webnovel

Chapter 4

Matahari semakin terik di atas gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi, bagai sebuah asa bagi ketiga wanita yang kini tengah menikmati santap siang mereka. Ketiga sahabat yang kini tengah berada di sebuah warung makan mie ayam langganan mereka. Setiap manusia diciptakan dengan berbagai macam ciri fisik yang berbeda, tentunya dengan isi kepala, dan permasalahn yang berbeda juga.

Bahkan meski telah lama bersahabat pun, tidak semua hal dapat dibagikan dengan begitu mudahnya. Masing-masing orang terkadang perlu untuk menyimpan masalahnya hanya untuk diri sendiri, contohnya saja Sikha. Wanita itu sama sekali tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh kedua sahabatnya. Bukannya ia tidak memiliki rasa percaya pada Agni, dan Sonya. Hanya saja ia cukup tahu diri untuk tidak melibatkan orang-orang yang ia sayangi dalam masalahnya kali ini.

“Lo kenapa, sih, Kha? Harusnya lo cerita ke kita,” ucap Sonya memegang bahu Sikha yang hanya membalasnya dengan senyuman seadanya.

Sikha bukannya enggan, tetapi hanya merasa tidak seharusnya membicarakan aib ini pada kedua sahabatnya. “Maaf, ya, Gengs. Gue harap kalian mengerti akan keputusan gue, karena mungkin ini akan jadi hal yang selamanya tersimpan rapat,” ucap Sikha berhasil membuat kedua sahabatnya menghela napas panjang karena sekali lagi tidak berhasil mengorek informasi darinya.

“Kita akan selalu dukung lo, Kha,” Agni menjadi sosok yang lebih bijak kali ini, setidaknya bisa sedikit membuat perasaan Sikha lebih tenang.

Karena jujur saja selera makannya telah hilang sejak melihat kehadiran Andra tadi, sosok lelaki yang menjadi penabur benih kehidupan di dalam rahimnya. Ia tidak menyangka jika lelaki itu nekat mendatanginya ke kantor, tetapi beruntung lelaki itu tidak tahu posisi pekerjaan Sikha sebagai apa. Jika ya, sudah pasti akan sangat mudah untuk menemukannya, tidak perlu sampai mencekalnya di depan kantor seperti tadi.

Sejak tadi ia hanya mengaduk-aduk jus alpukat dengan milo tabur kesukaannya, karena sungguh selera makannya telah hilang. Jika tidak memikirkan kondisi janin dalam kandungannya, sama sekali tidak ada asupan makanan dan minuman yang melewati tenggorokannya. Pikirannya larut pada kata-kata tajam yang tadi diucapkan Andra ketika mereka hanya berdua saja di dalam mobil.

“Kamu sangat egois, Deepsikha Praya Mahaprana.”

Kalimat bernada sinis itu berhasil mengusik hati wanita yang baru saja berusaha untuk membuka pintu mobil, hingga ia menghentikan usahanya tersebut. Ia berbalik dan menatap tajam lelaki yang menatapnya jauh lebih tajam dan terlihat seperti meremehkan. Ia tidak menyangka jika lelaki bernama Andra ini berhasil membuatnya kehabisan kata-kata.

“Kenapa menatapku seperti itu? Bukankah yang ku katakan tadi benar?” tanya Andra dengan dinginnya sambil membuang muka ke arah depan, melihat orang-orang keluar dan masuk gedung perkantoran tempat Sikha bekerja.

“Jangan bicara seakan kamu orang yang telah mengenalku dengan sangat baik,” balas Sikha tidak kalah sinisnya dengan Andra.

“Aku? Kau bicara seperti itu padaku? Bukankah kita telah saling mengenal lebih jauh?” ucap Andra penuh sarkasme sambil menatap Sikha dari atas sampai bawah, seakan membuktikan bahwa dia telah melihat semuanya dari diri Sikha.

Semakin kehabisan kata-kata, Sikha memukul keras lengan Andra sebagai pernyataan keberatannya. Sungguh ia tidak menyangka jika sekarang menemukan lawan yang sulit dalam berdebat, ia merasa kalah debat dengan sosok lelaki ini. “Berhenti membicarakan kejadian itu,” ucap Sikha sebelum keluar dari mobil.

“Aku tidak akan melupakannya, karena dia sekarang ada di antara kita. Ingat itu, Sikha,” Andra setengah berteriak sebelum Sikha menutup pintu mobil, menimbulkan suara debaman yang cukup keras.

Sikha terus mengaduk-aduk jus alpukatnya dengan sedotan, sampai ia tidak sadar jika saat ini kedua sahabatnya tengah menatap dengan begitu intens. “Lo ngelamun mulu, nggak bagus buat kondisi lo yang lagi hamidun ini,” tegur Sonya menyenggol siku Sikha yang berada di atas meja.

