itu, karena akan aman dari relasi, juga kenalan mereka. Kebanyakan penghuninya adalah penyewa yang akan melanjutkan perjalanan dari pangkalan udara tersebut, bukan penghuni tetap.

Bangunan tinggi menjulang nampak baru selesai dibangun. Tak ingin menarik perhatian, Lady sengaja memarkir mobil di area samping gedung.

Wanita itu sudah lebih tenang. Ia telah mampu menguasai hatinya. Perselingkuhan yang baru saja terjadi, tak lebih dari sebuah hubungan kerja sama saling menguntungkan.

"Selamat siang, ada yang bisa dibantu?" Seorang gadis cantik penerima tamu menyambut Lady dari balik meja resepsionis.

"Saya ingin membeli satu unit apartemen," jawab Lady singkat.

"Baik, ditunggu sebentar. Silahkan duduk dulu. Kami segera panggilkan bagian marketing. Maaf, dengan Ibu siapa?" Gadis itu menunjuk sebuah sofa di sudut ruangan.

"Amara," tegas Lady.

Tentu saja Lady tak ingin namanya diketahui oleh banyak orang. Ia berbalik menuju sofa dan menghempaskan tubuh sembari mengamati sekeliling.

Tidak jauh beda dengan apa yang ia lihat sekilas di internet tentang apartemen ini. Tempatnya juga cukup bersih dan nyaman. Sungguh beruntung, satu kali datang sudah merasa cocok. Tak perlu repot mencari lagi.

Area marketing gallery ini cukup luas. Di area belakang ruangan nampak beberapa orang duduk dan sibuk memandangi telepon genggam. Sementara yang lain sibuk membaca dan menelepon.

Gadis penerima tamu nampak berbicara dengan seorang wanita yang kemudian pandangannya terarah pada Lady. Wanita itu tersenyum dan menganggukkan kepala saat tatapan mata beradu dengan Lady.

Wanita bertubuh pendek dan sedikit gendut itu nampak tergopoh mendatangi Lady.

"Selamat siang Ibu Amara, perkenalkan saya Erlin, tim marketing di sini." Wanita itu mengulurkan tangan sambil mengibaskan rambut kebanggaannya. Centil sekali, tapi sangat percaya diri.

Lady membalas uluran tangan Erlin sambil tersenyum.

"Ini brosur kami, Ibu bisa baca dulu untuk menentukan pilihan mau tipe yang mana. Kita ada beberapa tipe. Studio, one bedroom, two bedroom, dan suite di lantai paling atas yang memiliki total tiga kamar plus satu kamar pembantu." Erlin menyerahkan lembaran brosur kemudian duduk di samping Lady.

Diperhatikannya penampilan Lady dari ujung kepala sampai ujung kaki.

Uhui, customer kaya ini. Harus beli, pikirnya.

Lady membaca sekilas brosur tersebut. "Semua sudah full furnish, kan?"

"Sudah, Ibu. Ibu bahkan bisa masuk hari ini juga." Erlin berkata ramah. Bertahun-tahun menjadi marketing officer di bidang property, setahu dia belum pernah ada pembeli langsung pindah hari itu juga. Jadi, nggak ada salahnya mengucapkan kalimat hiperbola seperti itu.

"Baiklah. Kalau gitu saya beli yang one bedroom, dan saya tempati sekarang juga. Saya bayar lunas sekarang. Untuk surat perjanjian jual beli dan lain-lain bisa sambil jalan, kan?" Lady mengulurkan brosur itu kembali.

Erlin terbatuk-batuk. Karena memang belum pernah dia mengalami kejadian seperti sekarang, pembeli pindah saat itu juga. Tapi tentu pantang bagi dia untuk melawan ucapan pada customer.

"Baik, Bu. Ini daftar unit yang masih available untuk dibeli. Ibu Amara bisa memilih yang mana." Erlin menerima brosur dan kembali menyodorkan tabel daftar unit yang dijual.

"Lantai tujuh, unit 12." Lady memilih unit di ujung koridor dan paling jauh dari lift.

"Mari saya antar untuk melihat unitnya," kata Erlin sembari bangkit dari sofa.

"Nggak perlu. Saya selesaikan saja pembayaran sekarang. Nanti antarkan saya ke sana setelahnya." Lady menolak dengan sikap dingin tapi sangat berwibawa.

Seumur hidup, baru ini Erlin mendapatkan pembeli seperti dia. Biasanya calon pembeli melihat dulu unit yang akan dibeli, lalu minta penambahan, pengurangan atau perubahan di beberapa hal, dan terakhir adalah negosiasi harga. Tapi wanita ini sangat berbeda.

