webnovel

Rache

Puncak dari rasa sakit adalah kehilangan. Namun, Puncak dari kehilangan itu sendiri adalah mengikhlaskan. Tuhan sudah merencanakan takdir manusia. Siapapun tidak bisa lepas darinya sejauh apa ia pergi dan sejauh apa dia berlari. Aksara tau, tuhan sudah melukiskan sebuah takdir dengan apiknya jauh sebelum ia lahir. Tapi bisakah ia mengeluh? Bisakah ia berkeluh kesah pada tuhan. Aksara tau, banyak orang yang lebih buruk keadaannya dibandingkan dirinya. Tapi untuk saat ini, tolong biarkan Aksara mengeluh sekali saja. Tuhan memang maha baik, jadi tolong ijinkan ia mengeluh. Meratapi apa yang sudah terjadi. Hidupnya yang sudah mulai tertata, bak bangunan megah dengan pilar pilar tinggi menjulang, roboh dalam satu kedipan mata. Semuanya pergi satu persatu. Meninggalkan Aksara dalam sendu sembiru badai gelombang kehidupan yang mungkin tak berkesudahan.

Eshaa_ · Realistic
Not enough ratings
312 Chs

Anak Bungsu

Siapa bilang menjadi anak bungsu itu menyenagkan. Aksa akan dengan cepat mengundang ustad untuk meruqyah orang yang menyebarkan dekrit itu. Karena pada faktanya, menjadi anak bungsu itu tidak ada enak-enaknya. Apalagi sekarang, ketiga kakaknya sudah berdiri di depan kelas menyambut kepulangan adik bungsu mereka dengan senyuman lebar.

Sok memasang wajah berseri padahal Aksa tau, kakak-kakaknya tengah menyusun rencana busuk untuk menjalihinya nanti di rumah. Terlebih ibuk dan abah tengah pergi sekarang.

"Sarahhh," Mas Abim memekik.

Aksara yang masih berdiri terpaku di depan kelasnya hanya memalingkan wajahnya malu.

"Kamu nggak pulang Sa?" tanya Nathalie sukses mengagetkan pemuda itu.

Aksara tersenyum lalu menggeleng, "Mau pulang bareng?" untuk pertama kalinya Aksa mempunyai keberanian, setelah hampir dua tahun ia memendam perasaan kepada gadis cantik itu. Dan hanya memperhatikan segala gerak gerik Nathalie dalam kebisuan.

"Boleh kok—"

"Sarahhh,"

Sial, Aksara lupa tentang keberadaan makluk astral yang merangkap menjadi kakak-kakaknya itu.

"Aksarah ayo pulang. Mas Yudhis bawa mobil iki lho," seru Juna jahil, "Wah opo lagi apel karo pacarmu to?" [wah apa lagi apel sama pacarmu kah?]

Aksara melengos kesal, "Kayanya besok aja deh Nath. Peliharaanku berisik tuh,"

Nathalie melotot lucu, "Peliharaan?"

"Itu tuh," Aksara menunjuk kakak-kakaknya dengan dagunya, "Duluan ya Nath,"

"Iya Sa," gadis itu mengangguk.

***

"Ngambek terus aja kaya anak perawan," kompor Mas Abim.

Aksara di jok tengah mobil Mas Yudhis masih membisu, enggan berbicara dengan kakak-kakaknya.

"Jangan ngambek ntar jerawatan," sahut Mas Yudha.

"Nyaho tamana sia?" Arjuna justru memekik. [Tau dari mana lo?]

"Cuma ngasal sih. Tapi kalo lo percaya yowes," [yaudah]

"Gelo," Juna merengut, "Gue lagi ngambek sama Anna nih,"

"Ya terus gue harus bilang waw gitu?" tanya Mas Abim dengan matanya yang melotot, "Bujukin tuh si Sarah. Ngambek dia,"

"Bodo amat nggak peduli juga gue mah. Mau dia jungkir balik roll depan roll belakang. Mau manjat tower juga nggak ada pengaruhnya ama hidup gue," cetus Juna.

Mobil Mas Yudhis berhenti, sang empunya menoleh ke belakang menatap sang adik sengit, "Minta maaf sama Aksa sekarang,"

"Nggak mau,"

"Gue turnin nih," ancam si sulung.

Arjuna bersedekap dada, "Mana tega Mas nurunin adek lo yang paling ganteng ini di tengah jalan sore-sore,"

Tapi sepertinya Mas Yudhis tidak main-main kali ini, putra sulung ibuk dan abah itu segera melepas sabuk pengamannya, membuka pintu mobil sebelum melompat turun. Sontak Juna di buat gelagapan karenanya, tanpa pikir panjang pemuda itu segera berbalik menatap Aksa, "Iya sorry Rah, seriusan cuma bercandaan tadi,"

"Bercanda apaan gagal kan gue pulang bareng Nathalie," si bungsu bersungut jengkel.

"Y—ya ntar gue beliin martabak dah, dua biji,"

"Oke deal,"

Juna menarik napas lega, berbalik untuk memeriksa keberadaan Mas Yudha, "Loh, Mas Yudha kemana?"

Mas Abim yang sedang memainkan ponselnya menoleh, "Lagi ke alfa beri cemilan ntar malem mau begadang nonton film,"

"Gue ikut," Aksara segera berseru semangat.

Mas Abim segera menggeleng dengan tegas, tidak setuju, "Besok lu sekolah bocil nggak usah sok-sokan ikut begadang,"

"Gue bukan bocil ya," si bungsu kembali bersungut.

