Oma Lin menyambut Emma dengan gembira dan menunjukkan kamarnya yang telah ia persiapkan dengan baik. Berbeda dengan kamar Emma di panti asuhan, di sini ia boleh menghias kamarnya sesuka hati. Oma Lin tahu Emma sangat menyukai tanaman sehingga ia sengaja menaruh banyak pot berisi tanaman cantik di jendela kamar gadis itu.
"Terima kasih banyak, Oma. Ini indah sekali..." Emma mencium pipi Oma Lin yang keriput dan menaruh ranselnya di atas tempat tidur. Ia mengeluarkan isinya yang sedikit itu dan mulai mengaturnya di lemari.
Emma hanya memiliki sedikit barang pribadi sehingga dalam waktu lima menit saja ia telah selesai. Pemerintah bukannya tidak memperhatikan kebutuhannya dan melarang ia memiliki banyak barang, melainkan memang Emma yang menyukai kepraktisan dan hampir tidak pernah membeli hal-hal yang kurang penting.
Ia berpendapat hidup yang diberati oleh barang-barang hanya akan menyusahkan dirinya. Ia tidak mau diberati. Sebenarnya saat ini Emma hanya menunggu ia dinyatakan dewasa oleh negara dan tidak berniat tinggal di Singapura berlama-lama. Ia sudah memiliki banyak rencana untuk mengumpulkan uang dan perkiraannya, saat nanti usianya genap 18 tahun, ia akan memiliki cukup uang untuk pergi mencari orang tuanya.
Hingga saat itu tiba, ia akan bersabar.
"Kau mau melihat sekolahmu yang baru?" tanya Oma Lin yang datang dengan sepoci teh dan dua buah cangkir. Ia duduk di kursi di samping tempat tidur Emma dan memberi tanda agar gadis itu duduk di sampingnya dan mereka dapat menikmati teh bersama.
"Aku sudah tahu alamatnya, besok aku bisa langsung ke sana," jawab Emma sambil membantu Oma Lin menuangkan teh untuk mereka berdua. "Tetapi aku belum memiliki seragam."
Bu Mabel mengirimnya pergi secepat mungkin begitu berita bahwa Emma diizinkan untuk hidup mandiri turun dari petugas Dinas Kesejahteraan Anak. Emma bahkan tidak sempat menunggu seragam dan segala perlengkapan sekolah barunya tiba. Tetapi gadis itu tidak keberatan. Ia sama muaknya terhadap Mabel, seperti Mabel terhadap dirinya.
Besok ia terpaksa berangkat ke sekolah tanpa mengenakan seragam dan akan menarik perhatian para siswa di sana. Ah, sudahlah... dengan atau tanpa seragam, Emma memang selalu menarik perhatian orang-orang.
Sejak kecil gadis itu memiliki penampilan yang cukup unik. Wajahnya sangat cantik dengan rambut berwarna platinum dan warna mata biru muda, seperti langit. Ia bisa bermain drama sebagai peri tanpa harus mengenakan wig dan kostum. Karena ia masih pelajar, Emma tidak diizinkan mengecat rambutnya sehingga ia terpaksa membiasakan diri dengan pandangan orang-orang setiap kali ia lewat.
***
Sekolah dimulai pukul 8 pagi dan pukul 7 Emma sudah berangkat dari apartemen Oma Lin di Ylang Avenue. Ia naik bus satu kali dari depan gedung dan tiba di sekolahnya SMA St. Catherine yang besar tepat pukul 7.30 pagi.
Emma melihat-lihat lingkungan sekolahnya dengan penuh perhatian. Ia menyukai sekitar gedung sekolah yang banyak dipenuhi tanaman rindang dan bunga-bunga. Ia memang selalu menyukai tumbuhan di mana pun ia berada. Ia lebih menyukai tumbuhan daripada manusia.
"Hei, Cantik!"
Tiba-tiba terdengar suara panggilan dari atas pohon yang sangat besar di belakangnya. Emma terkesiap dan segera menoleh ke arah asal suara. Matanya segera menyipit melihat seorang pemuda bertengger di dahan yang paling tinggi seperti seekor monyet yang sedang bersantai di hutan.
"Eh...?" Emma menunjuk hidungnya sendiri. "Kau bicara kepadaku?"
Pemuda itu menyeringai lebar dan mengangguk. "Aku tidak melihat ada wanita cantik lain di sini..."
Emma memutar matanya dan tidak mempedulikan pria itu. Ia kembali berjalan meneruskan langkahnya mencari kantor kepala sekolah. Ia harus bertemu Pak Young untuk menerima pengarahan tentang kelas barunya dan di mana ia bisa memperoleh seragam.