Kharisma yang dipancarkan wanita ini juga tidak biasa.

Pasti istri pejabat, kalau bukan pengusaha besar, batin Erlin.

"Kalau begitu mari saya antar ke bagian keuangan, Bu," Erlin memberikan tanda dengan tangannya mempersilahkan Lady untuk berdiri.

Lady berdiri dan mengikuti Erlin.

Satu langkah bagi Lady adalah dua langkah bagi wanita itu. Tentu saja membuat dia sedikit kewalahan untuk berjalan dengan cepat.

Lady tiba di sebuah ruangan yang letaknya persis di balik tembok area resepsionis tadi.

"Bu Denia, ini Bu Amara, pembeli unit di lantai tujuh." Erlin memperkenalkan Lady.

"Oh, saya Denia. Silahkan duduk." Gadis berhijab yang usianya pasti di bawah Erlin ini mengurai senyum manis sambil mempersilahkan Lady duduk di hadapannya.

"Jadi, Bu Amara minta bayar hari ini, dan langsung ditempati. Bu Amara, bisa langsung dengan Bu Denia ya. Saya tinggal ke lantai tujuh untuk mengecek unit supaya Bu Amara masuk sudah sangat nyaman. Nanti saya kemari lagi." Tanpa menunggu jawaban, Erlin meluncur pergi. Tentu saja tanpa lupa mengibaskan rambutnya terlebih dahulu. Mungkin sudah jadi gaya khas dia.

Lumayan juga, tanggap sama kebutuhan customer, kata Lady dalam hati.

"Saya mau identitas saya tidak keluar. Biar semua orang tahunya nama pembeli adalah Amara. Kalau sampai bocor, saya akan komplain." Lady berkata tegas pada bagian keuangan.

Denia sedikit bergidik ngeri melihat sikap dingin Lady. "Baik, Bu Amara. Yang tahu identitas Ibu hanya saya dan bagian legal. Boleh saya pinjam KTP dan NPWP Ibu? Sekalian saya hubungi tim legal untuk menyiapkan perjanjian."

Lady membuka tas yang dipangkunya dan menyerahkan apa yang diperlukan.

"Maaf, untuk pembelian cash, cash keras, atau-"

"Saya bayar dengan cek sekarang, lunas. Berapa harus saya tulis?" Lady memotong kalimat Denia.

Denia meneguk ludah beberapa kali sebelum sanggup lanjut bicara.

"Ini, Bu." Denia menyodorkan sederetan angka yang ia tulis pada selembar kertas. Dia tuliskan juga nama penerima cek. "Saya fotokopi KTP dan hubungi tim legal dulu ya, Bu."

Pelanggan seperti ini memang menguntungkan, tapi ngeri-ngeri sedap, batin Denia.

Denia segera menghubungi tim legal untuk menyiapkan semua perjanjian. Tak butuh waktu lama, bahkan tidak sampai satu jam semua proses jual beli telah selesai dilakukan. Begitupun Erlin sudah siap sedia menunggu Lady.

"Terima kasih banyak Ibu Amara, sudah jadi customer kami. Ini kartu nama saya, kalau ada yang perlu saya bantu lain kali, kontak saja." Erlin mengulurkan kartu nama dirinya. "Mari, saya antar ke unit Bu Amara."

Lady memasukkan kartu nama itu ke dalam tas dan kembali berjalan beriringan dengan Erlin.

"Saya bisa pakai petugas kebersihan dari sini?" Lady akhirnya membuka mulut.

Entah kenapa ia suka dengan cara kerja Erlin, tapi merasa tidak nyaman dengan sikap ramah yang berlebihan.

"Bisa. Kami juga menyediakan jasa kebersihan untuk itu. Ibu mau dibersihkan tiap hari atau kondisional juga bisa. Dan-"

"Nanti kita chat di whatsapp aja, biar lebih jelas," tukas Lady.

"Baik, Bu." Erlin langsung menutup mulutnya. Rasanya seperti orang menyanyikan lagu di atas panggung, tapi tiba-tiba mikrofon diambil oleh dewan juri. Menyakitkan.

Sepanjang perjalanan menuju unit, Erlin sudah diam seribu bahasa. Tak berani lagi berkata apa-apa.

Daripada gue dicekik. Nih orang cantik tapi psikopat, batinnya.

"Ini unitnya, Bu. Dan ini dua key card. Mau saya temani atau tidak?" Erlin menunduk sambil menyerahkan dua buah kartu.