Wanita itu gelagapan mendapati dirinya begitu larut dalam pikirannya sendiri, tentang semua ucapan yang diucapkan Andra padanya. Sekali lagi ia harus menyadarkan dirinya jika semuanya ini sudah benar, tidak ada yang perlu dikorbankan dalam kegilaan ini. Dengan canggung Sikha langsung menghabiskan jus alpukatnya dan berdiri dari tempatnya duduk, disusul oleh kedua sahabatnya.

Semuanya berjalan seperti biasa, harinya cukup baik, setidaknya sebelum bertemu dengan Andra. Karena sekarang ia tidak bisa berkonsentrasi dalam pekerjaannya, sampai membuatnya harus meminta izin untuk pulang lebih awal. Bersyukur ia memiliki sahabat di divisi HRD yang bisa memudahkannya dalam meminta izin. Lebih tepatnya meringankan sedikit protokol untuk meminta izin pulang.

Sesampainya di apartemen Sikha memilih untuk tidur, menghabiskan waktunya di atas tempat tidur, di balik selimut tebalnya. Tidak banyak yang bisa ia lakukan di masa seperti ini, moodnya benar-benar jatuh hingga ke jurang terdalam karena kehadiran lelaki itu. Yang dengan mengejutkan datang menemuinya, menyatakan diri ingin bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi di antara mereka malam itu.

Hari-harinya menjadi tidak mudah lagi sejak kedatangan Andra yang pertama kali, karena lelaki itu dengan begitu gigih selalu menunggunya di waktu sore hari. Ketika jam pulang kerja ia selalu berdiri di depan gedung, bersandar pada mobil mewahnya. Mencuri banyak perhatian dengan penampilan kerennya, lengan kemeja yang digulung sampai ke siku, dan kaca matga hitam bertengger di hidung mancungnya.

Diperlukan usaha keras bagi Sikha untuk melarikan diri dari keadaan ini, tidak ingin menjadi bahan pembicaraan orang lain karena kejadian ini. Ia selalu berhasil menyamarkan diri di antara para karyawan yang bekerja di gedung yang sama dengannya.

Lebih seminggu sudah sejak terakhir kali ia bertemu dengan Sikha, sosok wanita yang menolak pertanggung jawabannya. Andra hanya tidak habis pikir dengan jalan pikiran wanita bermata tajam itu, bagaimana bisa ia memilih untuk menanggung semuanya sendirian? Setidaknya berbagilah dengannya, karena semua ini terjadi juga karena dirinya.

“Aku hanya ingin bertanggung jawab padamu dan anak kita,” lirihnya begitu frustrasi memikirkan masa depan janin dalam kandungan Sikha, dan tentunya wanita itu.

“Pak, ini dokumen hasil tender pembuatan lokasi pengeboran baru di lepas pantai Jawa,” ucap seorang lelaki berperawakan tinggi yang tidak lain adalah kepala divisi pelaksanaan.

Andra mengangkat kepalanya, menatap lelaki yang berusia tidak jauh darinya itu dan mengangguk sebagai respon. Ia tidak ingin berkata-kata hari ini, terlalu malas karena semuanya semakin sulit karena penolakan Sikha padanya. Setiap hari kedua orang tuanya mempertanyakan bagaimana perkembangan usaha untuk mempertanggung jawabkan kegilaannya.

“Tidak ada cara lain, dan aku harus menemui Royan. Mungkin dia bisa membantuku, setidaknya akan lebih mudah mengetahui di divisi apa Sikha bekerja,” ucapnya sambil berdiri dan menyambar jas kerja yang tersampir di sandaran kursi kebesarannya.

Dengan memakinya sembari berjalan meninggalkan ruang kerja, Andra melewati sang sekretaris yang sama sekali tidak bertanya ke mana ia akan pergi. Karena biasanya Andra akan memberitahukan melalui aplikasi pesan singkat tentang dirinya yang tidak berada di kantor.

Teriknya langit ibu kota tidak menjadi penghalang bagi seorang Janitra Giandra Haribowo untuk mencapai keinginannya. Hanya satu yang diinginkan sekarang, yaitu bertanggung jawab pada wanita egois dan keras kepala seperti Sikha. Dan selain karena desakan dari kedua orang tuanya, ia memang merasa perlu bertanggung jawab atas calon anaknya.

Andra memarkirkan mobilnya di parkiran bawah tanah, berbeda seperti biasanya yang selalu memilih memarkirkannya di depan gedung. Kali ini datang sebagai seorang tamu, atau lebih tepatnya tamu tanpa janji yang akan menemui Kepala Divisi Keuangan PT. Wisesa Persada, Tbk, tempat Sikha bekerja.

