"Katakan sekarang! Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Mahesa kepada Alessa. Sesaat setelah mendudukan bokongnya di kursi. Sebenarnya Alessa bingung harus memulai pembicaraan ini dari mana.
"Seseorang ... Maksudku sepupu Miranda ... Aku tidak tau dia memang sepupunya atau bukan," ucap Alessa ragu-ragu.
Pria di depannya menautkan kening. "Apa? Sepupu Miranda? Aku tidak mengerti."
"Garis besarnya aku dibawa kabur oleh sepupunya Miranda, namanya Edgar."
"Jadi kau selama ini tidak pergi ke Boston? Dan ponselmu?"
"Tidak...," Alessa menelan salivanya, ia gugup. "Awalnya ia membawaku ke Prancis. Setelah itu, ia membawaku ke mansionnya yang ada di Hawaii," terang Alessa. Berharap Mahessa paham akan apa yang tengah ia jelaskan.
"Ponselku ada padanya. Dia menyembunyikannya dariku selama di Hawaii. Sampai akhirnya aku menemukan ponselku kembali dan langsung menghubungimu ketika tau kau juga ada di Hawaii," tambahnya lagi.
Sangat jelas terlihat bahwa pria di depannya kini tengah menahan amarah, terlihat dari rahangnya yang mengatup. "Seharusnya aku mengantarmu ke Boston kemarin! Apa perlu kita melapor ke polisi?"
"Sudahlah, tidak perlu, semuanya sudah terjadi. Yang terpenting aku sudah disini sekarang." Alessa tersenyum lembut. Pada saat itu Mahesa memang tidak bisa mengantarnya. Karena ada sesuatu yang harus di urus juga.
Alessa memimun lemon juice-nya, menetralisir tenggorokan yang terasa kering. Setelah itu ia berdehem singkat, karena Mahesa tak kunjung membuka suara. "Kau marah padaku?"
"Aku marah pada diriku sendiri. Ini semua salahku!"
"Bukan salah mu ... "
"Aku ingin bertemu dengan Edgar itu!" cetus Mahesa. Alessa tercengang dan menjawab.
"Dia berbahaya, Mahesa!" peringatnya.
Mahesa berdecih. "Aku tidak peduli!"
"Dan kau! Apa yang sedang kau lakukan di Hawaii!" tuding Alessa mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Akan sangat tidak lucu jika keduanya bertemu.
"Apa kau lupa, Ayahku bekerja di sana."
"Seingatku Ayahmu bekerja di Dubai," jawab Alessa polos. Mahesa terkekeh pelan.
"Kau pasti lupa."
"Ingatanku memang sangat buruk." Benar Yang dikatakan Edgar, ingatannya memang sangat buruk.
"Tidak apa."
Alessa menghela napas. Sebuah pesan singkat masuk dan Alessa segera membukanya. Pesan dari Ibu,mengatakan bahwa Alessa harus pulang sekarang.
"Aku harus pulang sekarang!"
"Akan ku antar!" Alessa mengangguk mengiyakan.
Sesampainya di depan rumah. Alessa mengernyit bingung, melihat sebuah mobil terparkir cantik di halaman rumahnya. "Aku akan menghubungimu jika sudah sampai di rumah!"
Alessa tersentak dan menoleh kesamping menatap Mahesa. "Baiklah. Hati-hati!"
Mahesa mengusap rambut Alessa sekilas dan tersenyum tulus. Setelah itu Alessa turun dari mobil dan melambaikan tangannya kepada Mahesa.
Ketika Mahesa sudah benar-benar pergi Alessa bergegas masuk ke dalam rumahnya. Samar-samar Alessa bisa mendengar suara seseorang di ruang tamu. "Edgar!" seru Alessa dengan wajah terkejut, yang di balas Edgar dengan senyum tipis. Sedangkan Alana tersenyum lebar.
Pria itu memang gemar datang secara tiba-tiba dan pergi se-enaknya. Pagi tadi ia pergi tanpa kabar dan sore ini ia datang lagi dengan tampang tak berdosa itu.
"Alessa. Mari sini!" perintah Alana.
Dengan malas Alessa menghampiri Ibunya dan duduk di salah satu sofa yang berhadapan langsung dengan Edgar. Alessa menatap Edgar dengan tajam yang di balas Edgar dengan senyum miring.
"Ibu senang Alessa kau sudah mempunyai seorang teman di tempat kuliahmu. Tetapi mengapa kau tidak menceritakannya kepada ibu?"
