webnovel

Rahim Untuk Anakku

Embun, terpaksa harus menerima kerja sama sewa rahim karena ia membutuhkan uang untuk melunasi hutang almarhum ayahnya. Selain itu, ia ingin merasakan menjadi seorang wanita seutuhnya dengan menjadi seorang ibu, tanpa harus menikah karena traumanya terhadap laki-laki. Lady, istri mandul yang berusaha untuk menutupi rahasianya dari sang suami, nekat berselingkuh dengan dokter yang membantu proses sewa rahim agar mau membantunya. Dokter itu menggunakan sel telur Embun dalam prosesnya. Bencana terjadi ketika perselingkuhan itu mulai terbongkar. Cerita ini penuh intrik, tetapi tetap dibalut dengan romantisme.

Freddy_San · Urban
Not enough ratings
31 Chs

Dekat Bersama

Tak ingin melukaimu dengan hadirku

Tak ingin menyayatmu dengan dekatku

Aku yang memilih tiada

Aku yang memilih terlupa

******

Mereka berbincang banyak hal sepanjang perjalanan. Tak ada pembicaraan serius. Hanya obrolan ringan untuk saling mengenal.

"Makasih ya, Mas Pandu. Tuh kosan saya." Embun menggerakkan telunjuknya pada deretan bangunan yang berjarak sekitar 20 meter dari tempat mereka.

Sengaja Embun minta berhenti di situ, agar tidak ada omongan tetangga melihatnya pulang bersama pria tak dikenal, bermobil pula.

"Ini masih hujan. Apa nggak sebaiknya saya antar sampai depan kos, Mbun?" Pandu menoleh pada gadis itu.

Nanti cantikmu luntur, kan sayang, batin Pandu.

"Santai aja, Mas. Saya bukan mermaid, yang kalau kena air terus kaki saya berubah jadi sirip. Kehujanan sebentar, langsung dibilas. Aman." Gadis ini sedikit heran. Dia bisa berkomunikasi dengan santai pada Pandu yang baru saja kenal. Tidak biasanya seperti ini. Bahkan rekan kerja Embun yang sudah hampir dua tahun bersama, belum bisa membuat ia santai untuk mengobrol lama.

Bertemu Pandu seolah bertemu dengan kawan lama yang memang sudah akrab.

Mungkin pembawaan dia yang hangat dan bersahabat, membuat siapapun mudah merasa dekat dan nyaman, pikir Embun.

"Haha, bukan gitu. Kasihan aja kamu harus lari-lari. Yakin diantar sampai sini doang? Jas saya bawa aja." Pandu berusaha meraih jas yang ia lemparkan ke jok belakang.

Embun menahan tangan itu.

"Nggak usah, Mas."

Beberapa detik mereka saling terpaku. Tatapan beradu, tiba-tiba menghadirkan rasa hangat di saat hujan seperti itu.

Pandangan Pandu terpenjara dalam netra Embun yang mampu menghadirkan kedamaian. Ingin rasanya tetap tinggal di sana. Teduh, tenang, menentramkan.

Ijinkan aku bersemayam dalam damaimu, ucap Pandu dalam hati.

"Eh, maaf. Saya pulang dulu, Mas. Sampai ketemu lagi." Embun segera turun dari mobil dan berlari kecil.

Pandu hanya mampu memandangi punggung gadis itu menjauh. Posisi tubuhnya mematung, masih seperti tadi. Hanya mata yang bisa terus bergerak mengikuti langkah Embun.

Embun berlari bukan hanya menghindari hujan, tapi lebih tepat menghindari pesona Pandu yang mulai menghanyutkan dirinya.

Mata itu. Tenang tapi menghanyutkan. Ada hasrat yang siap menghisap dan menelanku utuh. Melumatku dengan penuh seluruh. Aku takut.

Embun takut tak mampu menolak gairah itu. Tatapan netra Pandu seperti pasir hisap yang bergeming. Diam di dalamnya, akan membuat gadis itu terperosok secara perlahan. Melawan dengan keras, hanya akan membuatnya terperangkap makin dalam, dan makin cepat.

Pandu meninggalkan tempat itu setelah memastikan Embun masuk dengan selamat di rumah petak sederhana tempatnya tinggal.

Embun menutup pintu kos dan menyandarkan punggungnya. Dia berusaha keras mengatur nafas yang lebih memburu dari biasanya.

Tuhan, selama ini aku sulit merasa nyaman dengan seorang pria. Kenapa kini kau hadirkan dua rasa, di hari yang sama?

Embun bergegas meletakkan tas, dan menuju kamar mandi. Ia berusaha menyegarkan pikiran dengan mengguyur air dingin di seluruh tubuh, dari ujung kepala hingga ujung kaki. Beberapa puluh menit dia membiarkan dirinya di bawah shower.

Ini memang bukan cinta. Ini hanya sebatas rasa aman dan nyaman. Bersama mereka, aku merasakan itu. Mereka membuatku jauh dari rasa luka. Segudang masalah di depan, seolah tak lagi ada. Beban berat menjelma menjadi seringan bulu tertiup angin.