"Heii.. Cantik! Kau murid baru, ya? Mau kutunjukkan sekolah ini? Kau mencari ruang kepala sekolah?" Terdengar suara menganggu itu kembali. Kali ini asalnya dari belakang Emma, karena si empunya suara telah melompat turun dengan gerakan indah dari dahan pohon tinggi tadi.
Emma hanya menoleh dan mengangguk. Selama pemuda ini tidak mengganggunya, ia tidak akan bersikap buruk kepadanya.
"Kalau begitu mari kutunjukkan jalannya." Dengan gembira pemuda itu menggenggam tangan Emma dan hendak menariknya berjalan ke arah kiri.
Emma kaget karena tangannya tiba-tiba saja dipegang dan dengan spontan ia membanting tangan pemuda itu hingga terjatuh ke tanah dengan bunyi sangat keras.
"AWWW...!!!"
Pemuda itu mengaduh-aduh kesakitan sambil mengusap pantatnya yang terasa nyeri akibat menghantam tanah barusan. Ia mendongak dan menatap Emma dengan pandangan tidak percaya, sementara gadis itu berdiri terpaku di tempatnya. Ia merasa sangat menyesal karena terlalu gegabah dan membanting pemuda tidak dikenal ini, yang sebenarnya berniat baik untuk mengantarnya ke kantor kepala sekolah.
"Ma... maafkan aku," kata Emma sambil berusaha membantu pemuda itu bangun. "Kau seharusnya jangan mengagetkan aku..."
Pemuda itu terus saja menatap Emma sambil bangun dari tanah. Ia mengebas-kebaskan kotoran di pakaiannya sambil menggeleng-geleng.
"Astaga... kau kuat sekali. Luar biasa..." Ia tidak marah. Di wajahnya yang tampan malah tersungging cengiran iseng. "Jangan kuatir, tadi aku hanya kaget dan tidak siap. Tidak semudah itu kok menyakiti Haoran Lee."
Emma mengerutkan keningnya keheranan. Pemuda ini sama sekali tidak marah, tidak tersinggung, dan tidak merasa egonya terganggu karena dibanting seorang anak perempuan ke tanah. Senyumnya yang terlihat nakal menghiasi wajahnya yang tampan membuat Emma sekilas menjadi terhanyut. Hmm... mungkin ada orang-orang yang bisa disukainya seperti tanaman.
Emma mengulurkan tangannya. "Namaku Emma Stardust. Aku murid baru di sini."
"Stardust seperti Kokain?" tanya Haoran sambil tertawa kecil. Emma kembali tertegun. Pemuda di depannya ini benar-benar di luar dugaannya.
"Seperti Kokain." Akhirnya gadis itu mengangguk. Untuk pertama kalinya terukir senyum tipis di wajahnya.
"Ayo, Stardust, akan kutunjukkan kantor kepala sekolah." Haoran kini tidak berani melakukan gerakan tiba-tiba seperti tadi. Ia sudah belajar dari pengalaman dan kini mengulurkan tangannya kepada gadis itu. "Aku akan menunjukkannya asalkan kau memegang tanganku."
"Kenapa?" tanya Emma.
"Karena aku bukan orang baik. Aku mengenakan bayaran untuk jasaku mengantarmu ke kantor kepala sekolah. Bayaranku kali ini adalah memegang tanganmu," jawab Haoran sambil tersenyum jahil.
Emma lalu mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Haoran. "Baiklah."
Sebenarnya gadis itu melakukannya hanya karena merasa bersalah tadi ia telah membanting Haoran, tetapi ia tidak terlalu peduli jika pemuda itu menganggapnya lain. Yang jelas Emma menyukai pemuda itu. Saat melihat senyumnya yang hangat dan kenyataan bahwa ia sama sekali tidak marah atas perlakuan Emma kepadanya, Emma memutuskan bahwa ia dapat menyukai Haoran sama seperti ia menyukai tanaman.
Keduanya lalu berjalan bergandengan menuju kantor kepala sekolah yang terletak di gedung paling kiri. Beberapa murid yang sudah tiba di sekolah tampak keheranan melihat keduanya dan mulai berbisik-bisik.
Emma bisa menduga Haoran adalah seorang pemuda populer di sekolah dari cara gadis-gadis memandangnya saat mereka lewat. Tubuh Haoran jangkung dan atletis dengan wajah oriental tampan yang selalu terlihat malas dan acuh tak acuh.
Ugh... semoga ini tidak membuatku mendapatkan kesulitan dengan murid-murid perempuan penggemar orang ini, pikir Emma. Tanpa sadar ia melepaskan tangannya dari tangan Haoran.