webnovel

Heartbeat

Alessa kembali mengambil bantalan dan melemparnya kepada Edgar yang langsung mendarat mulus di wajah Edgar.

Edgar meringis kecil, bantal itu tidak terlalu sakit mengenai wajahnya, karena memang ukurannya yang tidak terlalu besar dan ringan.

Alessa sendiri sudah tertawa terpingkal-pingkal atas kemenangannya. Seketika Edgar melupakan wajahnya yang sakit kala melihat Alessa yang tertawa lebar. Bahkan Edgar rela untuk di lempar ribuan kali, hanya untuk melihat senyuman lebar Alessa. Baru kali ini Edgar melihat Alessa tertawa lepas, selama ini Edgar hanya sering membuatnya menangis.

Sadar karena terus di perhatikan, Alessa berusaha meredam tawanya dan menatap Edgar. "Apa?" tanyanya sarkas.

Edgar meraih bantal yang mengenai wajahnya tadi dan mengulurkannya kepada Alessa. "Kau boleh melemparkannya lagi, jika itu bisa membuatmu tertawa!"

Seketika wajah Alessa memanas ia memalingkan wajahnya ke samping, berkontak mata langsung dengan Edgar saat ini membuatnya malu. Edgar akan melihat semburat merah di wajahnya nanti.

Tanpa Alessa sadari Edgar sudah duduk di sampingnya, menatap helaian rambut wanita itu yang ter-urai. Karena posisi Alessa sekarang membelakangi Edgar.

Alessa terkesiap kala merasakan hembusan napas di belakangnya, sontak saja ia cepat menoleh ke belakang, matanya langsung bertemu dengan mata Edgar yang tengah menatapnya lekat-lekat.

Mata itu! Entah mengapa Alessa jadi menyukai mata Edgar yang berwarna cokelat terang. warna asli mata Edgar, karena warna matanya sering berubah sesuai perasaannya.

Edgar memajukan tubuhnya lebih dekat dengan Alessa dan mengecup bibirnya singkat, Alessa melotot kaget dan memukul lengan Edgar dengan keras.

"Edgar!" seru Alessa sembari menyentuh bibirnya.

"Apa? Kau mau lagi?" tawar Edgar yang kini sudah memajukan tubuhnya lagi, namun segera di dorong oleh Alessa.

"Dasar kau!" Alessa mengepalkan tangannya di udara bersiap menghantam Edgar, Edgar sendiri dengan songongnya menepuk-nepuk pipinya, siap untuk di hantam Alessa.

Alessa melirik kepalan tanganya, tangan kecilnya tidak akan sakit jika menghantam wajah mulus Edgar, dan Alessapun memutuskan mengganti kepalan tangannya dengan sebuah cubitan keras di lengan Edgar.

Edgar memekik kesakitan bersamaan dengan tawa keras yang dilontarkan Alessa.

***

"Aku sudah tahu ini semua akan terjadi. Johnson memang licik, memanfaatkan anaknya sementara dirinya sendiri hanya diam saja. Hanya karena cintanya di masa lalu, ia jadi enggan untuk ke dunia manusia."

"Aku heran mengapa Maurine lebih memilih Johnson dari pada aku, aku tahu pada saat itu Johnson tidak sepenuhnya mencintai Maurine, karena ia masih terpaut perasaan dengan seorang manusia. Itu sebab mengapa aku sangat marah dengan pernikahannya, dan sekarang Maurine sudah tiada, " Ada nada kesedihan di akhir kalimat yang David lontarkan. David memejamkan matanya, menahan semua perasaan yang tak terbalaskan. Sungguh ia masih mencintai Maurine hingga detik ini, hingga sampai detik ini ia tak kunjung menikah. Walaupun menemukan mate sekalipun.

Maxwel sungguh mengerti dengan perasaan David pada saat ini. Maxwel adalah beta dari alfa David, orang kepercayaan David.

"Ada satu hal lagi yang ingin ku sampaikan. " Maxwel berujar singkat.

Dengan masih memejamkan mata David menjawab. "Apa itu?"

"Kelihatannya Edgar menyukai gadis itu."

Perlahan David membuka matanya bersamaan dengan senyum miring yang tercetak jelas di wajah David. "Berita bagus."

"Apa rencanamu kali ini?" Maxwel bertanya sembari melirik ke sekitar berharap tidak ada yang menguping pembicaraan mereka.

"Kuncinya ada pada wanita itu. Aku akan membuat Edgar merasakan hal yang sama dengan apa yang ku rasakan dulu."

Maxwel diam tidak menanggapi ucapan David, karena ia tahu benar apa yang akan di lakukan David selanjutnya. David sendiri tidak peduli akan kenyataan bahwa Edgar adalah anak dari Maurine. Persetan dengan semua itu, darah Johnson mengalir di tubuh Edgar yang artinya Edgar adalah musuhnya juga.

***

"Apa benar seorang vampir tidak bisa menikah dengan seorang manusia?" Alessa mendesah kecewa menatap artikel-artikel yang terpampang di ponselnya, namun sedetik kemudian ia merutuki dirinya sendiri.

Seharusnya ia tidak perlu bersusah payah mencari fakta-fakta tentang vampir di internet, namun jari-jarinya sungguh gatal tidak mengetik sesuatu yang berkaitan tentang vampir.

Alessa sungguh tidak menyukai Edgar, ia hanya ingin tau saja. Alessa kembali membaca artikel tersebut di sana tertulis bahwa seorang vampire

bisa saja menikah dengan manusia, tetapi manusia itu harus menjadi vampir juga.

