webnovel

Karyawisata Ke Paris??

Haoran menyadari bahwa Emma telah melepaskan tangannya. Ia menoleh ke arah gadis itu dan menyipitkan matanya.

"Kau tidak mau membayar jasaku?" tanyanya dengan suara riang. "Baik... aku bisa memikirkan jenis bayaran lain."

Emma hanya memutar matanya dan berjalan meninggalkan pemuda itu. Ia telah melihat papan petunjuk yang memberitahunya arah kantor kepala sekolah. Haoran berjalan menyusul Emma dan tidak memaksa memegang tangannya. Ia tampak senang sekali bisa berjalan di samping gadis itu.

Dalam hatinya Haoran bertekad tidak akan membiarkan Emma yang sangat menarik perhatian itu dibully orang. Biasanya murid baru apalagi yang penampilannya unik akan rentan menjadi sasaran penindasan siswa lain yang jahat.

Emma memang sangat menarik perhatian. Walaupun lima puluh persen siswa di St. Catherine adalah expat dari negara-negara lain, sehingga penampilan fisik mereka cukup beragam, tetap saja gadis itu terlihat berbeda dari semuanya.

Sama seperti Hong Kong, Singapura adalah satu dari sedikit negara di dunia yang memiliki populasi yang terdiri dari berbagai macam ras di dunia. Sungguh merupakan 'melting pot' bagi warga internasional. St. Catherine adalah sekolah yang cukup populer dan banyak menerima siswa internasional, terlihat dari persentase ras siswa yang ada di sana.

Namun demikian, tidak ada satu pun dari siswa St. Catherine yang memiliki wajah secantik peri, kulit seindah pualam, rambut panjang berwarna platinum, dan mata biru muda seperti Emma Stardust. Dari pertama melihat Emma, Haoran sudah terpesona.

Ia tidak mengira gadis secantik ini ternyata memiliki kepribadian yang cukup berbeda dari kebanyakan gadis cantik yang ditemuinya. Emma juga sangat kuat dan tidak segan-segan membantingnya ke tanah karena merasa terganggu. Selain itu, ia juga tampak acuh tak acuh. Sebagai siswa baru gadis itu tidak terlihat malu-malu atau tidak percaya diri.

Semua ini merupakan undangan untuk ditindas, pikir Haoran sambil mengerling ke arah Emma yang berjalan dengan langkah tenang menuju kantor kepala sekolah di sampingnya. Ia tahu di SMA St. Catherine ada beberapa kelompok geng pelajar yang pasti tidak suka melihat orang seperti Emma masuk dan menarik perhatian.

"Kau pindahan dari mana?" tanya Haoran sebelum mereka tiba di depan pintu kepala sekolah.

Emma berhenti. Ia menunjuk pintu di depannya dan mengangguk kepada Haoran. "Aku sudah tiba. Terima kasih sudah mengantarku."

Ia lalu mengetuk pintu dua kali dan masuk ke dalam, meninggalkan Haoran yang menatapnya tanpa berkedip.

***

Emma dipersilakan duduk oleh Pak Albert Young, sang kepala sekolah. Pria berusia akhir 30-an itu meneliti dokumen Emma dan mengangguk-angguk sebentar. Ia lalu menelpon seseorang dan menyuruhnya datang ke kantor.

"Selamat datang di St. Catherine. Kau masuk di tengah tahun ajaran, jadi kau pasti butuh waktu untuk menyesuaikan diri." Ia menatap Emma dengan pandangan ramah dan membuat Emma seketika suka kepadanya. Kepala sekolah tampaknya adalah orang yang baik, tidak seperti Mabel yang selalu menatapnya dengan penuh kebencian.

"Terima kasih, Pak. Aku akan belajar sebaik-baiknya." Emma mengangguk.

"Kulihat nilai-nilaimu sangat bagus. Tetap pertahankan prestasimu di sini ya..."

Terdengar ketokan di pintu dan masuklah seorang wanita setengah baya berpenampilan rapi ke dalam kantor kepala sekolah.