Selesai mandi, Embun mengambil telepon genggam di dalam tas.

Aku udah di kosan.

Dikirimkannya pesan singkat ke Alaska.

Brrr.... Brrr....

Nampak wajah Alaska sedang rebahan di atas kasurnya.

"Tumben video call," kata Embun.

"Ya dong. Masa sama pacar telponan doang. Rugi amat. Nggak bisa liat wajah cantikmu yang bikin aku merindu," jawab Al.

"Sok romantis." Embun tertawa ngakak.

"Udah ketemu sama orangnya? Siapa namanya? Terus mau ngapain?" Lelaki itu bangkit, duduk dan bersandar di dinding.

"Sabar, Pak. Satu per satu nanyanya. Jadi gini, intinya aja ya. Mereka nawarin aku untuk beasiswa ke luar negeri sambil kerja part time di tempat mereka. Cuma diploma satu sih, Al. Aku jawab masih pikir-pikir." Embun terpaksa mengarang cerita, jika memang ini tak layak dianggap sebagai kebohongan.

"Mereka nawarin itu? Kok bisa? Kenapa kamu?"

"Aku dulu pernah isi-isi formulir. Juga tes di beberapa tempat memang terkait beasiswa, Al. Kan kamu tahu, aku memang pengen banget kuliah. Nah, salah satu dari itu ya beasiswa yang mereka tawarkan ini. Nggak gratis sih. Aku harus kerja di tempat mereka selama 2 tahun sebagai gantinya. Menurutmu gimana?" Embun memancing pendapat Al tentang ini.

"Setahun doang? Apa dua tahun di luar negerinya?" Al malah balik bertanya.

"Setahun doang di luar negeri, Al. Habis itu balik ke Jakarta, kerja di mereka setahun."

"Hmmm, kamu minat? Kalau memang pengen, nggak papa kamu ambil, Mbun. Kesempatan nggak datang dua kali. Aku masih kuat kok nahan rindu setahun. Asal kamu janji nggak aneh-aneh, dan nggak ninggalin aku." Alaska mengurai senyum tapi tetap saja ada kilatan sendu di matanya.

Baru juga jadian, masa udah ditinggal, pikirnya.

"Kamu yakin, Al? Nggak marah, kan? Memang sih hanya satu tahun kok. Kalau soal nggak ninggalin, aku jelas nggak bisa janji." Embun berbicara sambil mengangkat satu alisnya.

"Kenapa nggak bisa janji? Kamu mau cari cowok lain di sana? Nggak ada yang lebih ganteng dari gue. Gue yang the best buat elo, Mbun!" Lelaki itu terlihat gusar.

"Ya namanya aja beda negara. Kalau nggak ninggalin gimana caranya. Aku tetep di Jakarta dong namanya. Hihihi. Serius amat sih, Om." Embun terkekeh melihat Al yang terkejut dengan guyonannya.

"Kampret. Awas ya, ngerjain aku. Bikin panas dingin tau omonganmu tadi!" Al pura-pura cemberut.

"Cie cie, yang ambekan. Jadi gimana, Al? Boleh aku pergi satu tahun?"

"Boleh, asal cuma satu tahun. Nggak lebih," jawab Al tegas.

"Udah maem?" Alaska memandang lembut wajah gadis yang memenuhi layar gawainya.

"Udah. Tadi ngobrol sekalian makan kok. Kamu udah juga, kan?"

"Aseeeeek. Sekarang ada yang nanyain aku udah makan apa belum. Huhuiiii." Al bersorak.

"Hahaha. Dasar. Norak ih. Kan cuman nanya doang. Bukan mo nyuapin." Embun tergelak.

"Oh, jadi mau nyuapin juga ya. Besok ya. Hahaha."

"Eh, Mbun. Nafasku tadi pas pulang sesak banget. Susah buat nafas lega," kata Al sembari memegangi dada. Lelaki itu mengernyitkan dahinya.

"Serius? Masuk angin kali. Minum anget, terus badan dibalur sama minyak angin. Selimutan. Tidur sana gih," ucap Embun terlihat khawatir.

"Bukan masuk angin, tapi karena kamu pergi. Separuh nafasku kan di kamu. Eaaaaa...." Al bersorak girang, berhasil memperdaya Embun.

"Adududuh. Sakit gigi dan sakit hati itu sama-sama diawali dari yang manis-manis. Please, ya. Jangan bicara dan janji manis, untuk kemudian sisakan sakit," tukas Embun.

"Aku janji, nggak bakal bikin kamu sakit hati. Aku janji, akan selalu berusaha membuatmu bahagia. Sudah cukup kamu hidup menderita. Aku ingin mengganti semua air mata kesedihanmu, menjadi air mata kebahagiaan. Kita adalah dua masa lalu yang berbeda, ditakdirkan untuk satu masa depan yang sama. I promise you," kata Al tulus.

Gadis mana yang tidak akan meleleh mendengar itu semua. Hati membeku sekeras batu sekalipun, tak ayal akan mencair seketika. Begitu pula dengan Embun.

Serpihan hati, kepingan harap, perlahan mulai tersusun di tempatnya.