webnovel

Rache

Puncak dari rasa sakit adalah kehilangan. Namun, Puncak dari kehilangan itu sendiri adalah mengikhlaskan. Tuhan sudah merencanakan takdir manusia. Siapapun tidak bisa lepas darinya sejauh apa ia pergi dan sejauh apa dia berlari. Aksara tau, tuhan sudah melukiskan sebuah takdir dengan apiknya jauh sebelum ia lahir. Tapi bisakah ia mengeluh? Bisakah ia berkeluh kesah pada tuhan. Aksara tau, banyak orang yang lebih buruk keadaannya dibandingkan dirinya. Tapi untuk saat ini, tolong biarkan Aksara mengeluh sekali saja. Tuhan memang maha baik, jadi tolong ijinkan ia mengeluh. Meratapi apa yang sudah terjadi. Hidupnya yang sudah mulai tertata, bak bangunan megah dengan pilar pilar tinggi menjulang, roboh dalam satu kedipan mata. Semuanya pergi satu persatu. Meninggalkan Aksara dalam sendu sembiru badai gelombang kehidupan yang mungkin tak berkesudahan.

Eshaa_ · Realistic
Not enough ratings
312 Chs

Ada Gebetan

Kata abah dan ibuk, jika ingin di hargai maka kita harus menghargai orang lain terlebih dahulu. Mendengarkan orang yang sedang berbicara tanpa menyela misalnya—walau beberapa kali di langgar oleh Adyatma bersaudara terutama Mas Abim dan Arjuna.

Abah selalu mewanti-wanti pada Yudhistira dan adik-adiknya untuk selalu akur, menghargai satu sama lain dan menyelesaikan masalah dengan kepala dingin.

"Kalian boleh emosi, tidak ada yang melarang. Tapi perlu diingat, jangan selesaikan masalah dengan urat. Dinginkan kepala dulu baru kamu boleh merundingkan masalahnya baik baik, jika tidak abah pastikan kalian akan menyesal di belakangan," ucapan abah satu itu bagai petuah yang wajib di patuhi oleh Adyatma bersaudara. Walaupun memang si bebal Mas Abim dan Arjuna beberapa kali melanggar. Sumbu pendek—itu kata ibuk.

Pernah sekali, Mas Abim dan Arjuna bertengkar serius. Mas Abim menuduh Juna telah menyebarkan rumor bahwa anak kedua ibuk dan abah itu berpacaran dengan salah satu dosen di fakultas hukum. Arjuna yang tidak merasa menyebarkan rumor tersebut tentu tidak terima. Pertengkaran hari itu tidak terelakkan. Tidak tanggung-tanggung keduanya di buat bonyok oleh satu sama lain.

Abah marah jelas, saat pulang kerja bukannya di sambut dengan hangat oleh keluarganya justru di hadiahkan pemandangan di mana Mas Abim dan Arjun yang menggelepar di ruang tengah dengan wajah bonyok dan ibuk yang melotot marah sembari memegang sodet panas.

Aksara meringis ketika mengingatnya, pasalnya peristiwa itu baru terjadi beberapa bulan yang lalu—yang sebenarnya hanya kesalahpahaman belaka. Semoga saja hal seperti itu tidak terjadi lagi di masa depan, anak itu berujar dalam hati.

Abah juga selalu menekankan anak-anaknya untuk tidak tinggi hati dan memamerkan apa yang mereka punya. Tapi lihat saja di depan sana, Mas Abim dengan senyum lebarnya bernyanyi sembari memainkan gitar kesayangannya yang di beri nama bahenol. Tebar pesona sana sini hingga membuat anak gadis memekik karenanya. Sombong sekali. Bukankah itu juga yang di namakan pamer? Pamer ketampanan.

Menyadari wajah masam sang adik, Arjuna menyeringai jahil, "Nathalie pasti terpesona tuh sama Mas Abim. Secara kan Mas Abim ganteng mirip Arya Saloka,"

Aksara menoleh, melotot pada pemuda yang dua tahun lebih tua darinya itu, "Mukaku juga ganteng mirip Iqbaal Ramadhan,"

"Ya kalo gebetanmu sukanya nonton Ikatan Cinta dari pada Dilan gimana?" tanya Arjuna sembari melirik Nathalie yang entah kenapa bisa berada di cafe ini.

"Ya nggak mungkin lah. Toh Mas Abim mukanya lebih mirip Tukul Arwana di banding Arya Saloka,"

Arjuna merengut tak terima, hei wajahnya dan Mas Abim itu sama-sama mirip ibuk walaupun mereka berdua tidak terlalu mirip, "Kamu aja tuh mukanya mirip Sule,"

"Sstt jangan berantem," Mas Yudhis menengahi, "Hargai itu loh Abim lagi tampil sama temen-temennya di depan,"

"Nggak mau lihat Mas Abim," rajuk si bungsu, "Dia tebar pesona ke gebetanku,"

"Gebetan doang belum pacar," Juna kembali menyulut, sukses mengundang pelototan kesal dari sang adik.

"Udah udah di bilang jangan berantem juga,"

"Tau tuh si Juna,"

Arjuna berdecak, lebih memilih kembali memusatkan pandangannya pada Mas Abim dan teman-temannya yang tengah tampil di depan sana membawakan lagu Sesuatu di Jogja milik Adhitia Sofyan.