"Selamat pagi, Pak Young. Murid baru saya sudah datang?" tanya wanita itu sambil melirik ke arah Emma.

Pak Young mengangguk. "Emma, ini Bu Sharon Wen, dia adalah wali kelasmu di kelas 2 A."

Emma bangkit berdiri dan mengangguk sedikit. "Selamat pagi, Bu. Namaku Emma Stardust."

"Senang bertemu denganmu Emma." Bu Wen tersenyum dan mengulurkan tangannya untuk menyalami Emma. Keduanya bersalaman dan Bu Wen lalu menoleh kepada kepala sekolah. "Kalau begitu saya akan membawa Emma untuk mengukur baju seragamnya dan lalu mengantarnya masuk kelas."

"Silakan, Bu."

Ketika Emma dan Bu Wen keluar dari kantor kepala sekolah, Haoran sudah tidak ada di luar. Ah, bel sekolah sudah hampir berbunyi. Tentu sekarang ia sedang berjalan menuju kelasnya sendiri.

"Baiklah, kau bisa membawa seragam ini dan mulai besok memakainya. Sekarang tidak apa-apa memakai pakaian biasa," kata Bu Wen setelah menemani Emma mengukur seragam di ruang administrasi. "Sekarang ayo kuantar ke kelas."

Emma mengikuti langkah Bu Wen melintasi halaman sekolah yang sangat besar menuju gedung berwarna biru dengan deretan ruang kelas yang besar. Mereka naik tangga ke lantai dua dan berjalan melintasi lima buah ruangan sebelum berhenti di ujung koridor.

"Ini kelas 2A. Bisa dibilang ini adalah tempat anak-anak paling cerdas di sekolah ini. Kami menempatkanmu di sini berdasarkan nilai-nilai di transkripmu."

Emma mengangguk. Ia melihat deretan kelas di lorong itu dan segera mengambil kesimpulan bahwa kelas pertama adalah kelas F, tempat anak-anak yang dianggap paling bodoh, diikuti dengan kelas E dan seterusnya hingga kelas A di ujung sini.

Hmm... Emma senang dengan penempatannya. Berdasarkan pengalamannya, biasanya anak-anak pintar tidak suka ikut campur urusan orang lain. Mereka hanya fokus pada pelajaran dan urusan pribadi mereka. St. Catherine sangat besar sehingga bisa membagi-bagi siswanya ke dalam enam kelas berbeda seperti ini. Sementara di panti asuhan dulu, semua siswa yang hanya 30 orang itu disatukan dalam satu kelas yang sama.

Ia masuk ke dalam kelas mengikuti Bu Wen. Ini akan menjadi kelasnya selama setengah tahun ke depan. Setelah itu mereka akan naik kelas ke kelas tiga dan kemudian kuliah atau bekerja. Emma sudah berpikir untuk mulai mencari pekerjaan begitu ia lulus SMA.

"Selamat pagi, anak-anak sekalian. Ibu membawa murid baru ke sini. Ia akan menjadi teman baru kalian, jadi perlakukan dia dengan baik ya..." Bu Wen memberi tanda kepada murid-murid di kelas 2A untuk memperhatikan Emma. Ia lalu mengangguk kepada gadis itu. "Emma, silakan perkenalkan dirimu."

Emma mengangguk dan menatap teman-teman sekelasnya dengan penuh perhatian.

"Selamat pagi, namaku Emma Stardust. Aku pindahan dari sekolah lain."

"Apakah kau pindahan dari luar negeri?" tanya salah seorang siswa sambil mengacungkan tangannya. "Soalnya kau pindah tiba-tiba di tengah semester."

Bu Wen menjawabkan untuk Emma.

"Tidak. Emma ini dari Singapura juga. Ia pindah rumah, sehingga lebih dekat untuk bersekolah kemari. Benar kan, Emma?"

Emma mengangguk. Ia merasa tidak perlu menjelaskan panjang lebar bahwa ia adalah anak yang diadopsi negara.