"Apa lagi ini? Yang benar saja. " Alessa melempar ponselnya di atas kasur, ia berjalan menuju lemari pakaian mencari sesuatu. Alessa meraih sebuah kotak yang di letakannya di antara tumpukan pakaian.

Membuka kotak tersebut dan mengeluarkan sebuah kalung dengan batu rubi merah. Kalung itu pemberian Ibunya saat ulang tahunnya yang ke sepuluh tahun. Alessa memang tidak pernah memakainya, sebab kalung itu terlalu panjang sewaktu ia kecil dulu. Sekarang saja kalung itu masih terasa panjang baginya.

Alessa meneliti kalung itu, batu rubi merah kalung itu sangat mirip dengan yang ada pada permukaan kotak yang ditemukannya di gudang. Batu rubi itu memang sangat mirip dengan yang di kotak, Alessa menimang-nimang kalungnya. Agar dugaannya memang benar, Alessa berbalik hendak mengambil kotak kayu di bawah ranjangnya.

Namun betapa terkejutnya ia, bahwa Edgar ada di depannya. Bagaimana Edgar bisa ada di kamarnya? Alessa melirik pintu kamarnya yang tertutup, dan kembali melirik pintu balkonnya yang juga ... Terbuka! Pintu balkonnya terbuka!

Alessa menggenggam erat kalung di tangan kirinya, Alessa berharap Edgar tidak melihat apa yang di lakukannya tadi. "Apa yang kau lakukan disini?!" tanya Alessa dengan datar walaupun ia sangat gugup sekarang, entah mengapa sekarang jika ia bertemu Edgar jantungnya selalu berdetak cepat. Antara takut atau ada perasaan lainnya.

"Kau melihatku seperti melihat hantu saja."

"Kau lebih dari sekadar hantu, aku tidak mendengar suara langkah kakimu tadi."

Edgar memasukkan tangannya ke dalam saku celana. "Tidak ada hantu yang se tampan diriku."

Hueekkk, Alessa mau muntah sekarang, Edgar ini tingkat percaya dirinya sangat tinggi.

"Bagaimana kau bisa masuk?"

"Pintunya tidak di kunci, jadi ya tinggal masuk saja," jawab Edgar polos, dengan wajah tanpa dosa.

"Tapi aku tidak mendengar suara apa-apa tadi. Kau terbang?"

Edgar tertawa. "Tidak, mungkin kau terlalu fokus tadi hingga tidak mendengarnya. Apa yang kau sembunyikan di tanganmu itu?" selidik Edgar.

Sontak Alessa menggeleng dan semakin mengeratkan genggamannya. "Tidak ada!"

Edgar maju mendekat, yang membuat Alessa gelagapan. Di saat Edgar hendak meraih tangan Alessa, Alessa terlebih dulu menarik tubuh Edgar dengan tangan kanannya, mengikis jarak yang tersisa. Dengan gerakan cepat Alessa mencium bibir Edgar, mengecupnya dengan lama. Alessa tidak ada pilihan lain selain melakukan ini, berharap perhatian Edgar akan teralihkan.

Beruntungnya Edgar membalas ciumannya walaupun di awal ia sempat terkejut dengan serangan tiba-tiba Alessa. Edgar menarik pinggang Alessa agar lebih dekat. Sementara Edgar tengah menikmati ciumannya, tangan kiri Alessa bergerak menyembunyikan kalung tersebut. Ia memasukannya kembali ke dalam lemari Yang masih terbuka dan setelah itu menutup lemarinya perlahan.

Dengan bibir yang masih menyatu Alessa menatap Edgar yang memejamkan mata, Alessa mendorong tubuh Edgar dengan pelan berusaha menyudahi ciuman mereka. Alessa tersengal napasnya memburu.

"Aku masih tidak percya kau menciumku tadi, " ungkap Edgar.

"Itu yang kau mau, kan? Kau sudah mendapatkannya. Sebaiknya kau pergi sekarang!"

"Aku menemuimu, bukan untuk itu."

"Lalu apa? Meminta darahku lagi?" tanya Alessa sembari berjalan menuju pintu balkon. "Sekarang pulanglah aku sudah sangat mengantuk!" Alessa membukakan pintu balkonnya dengan lebar.

"Bukan itu juga. Aku hanya ... Merindukan mu ... Ya merindukanmu!" Edgar juga tidak mengerti alasan sesungguhnya ia menemui Alessa. Yang Edgar tau bahwa dirinya sangat terobsesi dengan Alessa sekarang.

"Aku tidak peduli dengan alasanmu, sekarang cepat keluar dari kamarku!"

Dengan pasrah Edgar berjalan menuju pintu yang sudah terbuka lebar itu. "Kalau tidak pulang aku akan menendangmu dari sini!" tambah Alessa lagi disertai ancaman.

Edgar tertawa singkat. "Baiklah aku pulang, jangan merindukanku, ya!" Edgar menepuk-nepuk puncak kepala Alessa layaknya anak kecil. Alessa kembali merasakan detak jantungnya yang berdetak hebat.

"Sampai seribu tahun pun aku tidak akan merindukanmu," kilah Alessa mencoba mengatakan kalimat tersebut dengan biasa saja. Walaupun dirinya sangat senang sekarang, entah karena apa.

Edgar kembali tertawa, merasa tidak tersinggung sama sekali dengan perkataan Alessa. "Baiklah aku pulang sekarang." sebelum benar-benar pergi Edgar mencium pipi Alessa sekilas, setelah itu ia melompat dari atas balkon.

Alessa tercengang. Edgar melompat dari lantai dua! Alessa berlari kecil menatap ke bawah, di bawah sana Edgar terlihat biasa saja, bahkan Edgar sempat melambaikan tangannya sebelum benar-benar menghilang di kegelapan malam.