Di dalam ruang kerjanya Sikha tengah sibuk membahas rencana anggaran proyek hotel yang baru diajukan oleh Divisi Perencana. Seperti biasa, ia akan berdiskusi panjang dengan Kepala Divisi Keuangan, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Royan. Lelaki itu senang sekali mendebatnya, contohnya saja perihal harga material yang sedikit lebih mahal dari biasanya. Royan akan selalu menyetujui dengan mudah apa yang diberikan oleh tim perencanaan. Berbeda hal dengan Sikha yang selalu memiliki banyak pertanyaan pada divisi lain jika hal itu berhubungan erat dengan keuangan perusahaan.

“Ini bukan diskusi kali, Kha. Debat ini namanya, dan gue capek debat sama lo,” kesal Royan berkacak pinggang sembari berdiri karena terlalu lelah duduk dan mendengar banyak pertanyaan meluncur dari mulut Financial Controller ini.

“Bukankah memang sudah jadi tugas saya sebagai Financial Controller perusahaan? Kalau saya nggak setuju dengan anggaran ini, Bapak juga nggak bisa majukan draft ini ke Direksi,” ucap Sikha menunjuk lembaran kertas di atas meja duduknya.

“Bedanya cuma seribu doang, Deepsikha Praya Mahaprana,” kesal Royan karena sepertinya kali inipun ia akan kalah debat dengan Sikha.

“Seribu juga uang, Pak. Kalau anggarannya bisa ditekan tanpa mengurangi kwalitas material, akan lebih bagus lagi. Kalkulasikan yang serius, Pak, ini bisnis,” jawab Sikha menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa, sembari membelai lembut perut besarnya yang bergerak sedikit aktif ketika ia sedikit emosi seperti ini.

“Pusing deh gue ngomong sama lo,” Royang sama sekali tidak bisa menyembunyikan kekesalannya ketika mendaratkan bokongnya di sofa dengan asal.

Keduanya masih diam dan saling tatap seakan tengah berkomunikasi dengan telepati ketika suara seseorang menginterupsi. Di depan ruang kerja Sikha tengah berdiri Raya, staff keuangan yang berada di bawah keduanya. Sepertinya di belakang gadis itu ada seorang lelaki berdiri, dan tidak bisa dilihat dengan jelas dari posisi Sikha duduk sekarang.

“Kenapa, Ya?” tanya Royan yang seakan mengerti dengan panggilan gadis itu.

“Ada tamunya Bapak,” ucap Raya dengan ramah, sebatas profesionalitas atasan dan bawahan di pekerjaan.

“Perasaan saya nggak punya janji deh, siapa?” Royan menatap Raya dengan bingung, dan tentu saja hal itu bukan menjadi hal penting bagi Sikha yang saat ini tengah memberikan beberapa catatan pada rencana anggaran proyek di tangannya.

“Gue,” ucap suara yang sangat tidak asing di telinga keduanya, Royan dan Sikha yang kini tubuhnya telah menegang.

Wanita itu menghentikan aktifitasnya menulis, tubuhnya seakan kaku, dan sulit digerakkan. Ia sangat mengenal suara itu, dan saat ini sama sekali tidak ada keberanian untuk melihat ke arah suara tersebut. “Eh, Andra. Tumben lo ke kantor gue, ada apa?” Royan bangkit dari duduknya dan menghampiri tamunya yang tidak lain adalah Andra.

“Awalnya gue ke sini mau minta bantuan lo, tapi sepertinya tidak jadi,” jawab Andra menatap Sikha yang masih mematung duduk di sofa ruang kerjanya.

“Huh? Gimana maksud lo? Otakku gue gagal cerna karena habis debat sama Sikha,” ucap Royan dengan cengiran lebarnya.

“Sepertinya pilihan tepat untuk nyamperin lo, gue udah dapatin apa yang gue cari sekarang.”

Sekali lagi Royan tidak paham dengan apa yang diucapkan oleh temannya ini, sebenarnya dia yang tidak jelas atau Andra yang memang tidak jelas. Entahlah, Royan tetap tidak paham dan ia mengajak Andra untuk masuk ke ruang kerjanya.

“Kita ngobrol di ruangan gue aja, jangan di ruangannya bumil ini. Dia rese dari seminggu lalu, eh, salah. Udah dari lama, tapi sekarang makin rese,” ajaknya menarik lengan Andra yang masih menatap Sikha dengan begitu intensi, namun ia tetap melangkah mengikuti temannya.

“Akhirnya kita bertemu, Sikha,” ucapnya dengan hanya menggerakkan bibir tanpa suara, yang dapat dimengerti dengan jelas oleh Sikha.

“Ayahmu sungguh luar biasa, sepertinya kita harus segera pergi dari negara ini,” ucap Sikha sembari memeluk perutnya dengan kedua tangan, seolah tengah memeluk buah hatinya secara langsung.