"Ketua kelas?" Bu Wen menoleh ke sudut kanan dan seorang gadis berambut sebahu dan berwajah cantik mengangkat wajahnya. "Bianca, tolong nanti bantu Emma dengan segala peraturan sekolah dan kegiatan tengah semester yang sedang berjalan."

"Baik, Bu." Bianca menatap Emma dengan pandangan rumit. Sekilas Emma merasakan aura tidak bersahabat dari gadis berpenampilan indo itu. Bianca memiliki tubuh semampai bak model dan wajah setengah oriental dan setengah Eropa, seperti banyak siswa di St. Catherine.

Seandainya tidak ada Emma, bisa dipastikan ia adalah gadis tercantik di sekolah.

"Baiklah. Kalau begitu, Emma silakan duduk, di belakang sana masih ada kursi kosong. Kita akan memulai pelajaran hari ini dengan bab 10. Silakan buka buku kalian."

Emma berjalan menuju meja kosong di bagian paling belakang dan menaruh tasnya di kursi. Pandangannya tiba-tiba tertumbuk pada poster besar yang ditempel di dinding kelas.

KARYAWISATA KE PARIS UNTUK MUSIM PANAS

Demikian tulisan besar-besar di poster itu dengan gambar menara Eiffel yang cantik di belakangnya.

Sekolah ini akan mengadakan karyawisata ke Paris??

Seketika jantungnya berdegup kencang. Telah hampir 12 tahun Emma memimpikan pergi ke Prancis. Ia hanya tahu bahwa ia dibawa ke negara ini dari sebuah panti asuhan di Paris. Semua keterangan tentang orang tuanya dan latar belakangnya pasti ada di sana. Emma sungguh rindu kepada ayah dan ibunya. Ia telah begitu lama tidak melihat mereka dan hampir melupakan wajah kedua orang yang sangat dikasihinya itu.

Ibunya adalah seorang wanita yang sangat cantik dan penyayang. Arreya Stardust memiliki suara indah yang membuat bahkan burung-burung akan berhenti berkicau ketika ia menyanyi. Mereka malu memperdengarkan suara mereka di depan wanita itu.

Semakin Emma tumbuh dewasa, gambaran wajah ibunya seakan kembali ke dalam ingatannya lewat cermin. Ia memang sangat mirip dengan ibunya yang cantik. Mereka sama-sama memiliki rambut platinum panjang yang sering disanggul di atas kepala mereka demi kepraktisan, sepasang mata biru muda yang teduh, dan kulit seindah pualam.

Tetapi sifat Emma hampir sepenuhnya mengikuti ayahnya, Kaoshin Stardust. Pria itu tidak banyak bicara dan sangat senang merawat tanaman. Emma hampir mengira ibunya bisa membaca pikiran. Ayahnya sangat jarang berbicara, namun entah kenapa kedua orang tuanya seolah selalu saling memahami satu sama lain dengan baik, seolah Arreya selalu tahu apa yang dipikirkan pria itu.

Emma sudah melupakan wajah ayahnya. Ia hanya tahu ayahnya adalah lelaki paling tampan yang pernah dilihatnya.

Terakhir kali Emma melihat mereka adalah suatu malam musim dingin 13 tahun yang lalu. Usianya hampir empat tahun. Arreya Stardust menangis tanpa suara dan menciumi wajah Emma berkali-kali, lalu meninggalkannya di depan panti asuhan.

Kaoshin Stardust tampak lebih terpukul dari istrinya. Terlihat bahunya yang kukuh menjadi begitu lunglai dan wajahnya yang biasanya selalu tenang dipenuhi kesedihan.

Ekspresi terpukul ayahnya itulah yang selalu dikenang Emma dan membuatnya mengerti bahwa mereka tidak bermaksud membuangnya. Mereka terpaksa menaruhnya di panti asuhan. Tetapi kenapa? Ia sungguh ingin tahu jawabannya.

Ia ingin sekali menemukan orang tuanya dan bertanya kenapa...

Kalaupun mereka menghadapi masalah besar, kenapa mereka tidak membawa serta Emma bersama mereka?

Emma lebih baik mati bersama orang tuanya daripada harus hidup sendirian di dunia ini.