webnovel

Rache

Puncak dari rasa sakit adalah kehilangan. Namun, Puncak dari kehilangan itu sendiri adalah mengikhlaskan. Tuhan sudah merencanakan takdir manusia. Siapapun tidak bisa lepas darinya sejauh apa ia pergi dan sejauh apa dia berlari. Aksara tau, tuhan sudah melukiskan sebuah takdir dengan apiknya jauh sebelum ia lahir. Tapi bisakah ia mengeluh? Bisakah ia berkeluh kesah pada tuhan. Aksara tau, banyak orang yang lebih buruk keadaannya dibandingkan dirinya. Tapi untuk saat ini, tolong biarkan Aksara mengeluh sekali saja. Tuhan memang maha baik, jadi tolong ijinkan ia mengeluh. Meratapi apa yang sudah terjadi. Hidupnya yang sudah mulai tertata, bak bangunan megah dengan pilar pilar tinggi menjulang, roboh dalam satu kedipan mata. Semuanya pergi satu persatu. Meninggalkan Aksara dalam sendu sembiru badai gelombang kehidupan yang mungkin tak berkesudahan.

Eshaa_ · Realistic
Not enough ratings
312 Chs

Kesialan Sarah

Sungguh, Aksara kesal rasanya sampai ingin menangis dan mengadu pada ibuk sekarang. Tapi yang benar saja, Akrasa Haidar Adyatma mana mungkin menangis, mentok-mentok merengek sambil mengadu pada ibuk. Tapi demi Mas Agam yang mengompol di sekolah waktu kelas 5 sd, kelakuan kakak-kakaknya sudah sangat keterlaluan saat ini.

Bagaimana bisa mereka memaksa si bungsu Adyatma untuk memakai rok span hitam dan seragam batik khas perkumpulan ibu-ibu arisan—yang tentu saja milik ibuk. Belum lagi dengan bedak tebal yang warnanya begitu kontras dengan kulit Aksara yang kuning langsat. Lalu untuk sentuhan terakhir katanya, Arjuna mengoleskan lipstik merah cetar entah milik siapa—karena ibuk juga bukan tipe wanita nyentrik—pada bibir sang adik dan memakaikannya sebuah jilbab pashmina berwarna hitam senada dengan rok yang ia kenakan.

Mas Abim juga tidak mau kalah segera memaksa adik bungsunya untuk memakai kaca mata hitam milik Mas Yudhis.

Alasan diberlakukannya Aksara seperti itu sore ini adalah karena anak itu kalah main karambol. Sudah tau tidak jago main dan kakak-kakaknya ini jahilnya luar biasa, masih saja sok-sokan ingin ikut.

Aksara mendengus kesal menatapi Mas Abim dan Juna yang tertawa hingga berguling-guling di lantai sambil memegangi perut. Bahkan ia bisa melihat Mas Abim sampai mengeluarkan air matanya saking puasnya tertawa.

Sedangkan Mas Yudhis sudah berhenti tertawa sejak beberapa saat lalu. Putra sulung abah dan ibuk itu kini sedang sibuk mengambil potret adiknya yang duduk tegap dengan wajah masam di ruang tamu.

"Ku upload ke instagram ya Rah," pinta Mas Yudhis.

Aksa melengos tidak peduli, toh jika ia tidak mengijinkan Mas Yudhis tetap akan memposting aibnya lagi. Bukan sekali dua kali sebenarnya hal ini terjadi. Aksara sudah sering nangkring dalam postingan kakak-kakaknya di media sosial—bahkan tidak hanya sekali dua kali, dan kebanyakan dari itu semua adalah foto aibnya yang bahkan bisa membuat orang mengingat tuhan walau hanya melihatnya sekilas.

Aksara berdiri, berjalan dengan susah payah menuju dapur. Rok milik ibuk terlalu kecil untuknya, belum lagi modelnya span. Memakai ukuran pas saja sudah sulit untuk berjalan apalagi jika kekecilan. Bahkan Aksa saja nyaris terjungkal beberapa kali hanya karen rok sialan itu. Tolong ingatkan pemuda itu untuk membakar rok milik ibuk yang satu ini nanti, tidak peduli jika ibuk akan murka atau semacamnya.

"Sekalian ambilin Aa minum dong Rah. Haus nih ketawa mulu," teriak Juna.

Aksara mendengus memilih tidak menanggapi dan tidak menyanggupi suruhan kakak ketiganya itu, "Ambil sendiri. Punya tangan punya kaki di pake jangan cuma di jadiin pajangan doang,"

"Lha kok ngamuk," seru Juna, "Lo sendiri ya yang ngeyel mau ikut main karambol,"

Mas Abim mengangguk membenarkan, "Salah sendiri,"

Aksara mencebik kesal, bibirnya merengut menatap kakak sulungnya, "Mas Yud,"

Mas Yudhis yang tengah berkutat dengan ponselnya menoleh, "Kenapa? Laper?"

"Itu si Juna sama Mas Abim," adunya.

Mas Yudhis mengangguk-angguk, tanpa banyak bicara segera melemparkan kamus bahasa inggris milik Aksara yang tebalnya sudah mengalahkan segala dosa Mas Abim.

