webnovel

Kokain, Bukan Heroin

SINGAPURA, 18 TAHUN KEMUDIAN

.

.

Emma Stardust menatap gedung itu sekilas saja sebelum melangkahkan kakinya masuk ke dalam mobil yang akan mengantarkannya ke rumah barunya. Selama belasan tahun ia hidup di panti asuhan sebagai anak negara, ia tidak memiliki kenangan yang menyenangkan di sana.

Mable, si ibu panti selalu memanggilnya anak monster. Emma sudah tidak ingat kapan pertama kalinya wanita setengah baya yang judes itu mulai menatapnya dengan pandangan takut sekaligus jijik. Ia beberapa kali berusaha memindahkan Emma ke fasilitas lain, tetapi permintaannya selalu ditolak karena kepala dinas kesejahteraan anak tidak dapat menerima alasan-alasan yang dikemukakannya.

Emma sudah biasa menutup diri dari orang lain dan ia juga tidak peduli bila ia tidak memiliki teman. Saat ini ia hanya ingin segera keluar dari sistem dan menjadi orang dewasa yang dapat menentukan arah hidupnya.

Emma tidak berasal dari Singapura. Menurut dokumen-dokumen yang berhasil ia temukan, ia lahir di Prancis dan masuk sistem perlindungan anak di sana. Namun, karena beban pemerintah Prancis sudah terlalu berat, maka sebagian anak yang masuk di sistemnya dialihkan ke negara-negara maju yang bersedia menampung.

Singapura dan Jepang adalah dua negara yang paling banyak membuka pintunya untuk anak-anak yang tidak diinginkan dari daratan Eropa, berdasarkan perjanjian UNCPP yang lalu.

Kedua negara itu mengalami krisis kependudukan karena rendahnya angka kelahiran. Kini banyak warganya yang semakin menua sementara bayi yang dilahirkan untuk menjadi generasi penerus sangat sedikit. Selama beberapa tahun terakhir, seperti yang sudah diprediksi sebelumnya, Jepang dan Singapura sudah mulai mengalami kesulitan dalam mencari tenaga kerja produktif.

Dengan menerima anak-anak yang tidak diinginkan masuk ke dalam negaranya, menjadi warga negara mereka, diharapkan krisis kependudukan ini akan dapat dikurangi. Singapura tidak begitu saja menerima calon warga baru. Karena menganut sistem meritokrasi, mereka menetapkan sistem penyaringan ketat, sehingga hanya bibit-bibit berkualitaslah yang masuk ke negara mereka.

Emma termasuk ke dalam bibit berkualitas itu. Saat dites, tingkat kecerdasannya menunjukkan angka di atas Einstein. Ia juga menunjukkan ciri-ciri seperti Einstein. Saat tim penilai datang berkunjung, usianya masih lima tahun dan ia belum pernah bicara. Ia hanya satu kali buka suara ketika anggota tim penilai hendak meninggalkan tempat dan mencoretnya dari daftar kandidat.

"Kokain, bukan heroin," kata Emma kecil dengan nada malas. Ia duduk di kursinya dengan pakaian rapi dan pandangan yang menyapu ke jendela, pada taman mawar di luar gedung yang sedang bermekaran dengan indahnya.

"Eh..?" Dua petugas penilai dan ibu panti asuhan saling pandang.

"Dia tidak bisu?" tanya petugas penilai pria dari Singapura kepada ibu panti. Wanita gemuk itu hanya mengangkat bahu.

"Dia tidak pernah bicara sebelumnya. Tetapi semua orang mengatakan dia pintar sekali, makanya ia kuajukan untuk diadopsi pemerintah Singapura," jawab wanita itu. Terlihat ia sama keheranannya dengan kedua tamunya.

"Tadi kau bilang heroin, ya?" tanya petugas penilai yang perempuan kepada rekannya.

Pria itu hanya menggaruk-garuk kepalanya. "Mmm.. kurasa begitu."

Ia membuka ponselnya dan mengecek internet. Benar saja, ternyata Emma mengoreksi kata-kata yang diucapkannya dengan iseng tadi saat membaca nama lengkap Emma adalah Emma Stardust. Ia ingat sekarang, di awal pertemuan mereka ketika ia duduk di depan Emma dan meneliti dokumen-dokumen anak ini, ia berkomentar bahwa Stardust ini adalah nama panggilan untuk heroin oleh Departemen Penegakan Obat-obatan (DEA) Amerika Serikat.