"Ngakunya bukan bocil tapi kalah main karambol aja mewek ngadu ke ibuk,"

"MAS YUDHISSS," teriak Aksa tepat saat Mas Yudhis kembali memasuki mobilnya. Si sulung sampai terlonjak karenanya.

"Kenapa? A' Ajun masih nggak mau minta maaf?" tanyanya panik. Bisa-bisa ibuk melemparkan sodet padanya nanti jika membiarkan si bungsu ngambek seperti ini.

"Mas Abim tuh ngeselin. Nggak mau ngajak gadang,"

"Lah ya anak kecil nggak boleh begadang Rah," Mas Yudhis mengingatkan.

Aksara merengut kesal, "Gitu ya kalian aduin ibuk nih,"

"Aduin aj—"

"Jangan," Mas Yudhis dan Mas Abim memekik bersamaan.

"Lo mau kita nggak dapet uang jajan?" Mas Abim melirik Juna kesal.

"Tega lo liat gue di lemparin sodet sama ibuk?" kali ini Mas Yudhis mendengus, "Oke kamu boleh ikut asal sore ini tidur,"

"Bangunin tapi, awas aja kalo sampe Sarah kebablasan tidurnya,"

"Ngakunya nggak mau di panggil Sarah tapi diri sendiri manggilnya begitu," cibir Juna sontak menimbulkan tatapan horor dari kedua kakaknya.

Aksara tidak banyak bicara, anak bungsu itu segera beringsut maju, menarik rambut kakaknya tanpa ampun. Matanya melotot penuh dendam, kekesalannya memuncak, tidak menghiraukan erangan kesakitan dan pekikan berisi berbagai kata maaf yang duicapkan mahasiswa itu.

Mas Abim meringis lalu menatap Mas Yudhis, "Pulang ajalah dari pada nanti orang di luar denger. Dikira ada penganiayaan nanti,"

"INI NAMANYA PENGANIAYAAN BELEGUG," teriak Juna. Wajahnya total memerah dengan kedua tangan memegangi rambutnya. Tapi sepertinya Aksara tidak cukup puas sehingga pemda itu kini memukuli tubuh sang kakak dengan raket elektrik untuk memberantas nyamuk yang entah kenapa ada di mobil Mas Yudhis.

"Ini baru gue pukul ya Jun, belum gue setrum,"

Arjuna menelan ludahnya dengan susah payah, beringsut mundur ketika Aksara dengan senyum psikopatnya menatap sang kakak dengan tatapan penuh dendam, "Habis lu sekarang Juna,"

Mas Abim menggelengkan kepalanya, pemuda yang duduk di kursi penumpang itu menghela napas lelah lalu segera merebut raket elektrik dari tangan sang adik bungsu sebelum kejadian tidak di inginkan benar benar terjadi, "Jangan berantem ya. Duduk aja yang anteng. Kasian tuh Mas Yudhis nggak konsen nyetirnya,"

Aksara merengut namun tetap menurut, namun matanya masih menatap tajam pada Juna yang kini telah menarik napas lega. Selamat.

"Kata ibuk minggu depan kita ke Jogja. Pakdhe Anas mau nikah," ujar Mas Yudhis sukses mengalihkan tatapan Aksara.

"Pakdhe Anas siapa nggak kenal. Nggak usah datenglah," jawab Juna tanpa pikir panjang.

Mas Abim mendengus, "Ntar nggak dapet angpao dari uti nyaho sia,"

"Angpao doang nggak warisan. Cepet-cepet matilah biar kecipratan warisannya gue,"

"Kurang ajar," Mas Yudhis menggeleng tidak habis pikir, "Otak lu kriminal bener kayanya Jun,"

"Bukannya kriminal mas, cuma mau berpikir realistis aja," Arjuna menepuk dadanya bangga sukses membuat Aksara mengernyit jijik melihatnya, "Kenapa harus angpao kalau warisan lebih menggiurkan,"

"Itu sama aja lu doain uti cepet mati bego. Toh nanti kita cuma kecipratan dikit," jelas Mas Abim, "Pasti kebanyakan warisannya ke Pakdhe Anas, Abah sama anaknya yang lain. Kita paling dapet cuma cukup buat beli rokok,"

"Loh Mas Abim ngerokok? Aduin ibuk nih," seru Aksara heboh.

"Nggak gitu maksudnya Sarah," Mas Yudha mencoba menjelaskan, "Paling juga kita cuma dapet sedikit kalo bagi-bagi warisan,"

"Kalian itu jahanam bener ya. Uti masih sehat walafiat bukannya di doain panjang umur malah mikir pembagian warisan," Juna berdecak, menggelengkan kepalanya beberapa kali.

"Nah ini nih contoh manusia nggak tau diri yang cuma jadi beban dunia. Enyah aja dah lu," Mas Abim meradang, hendak melemparkan raket elektrik di tangannya sebelum Mas Yudhis yang terlebih dahulu menghentikan aksinya.

"Punya Dek Mia itu jangan di rusakin,"

"Oh Mia anak kedokteran itu? Gebetan lu Mas?"

"Ya gitu, gatau kalo nanti,"

"Mas, mas tuh cupu soal beginian. Sini gue bantuin," tawar Juna bangga.

"Mas Yudhis ogah kali di bantuin sama jomblo karatan kaya lo," sungut Aksara, "Mending diem aja lah lu. Sekali ngomong bikin emosi mulu,"