Si bungsu tersenyum penuh kemenangan ketika melihat Mas Abim mengaduh kesakitan karena lemparan itu.

"Mas kok tega sama aku sih," protesnya sembari memegangi jidatnya yang memerah.

"Ya makanya jangan di gangguin Sarahnya,"

"Ck iyaiya," Mas Abim mengalah, segera beranjak, "Aku mau manggung di Cafe Komet nih. Mau ikut nggak?"

"Mau," Juna berseru paling awal, "Cafe Komet biasanya rame cewek-cewek cantik kalo malem gini,"

"Sarah ikut ga Rah?"

Aksara berpikir beberapa kali sebelum mengangguk, "Bentar aku ganti baju dulu. Tungguin,"

"Halah ribet, pake baju itu aja," Juna kembali tertawa hingga lemparan sendal swallow milik abah membuatnya diam. Jangan bertanya siapa pelakunya.

***

Aksara merengut kesal, berbeda dengan ketiga kakaknya yang tertawa melihat tingkah si bungsu, "Bodo amat awas aja nanti Aksa aduin ke ibuk,"

"Dih ngaduan," Mas Abim menggerutu, "Kan kita juga nggak tau kalau bedak sama lipstiknya waterproof Rah,"

Aksara masih mencebik, fokus pada kaca kecil dan kapas—yang sudah di tetesi cairan cleanser untuk membersihkan wajahnya dari make up milik ibuk yang kini terlihat begitu menyeramkan baginya—di tangannya.

"Nanti Mas beliin jajan. Jangan ngambek," bujuk Mas Yudhis.

Aksara menoleh lalu mengangguk singkat, "Gitu dong. Katanya udah kerja walaupun belum lulus tapi kok nggak pernah bagi-bagi duit ke adeknya,"

"Terus uang bulanan buat jajan sejuta itu dapet dari mana kasep?" Mas Yudhis melirik adik bungsunya sekilas, dasar Aksara.

"Aksa teh tau nyaho mas. Taunya itu dari abah," [Aksa nggak tau mas]

"Abah cuma ngasih sia enam ratus rebu ya bocil," sahut Mas Abim, "Kaya nih anak diem-diem," lanjutnya.

"Sugih seko ndi tak takon? Maraneh moal nyaho naon nu ngges aing alami," [kaya dari mana gue tanya?] [Lo gabakalan tau apa yang udah gue alamin]

Plak

Sebuah pukulan keras mendarat di kepala tampan Aksara, Juna pelakunya, "Kalo ngomong nggak usah di campur-campur. Lo kata gue google translate berjalan?"

"Sok sokan apa yang gue alamin padahal tiap bulan beli pretelan ironman," cibir Mas Abim.

"Lho larang kui larang," seru si bungsu tak terima . [Loh, mahal itu mahal]

"Mahal juga percuma kalo cuma di pajang. Mending duitnya di tabung buat beli motor," Mas Yudhis menasehati.

Aksa menggeleng ribut, "Motor mah jatahnya abah,"

"Dasar bocil," Juna mendengus, "Mas kata ibuk, ibuk sama abah langsung ke jogja. Nikahannya Pakdhe Anas di majuin jadi 5 hari lagi. Lusa kita di suruh nyusul,"

"Ngebet kawin apa begimane sih itu pakdhe lu Jun?" tanya Mas Abim dengan wajah masamnya, "Susah ini kalo bolos nggak di hari Jumat, Sabtu, Minggu,"

"Pakdhe lu juga sangkuriang," kesal Juna, mengambil ancang-ancang untuk melempar kakaknya dengan raket elektrik yang kata Mas Yudhis milik Dek Mia.

"Udah sampe ini jangan berantem ah," lerai Mas Yudhis sembari melepaskan sabuk pengaman, "Ayo turun. Rah jangan bengong,"

"Teu bengong Mas. Cuma isin aja banyak orang," [nggak bengong] [malu aja]

"Kaya punya malu aja," dengus si anak ketiga, "Udah ayo turun,"

Aksara menggeleng cepat, "Moh,"

Mas Abim menarik napas panjang, segera turun dari mobil kakaknya lalu membuka pintu belakang sebelum kemudian menarik sang adik setelah terlebih dahulu melepaskan sabuk pengaman yang melilit tubuh Aksara, "Turun buruan Sarah,"

"Nggak mau. Malu,"

Mas Yudhis mendengus, "Udah ayo ah. Ngapain malu. Pake baju itu,"

Aksara menggeleng, tetap tidak mau.

Mau bagaimana lagi, tidak ada pilihan lain. Mas Yudhis maju beberapa langkah sebelum akhirnya menggendong tubuh tinggi Aksara seperti karung beras.

Mas Abim dan Arjuna tertawa mengejek segera mengundang dengusan dari sang adik.

"Iya mas turunin atuh. Malu ini. Nanti aku jalan sendiri mass," rengeknya.

"Nggak mau. Nanti kabur, siapa yang bilang mau ikut Mas Abim manggung tadi?"

Aksara mencebik kesal, matanya memincing menatap kedua kakaknya di belakang sana yang masih saja tertawa. Dasar kakak durhaka, lihat saja nanti, Aksa pasti akan membalasnya.