Ternyata ia salah. Stardust adalah nama panggilan untuk kokain, bukan heroin. Barusan ia memeriksa di internet karena tergelitik akibat ucapan Emma.

Wow... apakah anak ini memang kebetulan tahu, atau ia memang sangat banyak membaca? Tapi dia kan masih lima tahun?

Pria itu berjalan mendekati Emma dan bersimpuh di depannya.

"Adik kecil.. kau ternyata bisa berbicara, tetapi Ibu Panti mengatakan selama ini kau tidak pernah buka suara. Kenapa?" Ia bertanya dengan penuh perhatian.

Gadis kecil itu mengangkat bahu dan menjawab acuh tak acuh. "Selama ini semuanya baik-baik saja."

"Oh..." Pria itu terkesima mendengar jawaban Emma. Ia seketika terpesona oleh anak kecil yang acuh ini. Dari hasil tes kecerdasan yang tadi mereka lakukan, IQ anak ini mencapai 155. Yang membuat mereka tadi ragu untuk menerima Emma adalah kenyataan bahwa anak ini tidak dapat berbicara.

Ternyata, selama ini ia hanya berdiam diri karena merasa tidak ada perlunya untuk buka suara. Sungguh mengherankan. Anak yang begitu unik. Kecerdasannya sudah tidak diragukan lagi. Ia tentu akan dapat memberi nilai tambah bagi negara Singapura.

Demikianlah, sebelas tahun yang lalu Emma pun menginjakkan kaki di negara ini dan menjadi satu dari sekian banyak anak angkat pemerintah Singapura. Ia tinggal di sebuah fasilitas yang bagus dan mendapatkan kehidupan dan pendidikan yang layak bersama anak-anak lain sepertinya.

Sayangnya baru sebulan Emma berada di sana, terjadi suatu peristiwa yang membuat Mable, sang pimpinan panti asuhan menjadi ketakutan dan membenci Emma. Kehidupan anak perempuan itu menjadi sangat sunyi karena ia tidak diizinkan berteman dengan anak-anak lainnya.

Selama sebelas tahun Emma menyimpan tekad untuk segera tumbuh dewasa agar ia bisa keluar dari panti dan hidup mandiri. Kalau bisa ia akan bekerja dan menabung uang untuk kembali ke Prancis dan mencari jejak keluarganya.

Keinginannya terkabul lebih cepat ketika pemerintah meluncurkan program baru bagi para lansia yang hidup sendiri. Untuk membantu orang-orang lansia yang tidak memiliki keluarga agar memiliki teman dan tetap bersemangat hidup, pemerintah memberikan kesempatan bagi anak muda yang miskin dan tidak mampu menyewa rumah sendiri untuk tinggal bersama seorang lansia di apartemen dua kamar yang disediakan pemerintah.

Hal ini bermanfaat bagi kedua belah pihak. Sang anak muda akan memperoleh tempat tinggal bersubsidi, mereka hanya perlu membayar listrik, dan sang lansia akan memiliki teman. Banyak kasus alzheimer dapat dicegah atau dikurangi dengan adanya program ini.

Emma mencoba peruntungannya untuk mengajukan diri masuk ke program tersebut. Surat pengantar yang dibuatnya begitu meyakinkan hingga anggota dewan penentu memberinya kesempatan untuk keluar dari panti asuhan dan hidup mandiri bersama salah satu lansia dalam program itu walaupun usianya belum 17 tahun.

"Aku akan bekerja keras dan hidup mandiri. Setelah uangku cukup aku akan ke Prancis dan mencari keluargaku," demikian tekadnya.

Kini, hari yang dinanti-nantikannya itu pun tiba. Hanya dengan sebuah ransel di bahunya, Emma pergi meninggalkan panti dan menuju hidup barunya. Ia akan tinggal dengan seorang nenek berusia 70 tahun yang dipanggilnya Nenek Lin. Mereka telah dua kali bertemu dan saling menyukai.

Bagi Emma, hidup di mana pun, asalkan tidak bertemu Mable, sudah bagus. Ia tak sabar ingin segera pergi.