Mendengarnya Arjuna jadi rindu Jogja, kota kelahirannya. Jogja dan Bandung. Dua kota yang berbeda. Dua duanya sama sama istimewa.

Ia sempat punya teman kecil di sana, namanya Melati. Dulu saat usianya masih 10 tahun, Juna pernah menginap di rumah uti—sendiri tanpa Abah, Ibuk, dan saudara-saudaranya—kira-kira dua minggu lamanya. Dan selama itulah Melati selalu menjadi teman bermain Arjuna. Entah bagaimana kabar anak manis itu Juna tidak tau.

"A' Ajun,"

Arjuna menoleh, Aksara memanggilnya. Pemuda itu menaikkan sebelah alisnya, tumben sekali anak itu mempunyai sedikit sopan santun, "Apa?"

"Tadi Nathalie lihat gue di gendong Mas Yudhis nggak ya?"

Arjuna tersenyum jahil, "Pasti lah. Orang dia masuknya barengan sama kita kok,"

Si bungsu melotot, "Yang bener?"

"Yaelah ngapain juga gue bohong," balas sang kakak.

Aksara menggigit bibirnya gelisah, sesekali melirik Nathalie yang duduk di sudut cafe—bersama teman-temannya—tak jauh dari posisi mereka sekarang.

"Mas Mas,"

Mas Yudhis segera menoleh, "Kenapa Rah?"

"Tadi waktu Mas gendong Aksa kira-kira Nathalie lihat nggak ya?" tanyanya sembari berbisik.

Mas Yudhis berpikir sebentar lalu menggeleng, "Nathalie gebetanmu itu kan? Nggak deh kayanya, orang dia baru masuk setelah Abim mulai tampil kan?"

"Eh emang iya?"

Mas Yudhis mengangguk singkat.

Aksara mendengus kesal, segera berbalik untuk menatap Arjuna yang nyengir lebar tanpa sebab, "Bercanda doang Rah. Lagi di luar loh ini jangan anarkis,"

Namun Aksara tidak peduli, anak itu segera menendang kaki kakaknya hingga si mahasiswa meringis sakit, "Rasain tuh,"

"Sarah jadi ikutan anarkis ah. Akibat dari sekamar sama Mas Abim nih. Mas Yud gue tukeran sama Mas Abim ya biar gue sekamar sama Sarah," pintanya.

Mas Yudhis mengangguk, tidak masalah. Toh sama saja bukan siapapun yang menjadi roomatenya asal bukan kucing garong peliharaan Mas Abim yang selalu membuatnya kemusuhan.

Aksara menggeleng ribut, menatap kedua kakaknya secara bergantian dengan horor, "Aku sama Mas Abim aja nggak papa kok. Dari pada sama siluman monyet mending sama Mas Abim. Nggak masalah walaupun Mas Abim anarkis,"

"Ya—" ucapan Mas Yudhis terpotong ketika anak sulung Abah dan Ibuk itu merasakan tepukan di bahunya, "Oh udah selesai?"

"Masih break sih bentar lagi lanjut," jawab Mas Abim.

"Mas, apapun yang terjadi jangan pindah kamar," seru Aksara panik.

Mas Abim mengernyit, "Kata ibuk udah nggak ada yang boleh pindah kamar kan? Emang kenapa sih?"

Aksara menunduk Arjuna tanpa berpikir panjang, "Itu tuh si Juna mau pindah kamar,"

"Yelah bercanda doang baperan amat,"

"Mas Yudd,"

"Juna,"

"Iya iya maaf,"

"Gimana penampilan gue? Keren kan?" Mas Abim menaik turunkan alisnya.

Aksara mendengus kesal, "Kata abah nggak boleh pamer. Tuh juga tadi kenapa ngapain Mas tebar pesona. Sok ganteng banget,"

"Takut si Nathalie kecantol sama Mas kan?"

Aksara mencebik kesal, "Bodo amatlah ngeselin,"

"Ngambek si bocil," seru Juna, "Eh tapi nih Rah, si Nathalie tuh suka ke sini loh tiap malem. Sengaja banget mau lihat Mas Abim tampil,"

"Bohong,"

"Tapi emang iya kok Rah. Tiap Mas nemenin Abim tampil, Mas suka lihat Nathalie sama temen-temennya," sahut Mas Yudhis.

"Kebetulan doang kali," jawab si bungsu, "Bisa aja kan Cafe ini cafe langganannya Nath,"

Mas Yudhis mengedikkam bahunya, "Kalo itu sih Mas nggak tau ya. Tapi jaga-jaga aja,"

"Tuh biar bisa ngerasain rasanya gebetan naksir abang sendiri," Mas Abim tertawa hingga beberapa pengunjung cafe menoleh ke arahnya, "Kena karma kan suka ngetawain Mas,"

"Belum tentu juga kali dia suka sama Mas pede banget,"

"Ya orang dari tadi dia lihatin mas terus. Fiks ini mah naksir,"

"Mas Yudd,"

"Abim,"

"Hati-hati loh Rah. Pacaran aja bisa putus apalagi ini yang cuma gebetan," Mas Abim kembali tertawa dengan riang. Bahagia karena berhasil membuat wajah sang adik berubah masam seketika, "Oh si Dika udah manggil, pergi dulu. Babay Sarah,"