Alessa mengernyit. Kuliah? Bahkan Alessa belum sempat menginjakkan kakinya di sana. Well, jadi si Edgar ini mengaku sebagai teman kuliahnya.
"Aku tidak terlalu percaya dengan orang baru, Bu. Jadi aku tidak mengenalkannya padamu," sindir Alessa.
"Jangan bicara seperti itu. Sepertinya Roland anak yang baik," ucap Alana menasehati Alessa.
What? Roland? Jadi selain mengaku sebagai temannya, Edgar juga mengganti namanya. Lebih tepatnya nama samaran.
Alessa melotot tak percaya. Edgar tersenyum penuh arti di tempatnya melihat ekspresi Alessa. "Ada apa? Apa ibu salah bicara?" tanya Alana bingung.
"Tidak, tidak, Bu. Kelihatan nya Ed- maksudku Roland memang anak yang baik. " Baiklah Alessa akan mengikuti permainan Edgar untuk saat ini.
Sedari tadi Edgar hanya tersenyum-senyum di tempatnya. Entah apa yang lucu. Alessa mendengus kasar.
"Kalau diperhatikan secara dekat wajahmu seperti tidak asing bagiku, apa kita pernah bertemu sebelumnya? " Alana meneliti wajah Edgar.
"Agh, Bu, kau tidak berniat membuatkan minuman?" tanya Alessa mencoba menghentikan ibunya yang terus menatapi Edgar. Bukan Alessa cemburu, sama sekali Alessa tidak cemburu, Kalau tidak dihentikan Ibunya ini pasti akan terus bicara.
Alana menepuk dahinya. "Astaga, Ibu lupa. Akan ibu buatkan dulu," setelah Alana pergi ke dapur, Alessa menatap Edgar dengan tatapan kesalnya.
"Apa yang kau lakukan di sini?!" hardiknya.
"Apa? Kau tidak suka? Padahal malam tadi ku kira kau sudah mencintaiku," ucap Edgar dengan nada sedih yang di buat-buat.
Alessa mengepalkan tangannya kuat, siap menghantam sesuatu, namun urung ia lakukan karena itu akan menyakiti dirinya sendiri. Alessa mengambil bantalan sofa dan meremas-remasnya. Anggap saja bantalan itu adalah wajah Edgar.
Edgar tertawa singkat. "Hahaah. Kau sungguh lucu!"
"Sungguh tidak ada yang lucu, Edgar. Mengapa kau tidak mengatakan nama aslimu saja kepada ibuku?!"
"Aku senang menjadi orang lain," jawab Edgar santai.
Alessa berdecak dan melemparkan bantalnya ke wajah Edgar yang berhasil di tangkap Edgar lebih dulu sebelum mengenai wajah tampannya. "Alessa kau sungguh tidak sopan dengan tamu!" sungut Alana sembari meletakkan secangkir teh di atas meja.
Alessa hanya bisa memutar matanya. Sedangkan Edgar tersenyum kemenangan. "Silakan diminum Nak, Roland!"
"Terimakasih-"
"Panggil saja 'ibu', seperti Alessa memanggilku."
Alessa berdecak. Edgar tersenyum "terima kasih, Bu. Tadinya aku mengira Ibu adalah kakak dari ,Alessa."
"Wah, benarkah? Apa aku terlihat semuda itu?" Alana meraba-raba wajahnya yang memang belum terdapat kerutan. "Melihat dirimu juga sungguh mengingatkanku kepada seseorang."
"Ibu! Jangan memikirkan pria lain saat ayah tidak ada di rumah!" protes Alessa.
Alana tersenyum kikuk sebelum pamit untuk ke dapur lagi.
"Maafkan Ibuku, dia memang seperti itu jika ada orang baru."
"Tidak apa, aku senang bertemu Ibumu." Edgar menyandarkan tubuhnya di sofa sambil melipat tangan di depan dada.
"Sebenarnya apa tujuanmu ke sini?" tanya Alessa. Edgar mengernyitkan keningnya.
"Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat, tapi sepertinya nanti saja."
"Lalu? Apa kau pikir aku mau pergi denganmu?"
"Harus mau, karena ini perintah!"
"Heh. Se-enaknya saja kau!" sentak Alessa. vampir di depannya ini sangat pemaksa.
"Aku kekasihmu jadi kau harus mau!"
Apa lagi sekarang? Tadi ia mengaku sebagai temannya dan sekarang se-enaknya mengatakan bahwa dirinya adalah kekasih Alessa.
Alessa kembali mengambil bantalan dan melemparnya kepada Edgar yang langsung mendarat mulus di wajah Edgar.